Karena tak Pahami Tembang Macapat, Menetapkan Hari Jadi Surakarta Salah (2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:April 21, 2022
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read

Para Raja yang Sekaligus Pujangga Hebat, Meneladani Kehebatan Para Pendahulunya

IMNEWS.ID – TAHUN-TAHUN setelah 2004 sampai 2017, “gedhong” atau Bangsal Sasana Handrawina Keraton Surakarta, nyaris tak pernah melewatkan terselenggaranya sebuah upacara adat, yaitu wilujengan nagari pengetan adeging Keraton Mataram Surakarta Hadiningrat. Setiap jatuh tanggal 17 Sura, pisowanan besar yang banyak memanfaatkan ruang bergengsi untuk menerima tamu agung di kawasan kedhaton itu, pasti digelar ritual untuk memperingati saat berdirinya “nagari” Mataram Surakarta yang waktu itu tepat tanggal 17 Sura tahun Je 1670, yang kebetulan tepat tanggal 20 Februari tahun 1745 Masehi.

Tempat yang baku untuk ritual wilujengan nagari selama kurun waktu 2004-2017 itu, lebih banyak digunakan gedhong Sasana Handrawina, yang berada di sisi selatan Pendapa Sasana Sewaka, tempat pisowanan agung pada saat-saat tertentu, utamanya upacara adat tingalan jumenengan dalem Sinuhun Paku Buwono. Tetapi, selama itu pula pernah menggunakan topengan Malidi atau teras ujung timur Pendapa Sasana Sewaka untuk menggelar ritual yang rata-rata dihadiri lebih 500 orang itu.

Jadi selama kurun waktu 2004-2017 itu, tiap datang tanggal 17 Sura pasti ada ritual wilujengan nagari yang dilengkapi dengan kenduri, tahlil dan dzikir yang dipimpin abdidalem jurusuranata, yang selama itu banyak dilakukan KRT Pujodipuro. Yang menarik dari ritual itu, selain referesni tentang tonggak sejarah lahirnya Kota Surakarta sebagai Ibu Kota “nagari” Mataram Surakarta, juga adanya menu makanan khas berupa bubur atau jenang gurih sebagai simbol kekuatan.

Hebatnya Tembang Dhandhanggula

KARYA PUJANGGA : Perpustakaan Keraton Mataram Surakarta yang bernama Sasana Pustaka, kini tak jelas nasibnya. Padahal menyimpan karya-karya sastra para Pujangga Surakarta, yang isinya dokumen bersejarah yang patut dimengerti dan dipahami generasi bangsa kapanpun. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Satu lagi pengalaman yang bisa didapat dari ritual wilujengan nagari itu, yaitu diperdengarkannya tembang macapat Dhandhanggula yang menceritakan kisah moyongan pindahnya Ibu Kota Mataram dari Kartasura ke Ibu Kota yang baru, yaitu Surakarta, yang sekaligus merupakan pengumuman kenegaraan tentang lahirnya Kota Surakarta. Yang membuat kesan indah untuk selalu dikenang semua yang hadir serta sulit dilupakan, adalah alunan suara seorang wiraswara dan pesindhen atau swarawati yang memperdengarkan tembang macapat dhandhanggula itu.

Suara merdu seorang wiraswara itu ternyata Wakil Pengageng Sasana Wilapa KP Winarno Kusumo, yang bergantian menyanyikan enam bait Dhandhanggula dengan salah seorang abdidalem swarawati atau pesindhen Keraton Mataram Surakarta. Bila tidak Nyi Madu Raras, mungkin Nyi Cendani Raras, dan suatu saat berganti Nyi Puspito Raras. KP Winarno suatu saat juga sudah sibuk kebagian tugas sebagai MC atau juru pambiwara, sehingga digantikan abdidalem wiraswara lain.

Mendengarkan suara tembang Dhandhanggula yang terkesan berwibawa, sambil duduk bersila menyandarkan punggung di salah satu saka guru ruang gedhong Sasana Handrawina, angan-angan kita seakan terbang. Diri kita seakan-akan dibawa di antara yang hadir ikut menyaksikan peristiwa upacara deklarasi adeging nagari Mataram Surakarta, 17 Sura Yahun Je 1670 atau 20 Februari 1745 itu.

