Hanya Dikenal di Kalangan Siswa Sekolah, Sebatas Menjadi Materi Lomba
IMNEWS.ID – HUKUM kausal yang menempatkan berbagai persoalan dalam posisi sebab dan akibat, tampaknya sangat berlaku dalam situasi dan kondisi masyarakat modern nan-milenial yang punya ciri-ciri sudah tidak mengenali jasa-jasa dan jejak sejarah para leluhur peradaban. Bahkan, hukum sebab-akibat itu sangat tepat untuk melukiskan kasus penampilan sebuah banner bertuliskan “Pendidikan Keyogyakartaan….” dan “Aja Adigang, Adigung, Adiguna”, di ruang sebuah kampus universitas di Jogja, beberapa waktu lalu (iMNews.id, 19/4).
Kalau hukum sebab-akibat itu digunakan untuk mengidentifikasi ciri-ciri masyarakat yang sudah tidak mengenali jasa-jasa dan jejak sejarah para leluhur peradaban, rentetannya bahkan sangat panjang. Setiap zaman berganti dan disertai adanya perubahan, telah membuat mata rantai panjang yang saling kait-mengait satu sama lain, hingga eksistensi para leluhur peradaban serta karya-karyanya yang penuh nilai-nilai kebajikan itu seakan-akan hilang begitu saja, dan terkesan tiba-tiba muncul kehidupan dan sebuah peradaban yang serba modern yang sedang bergeser ke nilai-nilai zaman milenial.
Tetapi kalau mata rantai sebab-akibat itu disederhanakan, rupayanya hanya ada tiga hal mendasar yang menjadi inti segala persoalan yang terjadi, dalam rentang perjalanan zaman para leluhur peradaban hingga zaman modern nan-milenial sekarang ini. Yaitu, sistem pendidikan, political will dan keteladanan. Ketiga hal itu yang terus mengalami kemerosotan atau penurunan kualitas dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi dan dari rezim pemerintahan ke rezim berikutnya.
Tidak Ikhlas Mewariskan
Ketika diidentifikasi melalui sistem pendidikan, menjadi sangat jelas sejak kapan dunia pendidikan yang dimiliki republik ini benar-benar menjadi cara terbaik yang menjamin pelestarian seni budaya produk peradaban? Sistem pendidikan rezim pemerintahan mana yang mampu melakukan transfer nilai-nilai peninggalan leluhur peradaban dari generasi ke generasi? Sistem pendidikan seperti apa yang bisa membuktikan bisa melahirkan generasi yang peduli, paham dan punya tanggungjawab melestarikan nilai-nilai peninggalan leluhur peradaban?
Ketika diteliti satu persatu, sepertinya belum pernah ada sistem pendidikan sebagai kebijakan pemerintah secara nasional, yang benar-benar “lila lan legawa” mau mewariskan yang terbaik secara wutuh kepada generasi penerusnya, dan berani menjamin pewarisan itu terus berjalan sebagaimana mestinya. Kalimat “lila lan legawa” menjadi embel-embel penyerta yang terkesan meragukan sifat keikhlasan melepas atau memberi, karena sistem pendidikan nasional yang sejak lama diharapkan menjadi agen transfer pengetahuan dan pewarisan nilai-nilai peninggalan leluhur peradaban itu, hingga kini nyaris tidak pernah terjadi.
Kalimat “lila lan legawa” juga menunjuk pada sifat tidak ikhlas pihak-pihak tertentu, karena memang dari situlah sumber atau awal mata-rantai sebab-akibat yang kait-mengakit itu bermula. Masa lalu memang tidak bisa bebas sama sekali dari mata rantai itu, tetapi sebuah bangsa yang terbentuk dengan nama NKRI dan memiliki sistem untuk memperbaiki sendi-sendi kehidupan seiring kemajuan zaman, seharusnya sangat peduli dengan pewarisan dan pelestarian nilai-nilai leluhur yang “sempat” menjadi cirikhas kepribadian bangsa dan membuat bangsa ini dikagumi bangsa-bangsa lain.
