“Tawar-Menawar” atau Berpegang Paugeran Adat Sebagai Mekanisme Seleksi
IMNEWS.ID – RAPAT koordinasi antara Lembaga Dewan Adat (LDA), Pengurus Pusat Pakasa, jajaran pejabat bebadan “kabinet 2004” dengan para pengurus Pakasa cabang dari berbagai daerah di Jateng, Jatim dan DIY yang berlangsung di Bangsal Smarakata, Minggu siang (iMNews.id, 29/1/2023), telah membahas agenda utama tentang tatacara yang menjadi syarat pisowanan agung ritual tingalan jumenengan dalem, pada 16 Februari nanti. Banyak ragam dan bagian yang menjadi persyaratan adat untuk mengikuti upacara adat ulang tahun tahta “raja” sesuai paugeran yang berlaku, untuk dipatuhi dan dijalankan bersama oleh segenap insan masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta yang kini mulai dikembalikan “on the track”.
Sistem hukum tertinggi di dalam masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta yang dijaga dan digunakan secara turun-temurun dari zaman Mataram Islam yang didirikan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, menjadi bagian penting yang secara eksplisit hendak dijalankan mulai momentum “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton”. Dalam misi kembali pada “on the track” itu pula, rapat koordinasi mempersiapkan kalangan pengurus dan anggota Pakasa cabang dari berbagai daerah itu, untuk diajak bersama-sama mewujudkan menjalankan paugeran adat dalam tindakan nyata pada pelaksanaan pisowanan agung ritual tingalan jumenengandalem Sinuhun PB XIII, 16 Februari.
Bila menyimak rapat koordinasi (rakor) Pakasa, Minggu (29/1) itu, perkembangan situasi dan kondisi yang dimulai sejak peristiwa 17 Desember 2022 dalam “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” berlalu begitu cepat, hari demi hari padat terisi kegiatan yang sangat esensial dan bermakna. Terlebih, ketika dilihat sejak peristiwa “perdamaian” dicapai antara Sinuhun PB XIII dengan adik kandungnya, Gusti Moeng (iMNews.id, 3/1/2023), yang dalam kesepakatan mendukung peristiwa “jumeneng nata” 2004, dipercaya menjadi ketua paguyuban trah darahdalem Sinuhun PB I hingga PB XIII yang bernama “Lembaga Dewan Adat” (LDA), yang juga duduk sebagai Pengageng Sasana Wilapa dalam “Kabinet 20024” itu.
Dari peristiwa “perdamaian” itulah, situasi dan kondisi di internal keluarga besar masyarakat adat seakan mengalami percepatan, hingga dicapai kesepakatan untuk mewujudkan simbol perdamaian itu dalam upacara adat “tingalan jumenengandalem” Sinuhun PB XIII yang diagendakan akan berlangsung 16 Februari mendatang. Percepatan perubahan situasi dan kondisi ini, ternyata tidak hanya diwujudkan untuk memenuhi harapan internal keluarga besar, melainkan juga untuk memenuhi harapan pihak internal seperti yang diucapkan Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming melalui berbagai platform media, yang menyampaikan keinginan pemerintah pusat untuk mewujudkan revitalisasi Kraton Mataram Surakarta secara menyeluruh.
Dalam pertemuan antara rombongan dari kraton yang terdiri Sinuhun PB XIII, Gusti Moeng dan beberapa tokoh pendamping di antaranya KRAy Herniati Sriana Munari dengan Wali Kota Gibran di Rumah Dinas Loji Gandrung (Rabu, 4/1/2023), di satu sisi untuk menyampaikan pesan bahwa di antara “dua pihak” yang dipersepsikan berseteru sejak April 2017 itu sudah damai dan rukun kembali. Perdamaian itu adalah syarat yang harus dicapai antara “dua tokoh utama” di kraton itu, agar revitalisasi kraton bisa diwujudkan. Sedangkan sisi lain yang tak sengaja terjadi begitu saja, adalah peristiwa seorang “raja” bernama Sinuhun PB XIII “sudah sowan” Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming di Rumah Dinas Loji Gandrung, sebagai wujud penegasan bahwa Kraton Mataram Surakarta “konsisten mendukung” NKRI.
