Tiga Tahun Sinuhun PB II Susun Kekuatan Bersama Warga Ponorogo (2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:December 24, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Semangat ”Bumi Gebang Tinatar” Memaknai Sejumlah Peristiwa Bersejarah

IMNEWS.ID – DALAM telisik sejarah lahirnya Kabupaten Ponorogo yang disusun Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat/Jogja), Sinuhun Paku Buwono (PB) II ternyata tak hanya selama 3 tahun (1742-1745) bergaul dengan masyarakat Kabupaten Ponorogo, sebelum kembali merebut Ibu Kota ”nagari” Mataram, Kartasura di tahun 1742 (iMNews.id, 23/12). Tetapi, mulai tahun 1738 raja Mataram itu sudah menjalin kekerabatan yang sinergik di wilayah yang kini masuk Provinsi Jatim dan berbatasan dengan Kabupaten Wonogiri (Jateng) itu, karena di situ ”Sang Nata” punya guru spiritual religi ulama besar Kyai Moh Khasan Besari.

Hubungan kekerabatan antara Sinuhun PB II dengan simbol-simbol ”Bumi Gebang Tinatar” (Pesantren Gebang Tinatar, kini masuk Desa Tegalsari, Kecamatan Jetis) tak sebatas dalam satu atau dua hal. Hubungan itu ternyata dituntaskan dengan ”besanan” antara Sinuhun PB II yang merestui salah seorang anaknya bernama KRT Jayanagara, mengambil istri puteri Kyai Mohammad Khasan Besari yang bernama RAy Salamah atau Yatima.

Melalui hubungan yang begitu kuat, akrab dan membanggakan dalam bingkai nilai-nilai adat-istiadat (budaya/peradaban) Jawa, jelas akan melancarkan banyak hal termasuk hubungan sosial, kultural dan emosional masing-masing komunitas ke dalam satu bentuk atau corak yang adaptif, kolaboratif, akulturatif tetapi produktif meski ada pula unsur-unsur reduktif yang menyertai. Dan hasil dari hubungan ”besanan” antara ”Bumi Gebang Tinatar” dengan Mataram itu, tentu saja masih banyak yang bisa dilihat sekarang, misalnya yang dicontohkan dalam aktivitas Pakasa Cabang Ponorogo menggelar ritual ”Wilujengan Bubur Menang” itu.

KANCA KAJI : LDA Keraton Mataram Surakarta tak akan melupakan jasa-jasa segenap elemen masyarakat Ponorogo pada 280-an tahun lalu saat ”nagari” Mataram Surakarta hendak lahir. Karenanya, Gusti Moeng menyerahkan kekancingan kepada KRRA MN Gendut Wreksodiningrat sebagai ”Kanca Kaji” bersama sejumlah abdidalem lainnya, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sebagai ilustrasi, fakta data sejarah yang berhasil digali Dr Purwadi, tak hanya menunjukkan bahwa Kabupaten Ponorogo sudah menjadi bagian peradaban Mataran secara kewilayahan dalam sistem pemerintahan waktu itu, sejak Mataram Islam didirikan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma. Tetapi, hubungan sosial kekerabatan berupa ”besanan” antara penerus Mataram di Kartasura yaitu Sinuhun PB II dengan tokoh ulama pengasuh pondok Kyai Moh Khasan Besari, juga menyisakan bukti yang bisa ditelisik dari sebuah makam di Dusun Manyung, Wilangan, (Kabupaten) Nganjuk (Jatim), yang tak lain adalah makam KRT Jayanagara, salah seorang putra Sinuhun yang juga menantu ulama besar dari Pondok Tegalsari, Gebang Tinatar itu.

Apa yang didapat dari kerja ilmiah yang dilakukan Dr Purwadi, jelas salah satunya menunjukkan tingginya mobilitas sosial para keluarga raja dan para aparatur pemerintahan kerajaan sejak Mataram Islam, yang begitu luas. Cara-cara penyebaran pengaruh dalam rangka pemeliharaan sebagai tindak lanjut dari ekspansi kekuasaan seperti ini, jelas meneladani/meniru tokoh-tokoh peradaban sebelumnya misalnya Majapahit atau Kediri yang tergolong cukup besar dan kuat karakter ciri-ciri pengaruhnya.

Oleh sebab itu, tidak aneh apabila dengan segala ”kesibukan” perannya, Kabupaten Ponorogo juga mencerminkan wilayah yang kuat karakternya akibat sebaran pengaruh/kultur Majapahit dan Kediri, sekaligus pengaruh Mataram yang datang belakangan. Dengan model hubungan sosial selama 7 tahun (1738-1745) yang antara lain diwujudkan dengan ”besanan” antara Sinuhun PB II dan Kyai Moh Khasan Besari, pantas saja menghasilkan produk sosial budaya yang adaptif, akulturatif, kolaboratif dan komposisi dua peradaban yang bercitarasa dan berestetika tinggi.

