Syi’ar Budaya adalah Kebutuhan Mendesak Demi Kelangsungan Bangsa
IMNEWS.ID – DENGAN meminjam istilah syi’ar, pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sudut pandang spiritual, KRT Hendri Rosyad Wrekso Budoyo hendak mengidentifikasi semangat yang digunakan atau yang tersirat dalam berlangsungnya ‘’ Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ (29/11-5/12). Dalam pandangannya, event itu tepat sekali dan sangat ideal serta sangat dibutuhkan masyarakat peradaban bangsa ini, mulai dari skala terkecil di lingkup Kota Surakarta, sampai skala yang sangat besar yaitu secara nasional.
Karena melihat sifat-sifat keperluan dan pentingnya peran event itu, maka KRT Hendri lebih setuju dengan istilah syi’ar budaya untuk menyebut kegiatan ‘’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ itu. Bahkan menurut pandangannya, event itu seperti gayung-bersambut dengan sinyalemen tajam yang diungkapkan Ketua DPD RI AA LaNyala Mattalitti, ketika berpidato di depan para raja yang tergabung dalam MAKN dan tuan rumah yang dikunjunginya, Sultan Pelalawan X di Istana Sayap, Pelalawan, Riau, belum lama ini (iMNews.id, 10/12).
‘’Kalau dulu para Wali Sanga melakukan syi’ar agama di tanah Jawa ini, rupanya sekarang perlu syi’ar budaya (Jawa). Kegiatan Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa itu, seperti meneladani karya-karya para Wali. Dan menurut saya, memang perlu sekali upaya seperti itu dilakukan. Karena mengingat, budaya (Peradaban) Jawa masih sangat dibutuhkan dan tetap relevan sepanjang zaman. Karena, bangsa kita juga butuh ketahanan budaya yang berasal dari kebhinekaan Nusantara, di antaranya dari (peradababan/budaya) Jawa. Pakasa bisa menjadi perekat dan inisiator untuk tujuan-tujuan ideal lebih besar itu,’’ harap KRT Hendri Rosyad.
Syi’ar budaya yang meneladani karya para Wali dan sinyalemen keras Ketua DPD RI yang menyebut bahwa kebudayaan yang bhineka yang menjadi kekayaan bangsa sudah terpinggirkan sejak NKRI lahir (1945), menjadi persoalan yang menonjol untuk dikritisi. Dan Lembaga Dewan Adat (LDA) yang diketuai Gusti Moeng menggelar ’’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’, ternyata mendapat tanggapan positif pemerintah melalui Kemenpar Ekraf yang menyatakan sangat mendukung kegiatan itu dan meminta agar kegiatan itu dilanjutkan sebagai kegiatan rutin tahunan.
Dalam skala besar (nasional), memang terasa sekali bagaimana nasib budaya Jawa dan warna-warni dari kebhinekaan bangsa di Nusantara ini, yang tidak lagi menjadi aset potensi dan kebanggaan bangsa. Karena masyarakat bangsa ini mulai mencoba-coba ‘’melupakan’’ atau bahkan ‘’menyingkirkan’’ kearifan lokal dari kebhinekaan itu dalam beberapa dekade terakhir, maka bangsa nyaris tidak memiliki posisi tawar dan sesuatu yang bisa dibanggakan dalam pergaulan antar bangsa.
‘’Sesuatu’’ yang terasa hilang dalam skala besar itu, ternyata berawal dari lingkup atau skala kecil seperti yang terjadi di wilayah Surakarta, atau setidaknya di wilayah yang pernah menjadi basis etnik budaya dan peradaban Jawa. Sikap ‘’arogansi’’ kekuasaan di wilayah terdekat dengan pusat dan sumber pelestarian peradaban/budaya, telah mendegradasi nilai-nilai yang pernah dibangun para leluhur hingga nyaris ke titik nol sejak 1945, dan baru mulai terbangun kembali dalam beberapa tahun terakhir, antara lain melalui keberadaan Paguyuban Kawula Keraton Surakarta (Pakasa).
