Sultan Agung Menciptakan 1 Sura, Agar Semua Bisa Memperingati
IMNEWS.ID – SEBUAH pernyataan yang dilontarkan KPH Edy Wirabhumi selaku Pangarsa Punjer (Ketua Pusat) Pakasa di forum kecil ketika Gusti Moeng selaku Ketua LDA menerima tamu rombongan warga Kabupaten Cilacap di ndalem Kayonan, Baluwarti, kemarin (iMNews.id, 28/8/2022), ketika dicermati sungguh menggelitik. Di situ, Ketua Umum Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) itu menyebutkan, banyak di antara para pemimpin negara dan bangsa ini yang baru sadar, bahwa kesepakatan mendirikan NKRI pada tanggal 17 Agustus 1945, selain melalui perjuangan yang dirintis para pendahulu, faktor utamanya adalah karena kecintaan bangsa ini terhadap kebhinekaan budayanya, yang menjadi modal dasar dan bisa mengikat sampai NKRI ini berusia 77 tahun.
“Bapak, ibu dan para sederek sekalian, perlu dipun pahami, bahwa modal dasar bangsa kita bersepakat mendirikan NKRI pada tanggal 17 Agustus 1945, karena kecintaan kita terhadap budaya yang beraneka ragam, yang tersebar di seluruh penjuru Tanah Air. Meskipun, untuk mencapai momentum 17 Agustus 1945, harus dirintis dengan gerakan-gerakan perjuangan yang dilakukan para pendahulu kita dan banyak tokoh-tokoh pejuang yang berguguran. Tetapi, modal dasarnya adalah kebhinekaan budaya yang disepakati sebagai ikatan berbangsa dan bernegara (NKRI), yang tertuang dalam Pancasila dan UUD 45,” tandas Pimpinan Lembaga Hukum Kraton Surakarta (LHKS) ini di depan 80-an anggota rombongan tamu dari Kabupaten Cilacap, yang sedang mencari tahu asal-usul leluhurnya itu.
Satu dari banyak hal yang muncul dari pernyataan itu, adalah kesepakatan yang terjadi karena bermodal dasar kecintaan pada budaya yang bhineka, tentu sangat beralasan dan sepertinya sudah tidak terbantahkan lagi atau “undebatable”. Sebab, seandainya hanya bermodal sukses mengganyang dan mengusir penjajah, agak mustahil 250-an kraton/kesultanan/kedatuan/pemangku adat yang tersebar di seluruh Nusantara, waktu itu, bersedia bergabung menjadi satu bangsa dan bersepakat mendirikan sebuah negara yang disebut NKRI. Bila mengingat, negara yang terbentuk dengan pertumpahan darah dan melahirkan rasa dendam, apalagi sampai melibatkan elemen-elemen bangsa sendiri ikut berhadap-hadapan, jelas kecil kemungkinannya bersepakat untuk bersatu, tetapi justru berkeinginan hidup sendiri dalam lingkup lebih kecil.
Digdaya Tapi Pinandita
Kini sudah 77 tahun bangsa yang memiliki keragaman budaya yang dipancarkan dari 250-an kraton/kesultanan/kedatuan/pemangku adat yang tersebar di seluruh Nusantara itu, menikmati perjalanannya dalam wadah NKRI sejak terbentuk 17 Agustus 1945. Dinamika sosial, politik dan budaya menghiasi sepanjang perjalanan bangsa dan negara yang sudah memilih sistem demokrasi sebagai jalan mencapai tujuan idealnya, sebagai bangsa dan negara besar yang punya harapan bisa menikmati suasana kehidupan adil, makmur, aman, sejahtera dan berbagai harapan seperti kalimat “janturan” yang sering diucapkan dalang wayang kulit di depan “kelir”. Namun, semakin berusia dewasa bukannya makin “menep”, “waskita”, “wicaksana” dan segala ciri atas sifatnya yang “sinatrya”, “digdaya”, “pinandita” (kapujanggan-Red), tetapi bangsa dan negara ini sepertinya kurang waspada, hingga jalannya sering “terganggu” oleh upaya-upaya yang terkesan ingin mengingkari, atau bahkan merusak kesepakatan 17 Agustus 1945.