GELAR KEKERABATAN : Gelar kekerabatan juga diberikan Gusti Moeng (Ketua LDA) kepada KRRA MN Gendut Wreksodiningrat sebagai salah satu trah Sinuhun PB VI. Kekancingan diberikan kepada Ketua Pakasa Cabang Gebang Tinatar Ponorogo di kediaman yang bersangkutan, beberapa waktu lalu, untuk mewakili jasa-jasa masyarakat Ponorogo terhadap Mataram Surakarta, 280-an tahun silam. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Pengaruh terakhir peradaban Mataram yang begitu masif, terutama selama 200 tahun Mataram Surakarta (1745-1945), telah menjadikan bentuk-bentuk sejumlah kesenian rakyat, simbol-simbol atribut busana dan ritual-ritual spiritual religi skala kecil yang begitu banyak di wilayah Kabupaten Ponorogo. Meski sama-sama memiliki cirikhas sebagai wilayah sebaran pengaruh Mataram dan disebut ”Mataraman”, antara Ponorogo dengan (Kabupaten) Trenggalek, Magetan, Ngawi, Nganjuk, Pacitan, Madiun, Tulungagung dan wilayah terdeklat lain memiliki perbedaan mencolok dalam komposisi ragam atribut busana, jenis kesenian rakyatnya maupun ritual-ritualnya.

Seperti yang sudah beberapa kali dipublikasikan, Kabupaten Ponorogo memiliki beberapa ritual berbalut spiritual religi yang unik yang berbasis kisah heroik dalam histori-kulturalnya, misalnya ”wilujengan Meteng Pitung Beruk”, wilujengan ”Bubur Menang”, jamasan keris pusaka yang menyatu dengan ritual menyambut Tahun Baru Jawa atau Hijriyah 1 Sura/1 Muharam dan sebagainya. Di situ juga ada kisah tentang seni reog begitu lengkap dengan daya dukung subkulturnya, sampai berujud dalam event Festival Reog dan kirab peringatan Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Keberadaan organisasi Pakasa Cabang Ponorogo yang kini sudah bersinergi dengan berbagai elemen masyarakat dan pamong wilayah setempat dan institusi kampus (IAIN) sampai pesantrennya yang karismatik itu, telah menempatkan wilayah Ponorogo strategis dan punya nilai jual tinggi untuk keperluan apa saja, khususnya dalam menjaga ketahanan budaya bangsa, kebhinekaan dan urusan perekonomian negara yang berkait dengan pemulihan dari pandemi, baik di tingkat lokal, regional maupun nasional.

MENELADANI LELUHUR : KRT Hendri Rosyad yang mendukung penuh segala bentuk kegiatan pelestarian budaya yang bersumber dari Keraton Mataram Surakarta seperti yang sering diinisiasi Gusti Moeng (Ketua LDA), karena salah satunya meneladani para tokoh leluhur dari ”Bumi Gebang Tinatar” sebagai panutan di bidang spiritual religi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

”Saya membaca semangat warga ‘Bumi Gebang Tinatar’ atau Ponorogo itu, karena punya kekuatan memaknai sejumlah peristiwa bersejarah setelah ‘Bubur Menang’ atau direbutnya kembali Ibu Kota Kartasura. Karena, setelah itu ada ritual boyong kedhaton untuk memperingati proses pindahan dari Kartasura ke Surakarta. Lalu deklarasi nagari Mataram Surakarta 17 Sura atau 20 Februari. Lalu ada wilujengan nagari ”Sesaji Mahesa Lawung”, yaitu peringatan 100 hari setelah deklarasi 17 Sura. Saya dengar masih banyak ritual lainnya,” sebut KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito mengutip inventarisasi upacara adat yang pernah dilakukan Gusti Moeng dalam dekade terakhir.

Dengan melihat contoh-contoh itu, pemerhati budaya Jawa dan keraton secara spiritual kebatinan itu juga menunjukkan kepada iMNews.id tentang arti penting Ponorogo bagi Keraton Mataram Surakarta, bagi Propvinsi Jatim dan bagi NKRI. Dia bahkan setuju dengan pendapat yang menyebutkan nama lembaga perguruan tinggi IAIN di Kabupaten Ponorogo cukup menggunakan nama daerah itu, karena nama itu cukup kuat sebagai ikon daerah/lokal, wilayah regional, nasional bahkan internasional karena Unesco juga memperkenalkan kepada bangsa-bangsa di dunia, bahwa seni reog identik Ponorogo.

Ada satu hal yang belum dibahas ketika berbicara tentang faktor Ponorogo, apabila tidak melihat faktor (Kabupaten) Kebumen. Karena antara dua hal itu menjadi satu ketika berbicara tentang Mataram Kartasura, apalagi Mataram Surakarta sejak awal dideklarasikan 17 Sura 1745 (M) hingga 1945. Kalau Ponorogo ditempatkan sebagai daya rebut, menang dan daya dorong mewujudkan ”nagari” Mataram Surakarta, faktor Kebumen adalah daya bangun, struktur bangunan, konstruksi dan teknik arsitektur bangunan ”nagari” Mataram yang bersumber dari Kebumen 280-an tahun silam. (Won Poerwono-bersambung)