Lahir di Dua Zaman Berbeda, Tetapi Berjasa Mengedukasi Bangsa
IMNEWS.ID – TERINGAT di masa sekolah di tahun-tahun 1960-1970-an untuk SD dan SMP, kemudian di tahun-tahun 1970-1980-an untuk jenjang SMP dan SMA, adalah masa-masa yang baru tiga atau empat dekade setelah NKRI lahir di tahun 1945. Dalam waktu yang termasuk sesingkat itu, bisa dimaklumi apabila negara ini belum mampu memiliki sistem yang baik di berbagai bidang, terutama sistem pendidikan nasional, yang menjadi modal dasar paling depan untuk mencerdaskan bangsa dan memajukan harkat dan martabat bangsa.
Sebagai pembanding, Amerika (USA) termasuk negara yang sudah memiliki sistem pendidikan nasional sangat baik, karena negara itu punya prioritas mengurus bidang itu yang tentu dengan kebijakan alokasi anggaran negara yang sesuai kebutuhan untuk itu. Dan yang pasti, Negeri Paman Sam itu telah memulai sebagai negara dengan menerapkan sistem yang kuat di berbagai bidang jauh lebih dahulu dibanding NKRI, karena USA sudah merdeka dan menjadi negara kesatuan (republik demokrasi) sejak tahun 1779.
Melihat berbagai variabelnya, memang sudah tidak bisa dibandingkan antara NKRI dengan USA dalam hal sistem pendidikan nasional itu saja, karena modal dasar dan awal mula terjadinya negara memang ada perbedaan besar antara dua negara itu. Amerika membentuk negara kesatuan dari beberapa ras yang berbeda yang sebagian besar pendatang, sedangan NKRI membentuk negara karena 250-an kraton/kesultanan/kedatuan/pelingsir adat memang sudah bersepakat untuk melahirkan sebuah negara kesatuan, ketika Soekarno-Hatta sebagai representasi para pejuang/perintis kemerdekaan menginisiasi lahirnya negara kesatuan itu.
Memperkuat Bahasa Nasional
Dengan modal dasar dan latabelakang sejarah terbentuknya NKRI, maka wujud proses edukasi yang terjadi dan hasil akhir sistem pendidikan nasional jelas berbeda, antara NKRI dengan negara-negara yang mengutamakan kekuatan logika, teknologi, science and knowlegde serta berbagai keperluan dalam kehidupan yang serba dihitung secara matematis. Terlebih apabila sistem pendidikan nasional tidak memahami bahwa modal dasar bangsa adalah potensi kearifan lokal yang lahir dari aktivitas “olah rasa” (budaya), yang sudah terbukti tidak mungkin “dipaksa” untuk mengikuti cara-cara dan proses berpikir dengan alasan untuk mengejar ketinggalan dari bangsa-bangsa barat.
Kelihatannya memang sepele, ketika pelajaran Bahasa Indonesia yang diberikan di jenjang pendidikan SD hingga SMA, banyak diperkenalkan bangunan bahasa nasional yang banyak diambil dari bahasa Melayu, lalu memunculkan tokoh-tokohnya dan diperkenalkan sebagai (sosok) “pujangga”. Para “pujangga” dengan karya-karya sastranya, bahkan sampai dikelompokkan menurut waktu/masanya, misalnya pujangga (tahun) 30-an, angkatan 45, 60-an, 70-an dan sebagainya yang rata-rata dikategorikan sebagai “pujangga baru”, sebagai tujuan untuk memperkuat bahasa nasional kita.
Dalam dikotomi yang muncul setelah ada pelajaran Bahasa Indonesia untuk memperkuat bahasa nasional, ada yang disebut “pujangga lama”, yang tak lain adalah sejumlah tokoh yang dianggap berkarya di bidang sastra (Jawa), baik berupa syair, prosa dan puisi seperti halnya karya-karya “pujangga baru”. Tetapi perlu diketahui, adanya dikotomi ini sebenarnya tidak bertujuan membandingkan antara yang lama dan baru, kemudian dipersepsikan sebagai perbandingan antara yang sudah tidak relevan dengan yang masih aktual, atau model lain untuk membandingkannya, agar kelihatan ada perbedaan antara keduanya.