Sejak Pilgub DKI 2017 menjadi akumulasi dari anasir-anasir politik identitas yang sudah terbangun sejak Pilpres 2014, ancaman-ancaman terhadap perpecahan kebhinekaan bangsa itu semakin nyata, yang dianalisis menajam sampai ke potensi disintegrasi ketika menyimak rentetan peristiwa yang terjadi di Papua. Mengidentifikasi ancaman-ancaman retaknya kebhinekaan itu, sangat mudah dilakukan mana kala berkeliling di berbagai daerah di pulau Jawa saja, seperti yang dilakukan Pakasa Punjer bersama Lembaga Dewan Adat (LDA) Kraton Mataram Surakarta, yang juga menjadi representasi organisasi Majlis Adat Kraton Nusantara dan Forum Komunikasi dan Informasi Kraton Nusantara (FKIKN), setidaknya dalam 5 tahun terakhir.
Di forum-forum yang bermunculan di berbagai daerah dalam format penganugerahan gelar kekerabatan dan penetapan kepengurusan Pakasa cabang di sejumlah kabupaten itulah, kalangan pemegang otoritas daerah setempat mengungkapkan kegelisahannya menghadapi perkembangan situasi dan kondisi akibat berkembangnya dinamika sosial, politik dan anasir-anasir radikalisme serta intoleransi yang makin tajam menekan. Namun, dalam waktu yang bersamaan para pemimpin bangsa dan negara juga mulai membuka diri untuk menyambut semangat para pemimpin budaya dari berbagai daerah di Nusantara yang tergabung dalam MAKN dan FKIKN, untuk bersinergi dan bersama-sama menyusun barisan menghadapi potensi-potensi anasir radikalisme dan intoleransi itu, bila tak boleh disebut disintegrasi.
Nilai yang Menghancurkan
“Karena menyadari esensi kesepakatan dalam mendirikan NKRI itulah, kami banyak berkomunikasi dengan para pemimpin lembaga tinggi negara. Intinya, kami yang bergabung di MAKN, juga di FKIKN yang Sekjennya dipegang Gusti Moeng, adalah perwakilan dari pusat-pusat budaya yang tersebar di seluruh Nusantara. Pusat-pusat budaya itu siap?, ya jelas kraton/kesultanan/kedatuan/pemangku adat itu. Mereka ini yang menyebarkan adat budaya di lingkungannya, yang menjadi ikatan kuat masyarakat di sekitarnya. Secara nasional, mereka ini pengisi keanekaragaman dan kebhinekaan bangsa ini. Kalau bicara budaya, soliditasnya sudah tidak perlu diragukan lagi. Maka, Ketua DPD RI, Ketua Komisi X DPR RI, Kasad, Kejagung, Mahkamah Konstitusi, Kementan, BNPT, BNN, BUMN, Peruri/PNRI/ANRI dan sebagainya yang kami ajak berkomunikasi, semua membuka pintu menyambut baik untuk bersinergi, demi keutuhan NKRI dan kebhinekaan bangsa, tegaknya Pancasila dan UUD 45,” jelas KPH Edy Wirabhumi baik saat berbicara di depan Wali Umat Buda Indonesia (Walubi) yang sedang mengikuti ritual labuhan di Parang Kusumo, Bantul DIY (iMNews.id, 13/8/2022) maupun acara di ndalem Kayonan, Minggu siang (28/8/2022).
Dari “safari” keliling menyambangi lembaga-lembaga tinggi negara itu, jelas bisa didengar pernyataan riil para petingginya yang merepresentasikan lembaganya sebagai elemen negara, sedang mencari format dalam menggalang kekuatan bangsa, guna menghadapi anasir-anasir potensi radikalisme dan intoleransi, seperti yang diucapkan Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Ammar. Menurutnya, pelestarian budaya dan penguatan nilai adat dan budaya, merupakan cara efektif dalam mencegah terorisme di Tanah Air. “Kami meyakini, nilai adat budaya Nusantara yang dilestarikan, adalah cara efektif untuk menepis dan mempersempit ruang gerak ideologi radikal terorisme. Ideologi radikalisme terorisme, adalah nilai yang menghancurkan peradaban dan budaya,” tandasnya di depan para pengurus DPP MAKN, di lantai 8 gedung BUMN, Jumat pagi (26/8).
