Agresi Belanda I dan II, Bisa Dipersepsikan 17/8/1945 Belum Cukup
IMNEWS.ID – TEPAT tanggal 27 Desember, peristiwa puncak forum Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, 72 tahun lalu ditayangkan dalam sebuah rekaman video di Metro TV, Senin malam. Televisi yang memiliki program acara ”Melawan Lupa” itu, ingin mengingatkan kembali kepada bangsa Indonesia, bahwa ketika NKRI ini terbentuk dengan Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, setelah itu harus menjalani proses mendapatan ”pengakuan internasional” terhadap segala kedaulatannya di tengah bangsa-bangsa merdeka di dunia yang tergabung dalam Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) atau United Nations.
Memang, TV swasta itu memiliki ”angle” sendiri untuk mengungkap sejarah dari sisi yang diinginkan, sehingga tak semua dokumen bersejarah rekaman jalannya seluruh acara pada forum KMB itu ditampilkan secara utuh, detil dan komplet. Kali ini, secara visual jalannya sidang diperlihatkan sekilas, dan Wakil Presiden Moh Hatta yang memimpin delegasi RI di forum yang dihadiri sejumlah perwakilan negara anggota PBB itu juga kelihatan sekilas.
Ketika melihat peristiwa KMB yang berlangsung tanggal 27 Desember 1949 itu, beberapa pertanyaan besar muncul, mengapa delegasi perwakilan RI ada di situ? Ada keperluan Apa? Dua dari sekian pertanyaan yang muncul itu, terkesan sederhana dan ringan. Tetapi kalau dianalisis, dua pertanyaan itu menjadi sangat berbobot dan bermakna, ketika dikaitkan dengan esensi dan urgensi KMB itu diadakan oleh PBB.
Ada jawaban pula sebagai analisis terhadap pertanyaan itu, yaitu soal esensi KMB sebagai forum untuk mendialogkan, membahas dan merundingkan permasalahan yang terjadi di Indonesia pasca 1945, yaitu adanya insiden yang disebut Agresi Belanda atau Clash I tahun 1947 dan Clash II tahun 1949. Dua peristiwa agresi sekitar 4 tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 itu, terjadi di sejumlah wilayah di Tanah Air, terutama di Pulau Jawa, dan menelan kerugian cukup banyak di kedua pihak.
Sedangkan urgensi berlangsungnya KMB, analisis kemudian menyebutkan bahwa agresi Belanda (I dan II) itu terkesan atau dipersepsikan publik ”sangat ngawur”, karena NKRI sudah mendeklarasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Dari sinilah muncul pertanyaan, mengapa Belanda masih ”nekat” melancarkan agresi sampai dua kali (1947 dan 1949), padahal sudah merdeka atau sudah ada deklerasi kemerdekaan RI (17/8/45)?
Dengan meminjam ”bahasa ketatanegaraan” yang banyak dipahami para pakar hukum tata negara macam Prof Dr Mahfud MD, Prof Dr Yuzril Ihza Mahenda, Prof Dr Ryas Rasyid atau para ”pendekar hukum tata negara” lain di Tanah Air, deklarasi kemerdekaan (17/8/45) saja rasanya tidak cukup untuk lahirnya sebuah negara berdaulat penuh, di tengah bangsa-bangsa lain yang juga sudah merdeka dan berdaulat. Sebab, persyaratan sebuah negara diakui kemerdekaan dan kedaulatannya kalau sudah terdaftar di PBB.
NKRI yang kemerdekaannya didekalarasikan dua Proklamator Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, sampai 27 Desember 1949 belum didaftarkan di PBB atau menjalani proses persidangan di PBB yang biasanya dilakukan utuk mengesahkan masuknya negara baru sebagai anggota resmi. Dan organisasi bangsa-bangsa di dunia itu juga baru lahir pada tanggal 24 Oktober 1945, yang berturut-turut memiliki hingga 59 anggota (negara) ketika NKRI mendaftarkan diri sebagai anggota ke-60 pada tanggal 27 September 1950.
Dari data-data yang digali dari berbagai sumber termasuk dari buku ”Suara Hari Nurani Keraton Surakarta” (Prof Dr Sri Juari Santosa-Cetakan ke-5 tahun 2006), hasil analisis penelitian Lembaga Pusat Studi Daerah Istimewa (Pusadi) Jogja dan buku ”Propinsi Daerah Istimewa Surakarta” (Dr Julianto Ibrahim-Tahun 2011) itu, tentu bisa diurai dengan analisis urutan logikanya bahwa peristiwa KMB berlangsung (27 Desember) tahun 1949 dan baru (27 September) tahun 1950 NKRI terdaftar sebagai anggota resmi PBB.
Apa makna data dua peristiwa terakhir? Peristiwa KMB 27 Desember 1949 menunjukkan bahwa forum itu menghasilkan keputusan ”tuntasnya” persoalan status ”kemerdekaan” NKRI di depan forum negara-negara anggota PBB, untuk memenuhi syarat diterima sebagai anggota PBB yaitu pada tanggal 27 September 1950. Mengapa harus ada peristiwa KMB? Peristiwa Agresi Belanda sampai dua kali setelah 17/8/45 itu adalah jawabannya, karena melalui peristiwa itu mengesankan sekali bahwa Belanda tidak percaya ”klaim sepihak” tentang kemerdekaan RI itu.
”Kalau tidak ada latarbelakang masalahnya, Belanda mungkin bisa percaya terhadap (klaim sepihak) Proklamasi Kemerdekaan RI 17/8/45. Tetapi masalahnya, setelah 17/8/45 belum ada deklarasi dari PBB tentang kemerdekaan NKRI sebagai negara berdaulat. Padahal, Belanda masih terikat perjanjian kontrak (jangka panjang-lang contract) dengan Keraton Surakarta yang sebelum 1945 adalah ‘nagari” Mataram Surakarta”.
”Belanda masih punya ikatan kontrak sewa tanah di berbagai wilayah Mataram Surakarta (kini masuk Jateng-Jatim) yang waktu itu adalah ‘negara’ (kerajaan/monarki). Ya, jadi masuk akal kalau (Belanda) tidak percaya. Karena Belanda tidak mau rugi diputus begitu saja perjanjian kontraknya,” ujar GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua LDA Keraton Mataram Surakarta yang dibenarkan Kusno S Utomo dari Lembaga Pusadi Jogja di tempat terpisah, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.
Dengan melihat proses seperti itu, bisa dikatakan bahwa NKRI tidak cukup hanya dengan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Tetapi perlu proses panjang, termasuk terjadinya peristiwa KMB 27 Desember 1949, agar Belanda menjadi lega dan mengakui kemerdekaan RI. Karena di situ, Sinuhun PB XII membubuhkan tandatangan sebagai tanda secara resmi telah menggabungkan wilayahnya ”nagari” (Mataram Surakarta) ke dalam NKRI yang menjadi merdeka penuh. (Won Poerwono-bersambung)