Memenuhi Delapan Syarat
Dengan adanya dikotomi itu justru semakin terlihat, bahwa perbedaan yang jelas itu terletak pada bobot karya-karya para pujangga itu sendiri, atau kapasitas figur sosok pujangganya karena memang memiliki kemampuan dalam “olah rasa” selain karya-karya sastranya. Bahkan, karya-karya para “pujangga lama” justru memiliki bobot melebihi kapasitas manusia, karena banyaknya unsur tuntunan dan pedoman hidup serta kandungan positif lainnya yang bermanfaat bagi warga peradaban secara luas, yang relevan sepanjang zaman
dan selalu bisa diaktualisasi di segala zaman.
Peneliti yang juga Ketua Lembaga Olah kajian Nusantara (Lokantara) Pusat (Jogja) Dr Purwadi dalam bukunya berjudul ” Sejarah Kabupaten Klaten” (2022), bahkan menegaskan bahwa RNg Ronggawarsita yang lahir pada tanggal 15 Maret 1802 di kampung Yasadipuran, Surakarta itu, adalah seorang “pujangga” dalam arti sesungguhnya. Pujangga dalam arti sesungguhnya menurut KRRA Budayaningrat, adalah Pujangga Kasusastran Jawi (Kesusasteraan Jawa) yang memenuhi 8 macam syarat “kagunan” atau memiliki 8 kemampuan.
Pertama, adalah pujangga yang memiliki kemampuan di bidang “Parameng Sastra”, yaitu memiliki kemampuan atau piawai dan menguasai di bidang sastra dan bahasa. Kedua, pujangga yang ahli dan menguasai “Parameng Kawi” di bidang penciptaan, “reriptan” atau “anggitan”, karena memiliki memiliki kelebihan di bidang nyata/riil (lahiriah) maupun kebatinan. Ketiga, yang ahli dan menguasai “Hawi Carita” yaitu ahli membuat dongeng atau cerita yang menarik. Keempat, pujangga yang ahli dalam “Mardawa Basa” yaitu ahli dalam penggunaan/pemilihan bahasa (diksi) yang indah, bertujuan agar orang yang akan membaca dan mendengarkan menjadi tertarik, serta membangkitkan rasa senang, iba, asih, peduli dan sebagainya.
Mampu Mendengar Sabda Tuhan
Kelima, adalah pujangga “Mardawa Lagu” yang ahli dan menguasai pengetahuan tentang tembang dan gending. Keenam, pujangga yang “Mandra Guna” adalah pujangga yang bisa menguasai berbagai kemampuan dan pengetahuan, misalnya tentang bahasa, gending, tembang, keris, wayang, gangsa (gamelan) dan apa saja. Ketujuh, pujangga yang “Nawung Krida”, yaitu pujangga yang memiliki kemampuan merasakan getaran kehidupan yang paling halus, sehingga bisa membaca pikiran dan perasaan orang lain dan bisa membaca situasi/kondisi serta bisa membaca apa yang akan terjadi jauh di masa depan.
“Puncak dari 8 kemampuan yang harus dikuasai dan dimiliki seorang pujangga dalam arti sesungguhnya, adalah dimilikinya syarat kemampuan terakhir atau yang kedelapan, yaitu kemampuan ‘Sambe Gana’. Kemampuan Sambe Gana adalah kemampuan menjadi teladan dan contoh dalam kehidupan nyata sehari-hari. Tentu saja contoh-contoh kebajikan, yang baik, positif. Oleh sebab itu, pujangga juga harus bisa disebut ‘Kawi Wara’ atau ‘Kawis wara’ atau ‘kawi Tama’. Apabila sebelumnya juga menguasai kemampuan “Parameng Kawi”, maka pujangga yang seperti ini bisa mendengarkan sabda Tuhan”, papar dwija dari Sanggar Pasinaon Pambiwara Karaton Mataram Surakarta itu, sambil menegaskan bahwa pujangga yang menguasai 8 kemampuan itu adalah pujangga sastra Jawa.
Melihat penjelasan KRRA Budayaningrat yang juga Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng itu, menjadi sangat jelas bagaimana beda peran dan fungsi seorang pujangga pada zaman masing-masing, meski antara keduanya terutama karya-karyanya, masih pula digunakan dalam kehidupan jauh ke depan atau kehidupan sekarang ini, dalam keperluan yang berbeda pula. Namun dari pembagian sesuai fungsi dan peran itu, kemudian juga menjadi jelas antara pujangga yang sekadar bisa berkarya di bidang seni sastra, dengan pujangga yang karyanya mampu menjadi penuntun warga peradaban dalam menjalani hidup, tetap relevan ketika menembus waktu dari zaman ke zaman, bahkan diyakini bisa berlaku sepanjang zaman. (Won Poerwono-bersambung)