Ritual Tiap Anggara Kasih, Simbol Supremasi Mataram
SURAKARTA, iMNews.id – Setelah absen selama 5 tahun sejak ada insiden “mirip operasi militer” yang melibatkan 2 ribuan anggota Brimob dan 400-an anggota TNI pada April 2017 dan Kraton Mataram Surakarta ditutup hingga 17 Desember 2022 lalu, Selasa Kliwon (20/12) siang tadi Gusti Moeng menggelar gladen (latihan) tari sakral Bedaya Ketawang tiap weton Anggara Kasih (Selasa Kliwon-Red) di Pendapa Sasana Sewaka. Latihan kali pertama sejak “libur panjang” tidak me-“njumeneng”-kan salah satu simbol supremasi Mataram itu, digelar mulai pukul 12.10 hingga pukul 13.40 WIB dengan lancar, meski ada “gangguan kecil”.
Gladen tarian sakral “Bedaya Ketawang” yang digelar itu, menandai sekaligus memaknai hari ke-4 masuknya Gusti Moeng yang diikuti semua elemen dan bebeadan serta jajarannya mulai Sabtu sore sekitar pukul 15.00 WIB, akibat ada peristiwa di luar dugaan yang bisa disebut keajaiban, yaitu teriakan maling para abdidalem yang dicekik oleh sosok yang diduga pelaku pembobol kamar GRA Devi, Sabtu siang. Teriakan yang berasal dari Bangsal Keputren yang salah satunya ditinggali putri Sinuhun PB XIII bernama GRA Devi itu, membuat semua yang mendengar bergegas masuk ke kraton, tetapi Gusti Moeng, Gusti Rimoer dan BRM Yudistira baru bisa masuk dengan melompat pagar tembok karena para petugas yang di dalam tidak mau membukakan pintu tetapi justru mengancing dan berlari meninggalkannya (iMNews.id, 18/12/2022).
“Saya naik tangga dan melompat pagar untuk masuk, karena yang berteriak minta tolong itu abdidalem di kraton yang notabene abdidalem saya di bangsal Keputren. Maka, saya minta izin petugas Polsek Pasarkliwon yang sudah ada di situ, untuk melompat pagar. Malingnya sudah tidak ada, dan dicari sampai malam tidak ketemu. Ini menjadi hikmah bagi saya dan orang banyak, gara-gara ada peristiwa itu saya bisa masuk. Saya yakin Allah SWT memberikan jalan bagi kami melalui peristiwa ini. Mulai saat ini, akan kita tata kembali dan kita pelihara sebaik-baiknya. Karena Kraton Mataram Surakarta ini adalah peninggalan leluhur dinasti, milik Dinasti Mataram, bukan milik pribadi Sinuhun PB XIII dan keluarganya,” tegas Gusti Moeng selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) yang juga Pengageng Sasana Wilapa, menjawab pertanyaan para awak media yang ikut mengabadikan suasana hari ke empat masuknya Gusti Moeng.
Karena kraton merupakan habitat segala jenis produk peradaban/budaya Jawa, dan Pendapa Sasana Sewaka adalah habitat para pengabdi kraton di bidang pelestarian budaya Jawa, maka tidak ada yang aneh bagi Gusti Moeng ketika mempersiapkan hingga memulai memimpin latihan tarian sakral yang hanya dimiliki Kraton Mataram Surakarta dan secara resmi hanya dipentaskan untuk upacara adat tingalan jumenengan seorang raja Paku Buwana itu. Begitu para abdidalem karawitan sudah berada di belakang gamelan masing-masing dari pasangan gamelan Kiai Mangunharjo dan Kiai Harjobinangun, cakepan gending iringan dilantunkan secara koor oleh semua wiraswara dan pesinden, termasuk Gusti Moeng yang memang ahlinya di bidang seni tari khas kraton.
Pukul 12.10 koor panembrama melantunkan gending Bedaya Ketawang itu dimulai, dan 12 penari Sanggar Pawiyatan Beksa Kraton Mataram Surakarta yang sudah duduk bersila menghadap ke barat (Bangsal Prabasuyasa-Red) langsung melakukan gerakan menyembah sebagai ciri gerak tarian Jawa khususnya di kraton, untuk menyembah Sang Pencipta atau Tuhan YME sebagai sikap transendental. Disaksikan sejumlah sentanadalem, sederekdalem dan wayahdalem Sinuhun PB XII serta para pengageng Bebadan dan jajarannya, latihan tari Bedaya Ketawang yang diikuti 12 penari sanggar asuhan sekaligus pimpinan Gusti Moeng itu berakhir pada pukul 13.40 WIB.
Selama berlangsung latihan, suasana hening terasa sekali di sekeliling Pendapa Sasana Sewaka, sebagai tanda bahwa aura kewibawaan pendapa dan kraton pada umumnya masih ada dan bisa dibangun kembali. Namun, tidak berapa lama datang “gangguan kecil” dari orang yang mengaku “utusan” Sinuhun PB XII hendak menghentikan latihan itu, bahkan sempat mengeluarkan kata-kata bernada tinggi sehingga sempat mengundang perhatian semua yang ada di situ, termasuk Gusti Moeng, hingga direspon dengan celetukan santai bernada kelakar yang kata-katanya :”…oooo kelebon wong edan ta…?”.
Sehabis latihan tari 12 penari yunior yang disiapkan beberapa tahun oleh Gusti Moeng untuk penari Bedaya Ketawang itu, muncul para penari yang selama ini dipersepsikan menjadi pengganti pada setiap upacara adat tingalan jumenengan berlangsung, sejak 2017 hingga awal tahun 2022 lalu. GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani dan Gusti Moeng menyebut, para penari itu direkrut dari Jogja, yang hanya disiapkan dengan latihan di dalam garasi mobil, lalu disuguhkan dan pisowanan ageng ritual tingalan jumenengan, padahal menjadi penari kraton melalui tatacara adat yang baikl, bukan asal-asalan.
“Itu ‘kan namanya sudah merusak nama kraton dan namanya sendiri sebagai seorang Sinuhun Paku Buwana (XIII-Red). Menjadi penari bedaya Ketawang, ada prosesnya secara adat yang harus dilalui dan relatif lama, Bukan asal comot, latihannya di garasi mobil. nama besar Dinasti Mataram sudah dicoreng oleh Sinuhun dan orang-orangnya. Kebesaran Paku Buwana sebagai raja Mataram, jelas ikut tercoreng, dirusak sendiri. Itulah akibat mengambil istri yang tidak jelas asal-usulnya. Semua menjadi rusak,” tandas Gosti Moeng dan Gusti Rumbai menjawab pertanyaan para awak media, yang disaksikan GKR Ayu Koes Indriyah, KPH Edy Wirabhumi dan sejumlah kerabat yang ada di situ, termasuk KRMH Kusumo Adilogo. (won-i1)