Antara Syi’ar Agama dan Syi’ar Budaya Harus Imbang
IMNEWS.ID – KRATON Mataram Surakarta yang bergabung ke NKRI yang ikut didirikannya pada tanggal 17 Agustus 1945, “tak diduga” telah mengakibatkan kehilangan kedaulatan ekonominya selain kedaulatan politik. Proses “pelemahan” secara ekonomi yang berangsur-angsur sejak sejak 1945 itu, telah membuat lembaga masyarakat adat itu nyaris kehilangan kemampuannya, terutama dalam pembiayaan seluruh kebutuhan “rumah tangga”.
Hilangnya kedaulatan ekonomi jelas mengakibatkan hampir tidak ada sumber-sumber penghasilan, yang tentu sangat berpengaruh pada kemampuan menjaga rutinitas pelaksanaan semua upacara adatnya. Keberlangsungan upacara adat atau ritual, merupakan satu dari lima syarat yang harus dipenuhi lembaga masyarakat adat agar diakui eksistensinya, setidaknya oleh Forum Komunikasi dan Informasi Kraton se-Nusantara, atau oleh negara melalui organisasi Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN).
Oleh sebab itu, upacara adat seperti Sekaten Garebeg Mulud 2022 ini, juga menjadi esensi keberadaan Kraton Mataram Surakarta beserta masyarakat hukum adatnya, seperti yang dimaksud dalam pasal 18 UUD 45. Tetapi karena kraton sudah tidak punya sumber penghasilan dari kedaulatan ekonominya, maka akan berpengaruh pada banyak hal, termasuk menjaga rutinitas terselenggaranya upacara adat, termasuk menjaga porsi ukuran kecukupan untuk memenuhi dimensi atau fungsi sosialnya (iMNews.id, 28i/9/2022).
Tidak Sebanding
Upacara adat yang sejak ratusan lalu sangat menonjol unsur dimensi sosialnya terutama dalam pemerataan rezeki, ada tiga jenis yang semuanya menggunakan kata kunci “garebeg” atau “garabag”, yaitu Garebeg Mulud (Sekaten), Garebeg Pasa (Idhul Fitri) dan Garebeg Besar (Idhul Adha). Dari penyelenggaraan tiga jenis ritual utamanya Sekaten Garebeg Mulud seperti yang sedang berlangsung sekarang ini, dimensi sosial ekonomi pemerataan rezeki itu menjadi sangat menonjol bisa diidentifikasi.
Akibat efek domino yang sudah diketahui sumber penyebabnya itu, berakibat pada ketersediaan jumlah hajad dalem gunungan yang dari tahun ke tahun semakin ketinggalan pertumbuhannya dibanding jumlah pengunjung yang datang untuk “ngalab berkah”. Dalam beberapa tahun, perbandingan jumlah yang njomplang antara pengunjung yang “ngalab berkah” (demand) dengan ketersediaan gunungan yang dikeluarkan kraton (supply), memang terkesan akan diseimbangkan dengan adanya sumber pembiayaan dari APBD Pemkot Surakarta dan APBD Pemprov Jateng.
Tetapi, realitasnya “bantuan sosial” (bansos) yang harus didapat dengan mengajukan proposal itu tidak pernah selalu sesuai dengan harapan kraton. Bahkan, secara esensial cara-cara negara memberi “bansos” yang dengan label sebagai bentuk “kepedulian” pemerintah/negara, sebenarnya dipandang tokoh-tokoh dari lembaga masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta sangat tidak tepat, karena bertentangan dengan semangat yang dimaksud dalam pasal 18 UUD ’45.
Amanat Konstitusi
“Mosok, ‘….negara mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat….’ kok kemudian wujudnya bantuan sosial lewat APBD? Mosok, lembaga masyarakat hukum adat Kraton Mataram Surakarta yang dulu punya andil dan jasa mendirikan ikut NKRI ini disamakan LSM? Harus mengajukan proposal untuk minta bansos kepada pemerintah/negara?. Bapak Sinuhun PB XII dengan tegas berpesan kepada kami, jangan sekali-kali merengek-rengek minta bantuan (bansos). Karena negara yang harus sadar tugas dan kewajibannya, menjalankan amanat konstitusi (pasal 18 UUD 45) sepenuhnya secara konsekuen,” tandas GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA).