Maka tentu tepat adanya apabila Pangarsa Punjer (Ketua Pusat) Pakasa KPH Edy Wirabhumi di saat pembukaan ’’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ (iMNews.id, 1/12) menegaskan, bahwa keberadaan Pakasa dengan berbagai kegiatannya pada puncak peringatannya yang genap 90 tahun, semata-mata hanyalah untuk mewadahi para warga peradaban yang cinta dan rindu budaya. Karena di sanalah ada kedamaian, mengingat budaya (Jawa) diciptakan untuk merawat kedamaian dalam kehidupan, mulai dari lingkup terkecil hingga terbesar.
Sinuhun Paku Buwono (PB) X yang telah melahirkan organisasi Pakasa pada tanggal 29 November 1931, bahkan telah bersabda :’’Rum Kuncaraning Bangsa, Dumunung Ana Ing Budaya’’. Sabda yang dalah arti harafiah berbunyi : ‘’bangsa yang bisa dikenal baik bangsa-bangsa lain, karena menyebarkan aroma harum budayanya’’. Inilah pesan bijak seorang raja yang juga disebut ‘’Sinuhun ingkang Wicaksana’’, dan karena jasa dan kebesarannyalah maka pantas menyandang gelar Pahlawan Nasional.
Sebab itu, dengan ‘’reborn’’ atau lahirnya kembali Pakasa mulai dari ‘’punjer’’ (pusat) di Keraton Mataram Surakarta dan bersama cabang-cabangnya yang kemudian menjadi ‘’agen’’ syi’ar budaya di daerah-daerah terutama Jateng dan Jatim, haruslah tetap dijaga dan dimaknai sebagai sebuah sarana untuk menggugah kembali kecintaan warga peradaban terhadap budayanya. Karena, seni budaya menjadi satu-satunya bidang pengetahuan sekaligus alat untuk mempererat tali silaturahmi, menjaga kebhinekaan, menjaga ketahanan budaya dan membangun kesadaran bersama mewujudkan perdamaian dunia atau ‘’hamemayu hayuning bawana’’.
Selain sebagai perekat di lingkup kecil hingga besar, upaya pelestarian seni budaya dan semua nilai-nilai produk peradaban yang terwadahi dalam Pakasa, ‘’reborn’’ atau kebangkitannya melalui ’’Pekan Seni dan Ekraf 90 Tahun Pakasa’’ bisa melahirkan energi positif untuk bersama segenap komponen lain bangsa dan pemerintah dalam upaya pemulihan ekonomi yang hancur dilanda pandemi. Kearifan lokal yang dimiliki cabang-cabang Pakasa yang tersebar di berbagai daerah, bisa menjadi potensi penggerak ekonomi di tingkat mikro (UKM), juga potensi ekonomi kreatif yang biasanya melekat dalam destinasi wisata.
Kebangkitan ekonomi kreatif yang terkait dengan potensi kewilayahan dalam kerangka kebangkitan sektor pariwisata, jelas berada di tangan Pakasa cabang yang memiliki kelembagaan yang proporsional di bidangnya, sekaligus wadah para ‘’ahli’’ dan kearifan lokalnya. Ekonomi kreatif yang berbentuk seni pertunjukan yang bisa menjadi bagian dari destinasi wisata yang dirawat Pakasa cabang, sangat besar potensinya di wilayah sebaran peradaban Mataram/Jawa.
Bahkan dalam sebuah sarasehan yang diinisiasi DPD Partai Golkar Solo, belum lama ini, sejarawan yang juga Ketua Lokantara Pusat, Dr Purwadi selaku pembicara tunggal menyebut, di wilayah sebaran peradaban Mataram khususnya sejak Mataram Kartasura hingga 200 tahun usia Mataram Surakarta (1745-1945), telah lahir sekitar 360-an jenis menu makanan/masakan. Kekayaan menu makanan/masakan terbanyak di dunia (untuk 1 wilayah/kawasan) itu, sangatlah tepat menjadi tanggungjawab para Pakasa Cabang agar menjadi agen-agen pelestariannya. (Won Poerwono-bersambung)