Kabupaten Ponorogo Menjadi Perkecualian, Cabang yang Paling Cepat Berkembang
IMNEWS.ID – MEMBANGUN dan mengembangkan organisasi Pakasa dengan ciri karakter spesifiknya di zaman republik yang sudah sangat modern, global dan milenial, memunculkan variasi yang sangat beragam bahkan tajam perbedaan posisi dan capaiannya. Organisasi ini mewadahi (hampir semuanya) masyarakat adat yang memiliki platform secara khusus untuk pelestarian budaya (Jawa), tetapi tetapi berada di lingkungan daerah yang terbatasi oleh otoritas batas wilayah (administrasi kependudukan dan kewilayahan-Red). Di masing-masing cabang Pakasa, sangat bervariasi situasi dan kondisinya baik sumber daya alam (SDA), SDM maupun SDK (sumber daya keuangan), yang juga sudah sangat jauh berbeda dengan suasana 91 tahun lalu ketika Pakasa dilahirkan Sinuhun PB X.
Menampilkan profil perkembangan organisasi Pakasa di tingkat cabang dalam rangka peringatan Hari Jadi 91 tahun Pakasa di tahun 2022 ini, jauh dari maksud menganalogikan dengan judul lagu (dangdut campursari) “Aja Dibanding-bandingke”, tetapi sekadar menampilkan bagaimana perjuangan kalangan pengurus dan warga Pakasa dalam berjuang membangun dan mengembangkan organisasi cabang. Kemudian meperlihatkan bagaimana situasi dan kondisi secara umum maupun secara spesifik, dihadapi sebagai tantangan di masing-masing daerah. Mengingat waktu kelahiran dan usia organisasi cabang juga sangat bervariasi, begitu pula situasi dan kondisi daerah yang memiliki ciri dan karakter bervariasi pula.
Sebab itu, gambaran KPH Edy Wirabhumi selaku Ketua Pengurus Pusat Pakasa (iMNews.id,9/12/2022) tentang situasi sekilas Pakasa sebelum 1945, menjadi komparasi yang menarik ketika melihat bagaimana proses keberadaan Pakasa Cabang (Kabupaten) Jepara dan suasana riil daerah dan masyarakatnya, yang berada menjorok di ujung utara wilayah Muria, eks Karesidenan Pati, di Provinsi Jateng itu. Wilayah kabupaten yang didirikan Ratu Kalinyamat sebagai Bupati Jepara pertama di zaman Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma jumeneng nata di “nagari” Mataram (Kerta-Plered) itu, memiliki alam pesisir pantai utara pulau Jawa, pegunungan yang keras dan dekat hutan pohon jati yang jelas membentuk ciri dan karakter masyarakatnya.
Ciri dan karakter masyarakat Jepara berspiritual religi tinggi tetapi agak berbeda dengan daerah sekitarnya, itu jelas, karena dekat dari Kraton Demak dan tokoh-tokoh spiritual seperti dari keluarga Kyai Ageng Sela, tokoh Sunan Kalijaga, Syekh Sitijenar dan Sultan Hadirin (suami Ratu Kalinyamat) yang menginisiasi kompetensi ketrampilan (wira usaha) mebel ukir berkelas dunia. Pada 470-an tahun kemudian atau sekarang ini, komposisi ciri dan krakter itu sedikit berubah, karena semakin kerasnya kehidupan terutama secara ekonomi, mengingat bahan yang dijadikan mebel ukir juga makin tipis ketersediaan jumlah dan kualitasnya.
“Di Jepara sudah berdiri beberapa pabrik, di antaranya yang memproduksi sepatu. Ekspansi dari sekitar DKI dan Jabar. Warga Jepara banyak yang merantau. Di antaranya bekerja di pabrik-pabrik itu. Selama pandemi (Corona), banyak usaha mebel yang tutup. Karyawan yang di-PHK, sebagian pasti beralih ke sana (pabrik). Sebagian menjadi seniman mandiri dan juragan mebel skala kecil. Dalam suasana sulit terutama 3 tahun terakhir ini, Pakasa terbentuk dan diharapankan berkembang. Maka, kami harus menempuh cara pendekatan, pengenalan dan pelibatan yang mungkin agak berbeda dengan daerah lain,” jelas KRA Bambang Setiawan Adiningrat, Ketua Pakasa Cabang Jepara (iMNews.id, 9/12/2022).
Dan memang benar, selama dua tahun Pakasa Cabang Jepara berada, harus memulai dengan mencermati potensi kehidupan masyarakat adat terutama yang masih merawat sejumlah tempat peninggalan/petilasan/pesanggrahan dan makam leluhur Mataram yang tersebar di wilayah kabupaten. Dari situlah Pakasa masuk, menginisiasi prosesi untuk lebih mewarnai dan mengartikulasi upacara-upacara adat yang masih berlangsung di sejumlah makam, misalnya makam Eyang Sentono di Desa Sukodono, Kecamatan Tahunan, juga ritual-ritual macam Bersih Desa (Merti Dusun), Bersih Kubur/Makam (Lurup Hinggil), sedekah laut, “Rasulan” dan sebagainya.