Peraturan Presiden (Perpres) yang lahir di Tahun 1967, sebenarnya bisa dipandang sebagai wujud amanat konstitusi pasal 18 UUD 45, yang kemudian ditindaklanjuti dengan SK Bersama tiga menteri waktu itu), yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Keuangan dan Menteri Politik dan Keamanan. Tetapi, SKB tiga menteri itu sepenuhnya dijalankan pemerintah (Pemprov) Jateng yang ditunjuk untuk mengalokasikan sebuah bentuk pengakuan dan penghormatan berupa anggaran, untuk pemeliharaan rumah tangga satuan masyarakat hukum adat Kraton Mataram Surakarta.
Negara yang dikelola pemerintahan rezim Orde Baru setelah keluarnya Perpres 1967 itu, semakin tidak jelas dalam menjalankan tugas dan kewajibannya mengakui, mengormati dan memelihara satuan masyarakat hukum adat Kraton Mataram Surakarta. Sampai akhirnya, ketika situasi politik berubah setelah rezim Orde Baru ambruk, negara yang diwakili pemerintah benar-benar tak jelas dalam menjalankan amanat konstitusi seperti yang sudah dituangkan ke dalam SKB tiga menteri dan menunjuk Pemprov untuk mewujudkan, akibat dominasi politik kepartaian yang membuat kepemimpinan berganti tiap 5 tahun.
Budi Pekerti Luhur
Efek domino dari dimensi sosial ekonomi yang menjadi fungsi Kraton Mataram Nusantara menjalankan upacara adat Sekaten Garebeg Mulug, letak sumber masalahnya menjadi jelas, dan rentetan sebab-akibatnya juga semakin jelas, begitu pula ekses sosial budayanya yang ditimbulkannya juga menjadi jelas. Masyarakat warga peradaban yang berkunjung untuk “ngalab berkah” Sekaten dalam rangka cinta budaya Jawa untuk melestarikannya, menjadi bagian paling ujung yang mudah berubah sikap dan perilakunya, hingga tata nilai (budi pekerti) bergeser, dari bersabar menunggu giliran menjadi beringas menjarah.
Upacara adat Sekaten yang menjadi contoh dari semua upacara adat di Kraton Mataram Surakarta, adalah produk budaya religi, sebagai perpaduan atau kolaborasi yang akulturatif antara Budaya Jawa dan agama (Islam). Di situlah sebenarnya, produk budaya religi karya para leluhur peradaban hendak menunjukkan, bahwa idealnya seseorang yang bertaqwa kepada Allah SWT seperti disebut dengan ungkapan “agama ageming aji” (syi’ar agama) harus juga berbudi-pekerti luhur atau patuh pada nilai-nilai sosial budaya seperti tata krama, tata susila, unggah-ungguh dan udanegara (syi’ar budaya).
Bila melihat kebutuhannya agar yang datang “ngalab berkah” bisa berubah menjadi manusia yang paham dan taat beragama tetapi juga berbudi-pekerti luhur (bertata nilai), rasanya memang ada sesuatu yang kurang ditambahkan atau kurang ditegaskan dalam penyajian ritual Sekaten Garebeg Mulud, atau ritual yang lain dari tahun ke tahun. Karena, tausyiyah atau siraman rohani yang disajikan di kagungandalem Masjid Agung Kraton Mataram Surakarta, sekaligus bisa diselipkan edukasi tentang tata nilai budi pekerti itu, atau bisa diberikan terpisah misalnya dalam aktivitas pentas wayang kulit Sekaten seperti yang sudah pernah dicoba di Pendapa Sitinggil Lor, sebelum 2017. (Won Poerwono-bersambung/i1).