Ada Kesalahan Sistem
Ketika berkaca pada kalimat itu, maka tidak aneh kalau generasi muda warga bangsa sekarang ini benar-benar awam dan asing terhadap tembang-tembang macapat sebagai bagian dari karya leluhur dan produk peradaban. Seorang “dwija” pada Sanggar Pasinaon Pambiwara Keraton Mataram Surakarta, KRRA Budayaningrat menyebut, generasi muda lebih sempit lagi hanya kalangan siswa sekolah (SD-SMP) hanya di wilayah Jawa Tengah, Jatim dan DIY saja yang kini “mengenal” tembang-tembang macapat. Jangankan mereka, kalangan mahasiswa saja nyaris tidak ada yang mengenal “Adigang, Adigung, Adiguna” berasal tertulis di tembang macapat Gambuh, dari Serat Wulangreh karya Raja Keraton Mataram Surakarta, Sinuhun PB IV.
“Itupun hanya sebatas ketika mereka mengikuti lomba. Sebagian besar siswa yang tidak ikut lomba, ya mungkin hanya pernah tahu dari mata pelajaran bahasa Jawa. Dari tahun ke tahun dalam beberapa dekade, ya hanya seperti itu. Maka tidak aneh, kalau secara umum masyarakat kita awam atau asing ketika mendengar kalimat ‘Adigang, Adigung, Adiguna’. La wong sistem pendidikan yang kita punyai seperti itu. Padahal, melalui tembang-tembang itu para leluhur pemimpin kita menyimpan data-data sejarah penting bagi bangsa ini. Kalau kita tidak paham tembang macapat, ya pantas saja kalau kita tidak paham sejarah,” tunjuk Ketua MGMP Bahasa Jawa SMA se-Jateng itu.
Lingkungan perguruan tinggi yang menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional, juga malah seperti menara gading dalam menyikapi keparahan tingkat apresiasi masyarakat terhadap nilai-nilai peninggalan leluhur peradaban. Keberadaan Fakultas Sastra dan Sejarah atau Fakultas Ilmu Budaya yang di dalamnya ada jurusan sastra dan sejarah, seperti tak memberi dampak apa-apa untuk merubah situasi dan kondisi masyarakat yang ternyata awam dan asing terhadap nilai-nilai peninggalan leluhur, dari generasi ke generasi, dalam kurun waktu sangat panjang.
Sulit Diterima Nalar
Melihat realitas seperti itu, maka tidak aneh apabila muncul kasus penampilan sebuah banner bertuliskan “Pendidikan Keyogyakartaan….” dan “Aja Adigang, Adigung, Adiguna”, di ruang sebuah kampus universitas di Jogja, beberapa waktu lalu. Tetapi khusus kasus ini, bisa akibat dari adanya kesalahan dalam sistem pendidikan kita, juga bisa mendapat andil atau pengaruh kuat dari faktor kemauan politik penguasa (political will) dan tiadanya keteladan dari para pemimpinnya, karena sang pemimpin memang juga awam atau asing dan bisa juga paham tapi berada di lingkaran kekuasaan.
Oleh sebab realitas seperti itu pula, maka tidak aneh apabila muncul kasus terbaru, yaitu penjebolan pagar tembok beteng situs cagar budaya bekas Keraton Kartasura (iMNews.id, 25/4) oleh beberapa oknum yang sebenarnya warga di dekat situs berada, di Kelurahan Kartasura, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo. Bahkan, dalam dialog antara dua oknum yang diduga perusak dengan Bupati Sukoharjo Hj Etik Suryani saat sidak di TKP (iMNews.id, 25/4), terkesan sekali betapa memprihatinkan situasi dan kondisi riil warga bangsa kita yang begitu awam dan asing terhadap nilai-nilai peninggalan leluhur peradaban.
Apapun alasan pihak-pihak yang telah melakukan perusakan itu, memang ada sisi benarnya tetapi secara keseluruhan dari yang terungkap maupun belum terungkap, tasanya sulit diterima nalar sehat. Oleh karena itu benar kata Pimpinan Lembaga Hukum Keraton Surakarta (LHKS) KPH Edy Wirabhumi yang ditugasi Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta, agar pihaknya tetap memantau TKP agar tidak menjadi sasaran tindak kejahatan berikutnya, serta berharap agar kasusnya terus berproses sampai di pengadilan. (Won Poerwono-bersambung/i1)