Memperhatikan penjelasan Kepala BNPT dan nota MOU atau kesepakatan bersama yang sedang dibuat MAKN dengan sejumlah lembaga tinggi negara itu termasuk BNPT, secara langsung atau tidak sudah menjawab kegelisahan para pemimpin bangsa dan negara serta sejumlah pemimpin otoritas di berbagai daerah, yang sudah merasakan bagaimana anasir-anasir yang berpotensi memecah belah persatuan-kesatuan bangsa, merusak kebhinekaan serta mengancam keutuhan NKRI, tegaknya Pancasila dan UUD 45 benar-benar sudah mengkhawatirkan. Maka tidak ada yang salah, ketika Lembaga Dewan Adat bersama elemen Pakasa di internal masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta gencar melakukan upaya-upaya riil dalam rangka penanggulangan “serangan” anasir radikalisme dan intoleransi itu.
“Melawan” Anasir Perusak
Pelestarian budaya Jawa yang bersumber dari Kraton Mataram Surakarta, merupakan tema yang paling tepat dan kuat untuk mengakomodasi dan mengartikulasi segala bentuk aktivitas dalam rangka itu, bahkan sudah dimulai sejak lama, apalagi ketika angin politik identitas semakin santer dihembuskan yang antara lain ditandai dengan larangan pentas wayang kulit di sebuah wilayah di DKI, yang kebetulan menimpa Ki Manteb Soedharsono (alm) menjelang Pilgub 2017. Di wilayah peradaban Jawa, upaya-upaya perusakan nilai adat budaya seperti yang disebut Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Ammar, sudah sangat banyak, termasuk yang dilakukan di beberapa tayangan acara hiburan di TV swasta yang memperlihatkan adegan “melempar” dan “menendang” blangkon sebagai identitas simbol peradaban Jawa.
“Padahal, Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, pendiri Mataram Islam itu, salah satu karya kearifannya adalah memadukan antara kalender Saka dengan Hijriyah, yang kemudian disebut kalender Jawa. Di situ, Sinuhun Sultan Agung menetapkan 1 Sura bukan 1 Muharam, agar bisa diperingati atau dimaknai dengan berbagai aktivitas keprihatinan banyak orang. Kalau 1 Muharam, berarti membatasi hanya boleh dirayakan kaum muslim saja. Kalau 1 Sura, bisa dirayakan warga non-muslim juga. Itu artinya, Sultan Agung yang pemimpin Mataram Islam itu, sudah mengajarkan agar seorang pemimpin bangsa dan negara, agar mengayomi dan mengakomodasi semuanya tanpa pandang apa keyakinannya. Bukan hanya yang muslim, tetapi termasuk yang minoritas. Sesuai yang dimaksud kalimat rahmatan lil ‘alamin,” sebut KPH Edy sambil mengutip sepenggal sabda Nabi Muhammad SAW di depan warga Cilacap.
Dua aktivitas berbeda yang bila disandingkan berlawanan, terjadi di situs cagar budaya bekas Kraton Kartasura, yang memperlihatkan anasir perusakan pagar tembok bekas kraton atau tindakan negatif oleh oknum sipil beberapa bulan lalu, tetapi di sisi lain ada “Komunitas Mataram Binangun” yang banyak berisikan mahasiswa UIN RM Said Kartasura, bersama Kraton Mataram Surakarta memberi “perlawanan” terhadap tindakan perusakan itu dengan kirab bendera merah putih sepanjang 1 KM di dalam lokasi situs. Ancaman perusakan sendi-sendi kebhinekaan dari kelompok anasir-anasir radikalisme dan intoleransi yang terjadi sebelum pandemi, seakan diperkuat selama Prokes Covid 19 diberlakukan, namun prajurit TNI AD Korp Kopassus di Markas Grup 2 Kandang Menjangan, Kartasura yang didukung Kraton Mataram Surakarta, di bulan Mei menyambut semangat “rakyat” di lingkungannya untuk menggelar pentas wayang kulit guna “melawan” semua anasir perusak itu. (Won Poerwono-i1)