Momentum ritual “tingalan jumenengandalem” yang akan digelar 16 Februari itu, tampaknya akan menjadi simbol secara visual telah terjadinya proses transisi di level bawah setelah “perdamaian” sudah diwujudkan oleh kedua tokoh di level paling atas, yaitu antara Sinuhun PB XIII dengan adiknya, GKR Wandansari Koes Moertiyah yang akrab disapa Gusti Moeng. Karena, di dalam rakor itu Gusti Moeng menyebutkan, akan ada sekitar 150-an abdidalem anggota organisasi “Kusuma Handrawina” yang mendapat tempat dalam pisowanan agung tingalan jumenengan selain bebadan anggota kabinet dan jajarannya yang dipimpin Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa, termasuk di dalamnya para pengurus Pakasa cabang dari berbagai daerah.
Proses transisi dari “dua pihak” di level tengah ke bawah yang pernah dipersepsikan berseteru secara simbolik melalui pisowanan agung itu, bahkan sempat dipertegas oleh pernyataan KPH Edy Wirabhumi selaku Ketua Pengurus Pusat Pakasa ketika berdialog dengan peserta rakor, Minggu siang (29/1). Di situ ditegaskan saat menjawab pertanyaan perwakilan Pakasa Cabang Cilacap, bahwa untuk upacara tingalan jumenengan kali ini tidak disertai dengan upacara wisuda bagi kalangan sentana dan abdidalem yang mendapatkan kenaikan pangkat atau usulan baru. Upacara wisuda akan dilakukan di masing-masing daerah atas usulan Pakasa cabang, seperti yang sudah berjalan selama 5 tahun lalu.
“Saya bisa memahami usulan perwakilan dari Pakasa Cabang (Kabupaten) Cilacap itu. Bahwa karena upacara tingalan jumenengan kali ini masih dalam masa transisi setelah peristiwa ‘perdamaian’, maka tidak diadakan upacara wisuda pemberian kenaikan pangkat atau memberi gelar bagi usulan baru. Karena, yang sudah terjadi, termasuk dari Pakasa Cilacap, ya sudahlah. Kita sekarang ‘cooling down’ dulu. Ini yang sedang kami klarifikasi dan perlu diluruskan. Karena dalam sejarah Mataram Surakarta atau bahkan sebelumnya, seorang raja atau Sinuhun tidak pernah melakukan sendiri untuk wisuda dan menandatangani kekancingan. Paham nggih…?,” ungkap KPH Edy Wirabhumi yang mengisyaratkan warga Pakasa benar-benar memahami mekanisme prosedur secara adat yang benar yang berlaku di Kraton Mataram Surakarta.
Rakor membahas tatacara persiapan mengikuti ritual tingalan jumenengan pertama yang diharapkan mengakhiri seluruh rangkaian friksi dan pertikaian yang terjadi sejak 2004, yang menajam di tahun 2010 dan mencapai puncaknya di tahun 2017 itu, akan menjadi simbol pertemuan antara “dua pihak” yang realitasnya “berbeda haluan”. Transisi yang menjadi bagian dari proses perdamaian menyeluruh, akan benar-benar terujud seiring perjalanan waktu, yang akan terseleksi secara natural menggunakan ukuran perangkat paugeran adat yang harus dijalankan secara konsekuen dan konsisten.
Paugeran adat sebagai takaran atau ukuran yang selama ini disepakati dan dijalankan Dinasti Mataram, akan menjadi alat yang ideal untuk menjalankan mekanisme seleksi secara alami. Meskipun, proses “tawar-menawar” yang bisa disederhanakan menjadi sikap akomodatif, pasti menjadi salah satu instrumen yang menyertai berjalannya paugeran adat. Hasil dari proses itu bisa saja pihak yang berbeda haluan menyatakan salah dan mau berubah menjadi sehaluan dalam menaati dan menjalankan paugeran adat, tetapi bisa juga ada toleransi atau keputusan yang akomodatif sebagai kata lain dari “Nut jaman kelakone”. Mari kita lihat apa yang selanjutnya terjadi. (Won Poerwono-bersambung/i1)