Perbuatan nyata yang mudah dinikmati secara audio-visual, sudah diwujudkan dalam dua tahun ini dan rekaman peristiwanya disusun menjadi aset dokumen yang sangat berharga. Masyarakat dalam segala lapisan serta semua elemen kabupaten termasuk para pimpinan dan tokoh-tokohnya, telah menyaksikan fakta peristiwa bahkan ikut terlibat di dalamnya, setidaknya dalam jurnal agenda yang sudah dilakukan Pakasa Jepara selama setahun ini. Kumpulan dokumen dan jurnal kegiatan itulah yang kini sedang dipersiapkan pengurus Pakasa cabang untuk dipresentasikan di hadapan otoritas resmi Pemkab Jepara, agar dijadikan pertimbangan untuk menentukan kebijakan dalam hal menghitung potensi dan mengurus ketahanan budaya daerah, yang juga bermanfaat dalam rangka pelestarian budaya Jawa.
Selanjutnya, dari presentasi itu bisa melahirkan sebuah kerjasama yang riil dan berlanjut pada keluarnya berbagai kebijakan Pemkab yang selalu membawa spirit atau semangat pelestarian nilai-nilai budaya Jawa, karena dari situlah masyarakatnya akan berkiblat dan meneladani untuk dijadikan pedoman dalam kehidupan di manapun, setidaknya di wilayah kabupatennya. Kerjasama dan sinergi antara Pemkab dan jajaran serta elemen-elemen Forkopimda dengan Pakasa cabang dan elemen-elemen masyarakat lainnya, sangat penting, tepat dan strategis dalam untuk kebutuhan ketahanan budaya dan ketahanan nasional, karena kehidupan masyarakat yang ideal adalah seimbang antara kebutuhan raga dan jiwa, antara spiritual religi dan spiritual budaya.
“Atraksi budaya seperti yang kami tampilkan di berbagai kirab, akan mudah dipahami dan dikenali karena langsung bisa dinikmati secara audio dan visual. Keindahan ciri kebhinekaan yang ditampilkan, menjadi daya tarik pendekatan, pengenalan, pemahaman dan kecintaan. Kami justru lebih banyak merangkul kalangan generasi muda, pelajar dan mahasiswa. Karena, kalangan usia dewasa atau orang tua, sangat banyak kendalanya. Jarak rentang relasi budaya antara zaman Mataram Surakarta dengan masyarakat (Jepara) masa kini, sangat panjang, bahkan seperti terputus. Maka, dibutuhkan contoh-contoh riil dengan sentuhan daya tarik estetika (khusus) yang mudah dilihat langsung. Ontran-ontran di kraton tahun 2017, terus terang juga menjadi salah satu kendala kami,” jelas pengusaha anggota Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Jateng itu.
Proses keberadaan organisasi Pakasa Cabang Kabupaten Jepara (Jateng), tentu berbeda dengan keberadaan Pakasa Cabang Kabupaten Ponorogo (Jatim) yang kini sudah berusia 6 tahun dari kelahirannya di tahun 2016. Melihat latarbelakang kesejarahan dan perjalanan masing-masing menembus ruang zaman, juga sangat berbeda. Kabupaten Jepara mulai eksis di zaman “nagari” Mataram Kerta-Plered di bawah kepemimpinan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, dan dalam perjalanannya kemudian mengalami dinamika pasang-surut suasana dari zaman ke zaman luar biasa. Sementara Kabupaten Ponorogo menjadi bagian dari Mataram Surakarta menjelang perpindahan dari Ibu Kota Kartasura, dan selalu berada dalam relasi tali silaturahmi yang hangat dari waktu ke waktu hingga kini.
Posisi Kabupaten Ponorogo meski dekat dengan Surakarta tetapi tidak berada di lintasan arus mobilitas yang strategis, oleh sebab itu tidak mengalami perubahan yang berarti saat pasang-surut dinamika sosial-politik terutama yang berskala luas terjadi, seperti yang dialami Jepara yang berada di pesisir dan dekat dengan akses pintu keluar-masuk pengaruh dari luar. Oleh sebab itu, KRRA MN Gendut MN Wreksodiningrat selaku Ketua Pakasa Cabang Ponorogo nyaris tidak merasakan ada tantangan dan hambatan dalam melahirkan organisasi cabang dan membesarkannya, hingga kini tinggal 4 kecamatan yang belum terbentuk pengurus anak acabang dari 21 kecamatan yang ada.
“Ketika menghimpun para paraga untuk kepengurusan cabang dan anak cabang, kami hampir tidak menemui masalah. Karena, dalam waktu yang panjang beratus-ratus tahun, tali silaturahmi Ponorogo dengan Kraton Mataram Surakarta hampir tidak pernah terputus. Selau tersambung, walau generasi silih berganti. Oleh sebab itu, untuk menghimpun anggota sampai di tingkat cabang juga mudah, karena sudah tersedia keluarga-keluarga yang setia melestarikan budaya yang bersumber dari kraton. Hambatan kecil muncul karena ada kubu sebelah (friksi ontran-ontran-Red), mudah diatasi. Pakasa Gebang Tinatar tetap solid, ‘setya (setia), saraya, dumeksa budaya’,” tegas KRRA MN Gendut sambil menyebut Lembaga Dewan Adat pimpinan Gusti Moeng yang diikutinya, saat ditanya iMNews.id di tempat terpisah, kemarin. (Won Poerwono-bersambung/i1)