Empu dan Pujangga

MEMBACA DOKUMEN : KRAT Siswanto sedang membaca dokumen bersejarah dari Serat Pindhah Kedhaton yang mengisahkan pindahnya Ibu Kota Keraton Mataram Kartasura ke Surakarta pada tanggal 17 Sura atau 20 Februari. Dokumen berupa tembang macapat Dhandhanggula itu dibaca dengan cara menyanyikannya, yang terdengar merdu, berwibawa dan menghanyutkan.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Suara emas para wiraswara dan swarawati keraton mengisahkan proses pindahnya keraton dan lahirnya keraton atau “nagari” baru dalam nyanyian, seperti tonggak yang ditancapkan dalam-dalam ke sanubari kita dan dilekatkan erat dalam pikiran kita. Hadir dan menikmati Dhadhanggula pindahnya keraton dan adeging nagari Surakarta sekali saja, belasan tahun tak akan lupa, apalagi kalau diulang sowan rutin setiap tanggal 17 Sura di pisowanan seperti itu, sampai ajal menjemput, kenangan dan memori itu tak akan hilang.

Begitulah kira-kira gambaran betapa hebatnya tembang macapat, yang namanya mulai dari Dhandhanggula hingga Wirangrong berjumlah belasan nama itu. Selain efek auditif yang ditimbulkan saat tembang dinyanyikan dalam suasana hening, isi syair tembang bisa melukiskan sebuah peristiwa bersejarah di masa lalu, melukiskan kehebatan seseorang yang dikisahkan dalam tembang, termasuk betapa hebat figur orang yang menulis karya sastra berbentuk tembang itu.

Artinya, figur yang menulis tembang itu memang berkelas, levelnya sudah Empu, bahkan pujangga, karena senyatanya Keraton Mataram Surakarta dikarunia para tokoh pemikir yang memiliki kemampuan memandang secara futuristik. Pujangga Ranggawarsita, Pujangga Yasadipura , Padmasusastra dan sebagainya. Ahli yang berkarya di bidang benda seperti wayang, gamelan keris, memang masuk kategori Empu, tetapi Empu Sedah, Panuluh, Empu Kanwa dan Prapanca, juga punya karya yang berupa manuskrip atau berupa tulisan.

Meneladani Para Pendahulu

SELALU DINYANYIKAN : Dokumen bersejarah riwayat pindahnya Keraton Mataram dari Kartasura ke Surakarta yang menjadi isi karya sastra Serat Pindhah Kedhaton, selalu dinyanyikan di tengah-tengah upacara adat wilujengan nagari yang digelar Ketua LDA/Pengageng Sasana Wilapa di gedhong Sasana Handrawina di tahun 2004-2017.  (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Prabu Jayabaya sebagai Raja Keraton Kediri (abad 12), bisa disebut sebagai leluhur pendahulu yang memberi banyak teladan dalam menulis, memang tepat dikategorikan sebagai  penulis, dan beberapa tokoh yang hidup pada zaman Mataram Surakarta seperti RNg Ranggawarsita, Yasadipura dan Padmasusastra, adalah deretan nama pujangg hebat. Karena, selain menulis karya sastra yang kebanyakan berupa tembang macapat, rata-rata juga memiliki kemampuan melihat secara futuristik yang berupa prediksi atau jangka suasana masa depan.

Para pujangga Surakarta itu tentu belajar pada leluhur pendahulunya, misalnya Prabu Jayabaya yang juga dikenal sakti dan mampu melihat suasana kehidupan ratusan tahun setelah abda 12, yang disebutnya zaman Edan seperti yang terwujud menjelang hingga tiba milenium 2 seakrang ini. Selain raja Keraton Kediri itu, para Wali Sanga seperti Sunan Kalijaga, melakukan syiar agama dengan berbagai cara yang mencerminkan kecerdasan dan kemampuannya, misalnya dengan karya sastra tembang macapat Dhandhanggula.

Hebatnya Surakarta, selain sederet pujangga itu, rajanyapun yaitu Sinuhun Paku Buwono IV (1788-1820) yang dikenal menulis serat Wulangreh yang mengulas sifat Adigang, Adigung dan Adiguna dan syairnya masuk kategori tembang Gambuh. begitu pula dan Paku Buwono V (1820-1823), sebagai pencipta karya seastra Serat Centhini, yang banyak disebut bersumber dari ayat-ayat suci Alqur’an. Bahkan, KGPAA Mangkunagoro IV (1850-1881), selain sukses membawa Kadipaten Mangkunegaran di bidang  industri gula pasir, juga pengarang sastra yang di antara karyanya dikenal dengan Serat Tripama. (Won Poerwono-bersambung)