Kejanggalan yang Teridentifikasi dari Tarian Sakral Bedaya Ketawang (1-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:July 13, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:8 mins read

Upacara Adat Apapun di Keraton, Tidak Mengenal MC/Juru Pambiwara

IMNEWS.ID – MESKI Keraton Mataram Surakarta memiliki Sanggar Pasinaon Pambiwara yang telah menghasilkan lebih 4 ribu lulusan profesi master of ceremony (MC) berbahasa Jawa atau juru pambiwara, tetapi di dalam pelaksanaan semua upacara adat di dalam keraton, tidak mengenal keberadan profesi, tugas atau fungsi pengatur/pemandu acara. Dalam sejarah perjalanan keraton di Surakarta saja yang sudah berusia 200 tahun sampai 1945, semua protokoler yang sudah ada secara baku dan dijalankan secara konsisten di dalam, sama sekali tidak terdapat bagian tugas dan fungsi mengatur/memandu/mengumumkan acara atau pergantian acaranya.

”Saya awalnya juga heran, mengapa tidak pernah terdengar ada tugas dan fungsi semacam MC di keraton. Setelah saya berusaha memahami, saya baru tahu bahwa peradaban yang dibangun para leluhur Mataram, dan sudah dijalankan 200 tahun di Surakarta saja, semuanya bisa berjalan baik hanya dengan isyarat atau simbol. Yang membuat saya pernah heran bercampur takjub, semua upacara adat itu sudah berjalan begitu saja selama ratusan tahun”.

”Belum lagi kalau kita melihat ke belakang, misalnya selama Mataram beribukota di Kartasura, atau Plerde atau Kutha Gedhe, atau mundur lagi di zaman Pajang, Demak dan sebagainya. Jadi, semuanya sudah bisa berjalan baik dengan sistem yang diciptakan, tanpa perlu kehadiran sosok seorang MC atau juru pranatacara,” papar GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Mataram Surakarta, menjawab pertanyaan iMNews.id, kemarin.

GKR Wandansari yang akrab disapa Gusti Moeng, selain memimpin Lembaga Dewan Adat (LDA) selaku ketuanya dan Pengageng Sasana Wilapa, juga memimpin yayasan yang mengelola beberapa sanggar atau semacam kursus, yaitu Sanggar Pasinaon Pambiwara, Sanggar Pawiyatan Beksa dan Sanggar Pawiyatan Dalang Keraton Mataram Surakarta. Khusus Sanggar Pasinaon Pambiwara, diinisiasi berdirinya di sekitar tahun 1994 untuk membuka kesempatan bagi masyarakat luas yang ingtin belajar ketrampilan berpidato atau MC dengan bahasa Jawa, serta mendapatkan pengetahuan lain tentang Keraton Mataram Surakarta kitannya dengan budaya dan peradaban Jawa.

Antara lembaga masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta mulai yang sudah ada sejak tahun 1745, dengan realitas perkembangan sosial budaya di luar keraton setelah 1945  
yang justru membutuhkan pengetahuan ketrampilan MC/juru pambiwara, adalah dua hal yang berbeda tetapi ada benang merah hubungannya. Yang jelas, keduanya bukan ada sebagai hubungan kausal atau sebab-akibat, meskipun bila dilihat sekilas tampak bertolak-belakang.

Tetapi bila dicermati, ketika Keraton Mataram Surakarta masih berdaulat sampai 200 tahun sebelum 1945, maupun dalam perjalanannya di alam republik hingga kini, tampak sekali memiliki salah satu cirikhas yang lahir dari kearifan peradabannya. Di sinilah justru patut diapresiasi, bahwa hubungan sosial manusia dalam ikatan adat di keraton, memiliki peradaban yang tinggi dalam hal kepekaan sosialnya yang terbungkus dalam tatanilai etika adatnya.

PUNCAK RITUAL : Sajian tarian sakral Bedaya Ketawang, merupakan puncak ritual pisowanan tingalan jumenengan, termasuk yang digelar Sinuhun PB XII (1945-2004). Dalam ritual dengan sajian tarian itu, masih diyakini sebagai media hadirnya Kanjeng Ratu Kencana Sari atau Ratu Kidul yang sering memberi kekuatan hipnotis. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Isyaratnya ”Ungeling Gangsa”

Kepekaan sosial dalam tatanilai etika adat itu, bisa disebut dalam sebuah pengertian yang berbunyi ”tanggap ing sasmita”. Dan kepekaan atau sikap ”tanggap ing sasmita” atau tanggap terhadap setiap isyarat/simbol itu, telah dilukiskan struktur bunyi atau suara berirama (ungeling) konser gamelan atau gangsa. Dan konser gamelan yang disebut karawitan itu, merupakan gabungan produk seni/budaya dan iptek yang tinggi yang dimiliki para empu pada zaman itu.

”Tanggap ing sasmita” sebagai sebuah sikap yag selalu waspada untuk segera mengambil keputusan dengan cepat sesuai ukuran dan aturan yang berlaku untuk itu, telah menjadi bagian dari sebuah sistem yang sudah terbentuk secara struktural dalam tatanilai etika adat yang berlaku turun-tumurun sampai 200 ratus tahun di Surakarta. Begitu pula sudah ratusan tahun kalau ditarik mundur lagi, ketika Mataram masih berada di Kartasura, Plered, Kutha Gedhe, bahkan Pajang, Demak, atau bahkan sudah mulai tersusun sejak Majapahit (abad 14) atau Kediri (abad 12) atau sebelumnya.

Dan kearifan peradaban yang dengan jelas bisa dicermati, yaitu ketika berlangsung upacara adat tingalan jumenengan atau ritual ulang tahun tahta seorang Sinuhun Paku Buwono (PB), yang di dalam rangkaiannya ada sajian tarian sakral Bedaya Ketawang sebagai puncak ritualnya. Tarian sakral yang dibawakan 9 penari khusus itu, bahkan menjadi agenda acara baku sejak Mataram dipimpin Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma beribukota di Kerta/Plered.

Semua upacara adat yang masih dilestarikan Keraton Mataram Surakarta setelah 200 tahun hingga sekarang, ada 9 jenis tetapi yang dianggap paling bergengsi dan menjadi supremasi Keraton Mataram Surakarta adalah sajian tarian sakral Bedaya Ketawang. Karena tarian itu sekaligus menjadi simbol supremasi seorang raja Paku Buwono, sebagai simbol penerus Dinasti Mataram, dan oleh karena itu tari Bedaya Ketawang tidak dimiliki keraton lain dalam keluarga Dinasti Mataram, misalnya Jogja.

”Jadi, soal tugas dan fungsi MC atau juru pranatacara tadi, jelas tidak pernah dijumpai dalam 9 upacara adat keraton, apalagi tingalan jumenengan. Semua urut-urutan yang menjadi pertandanya, diwakili ungeling gending/gangsa. Karena, ini sebagai tanda bahwa para leluhur warga dinasti kita selalu dilatih agar lantip atau peka. Harus tanggap ing sasmita. Yang menjadi sasmita atau isyarat, ya bunyinya gamelan atau gending itu,” jelas pimpinan, koreografer sekaligus instruktur tari Sanggar Pawiyatan Beksa penerima penghargaan The Fukuoka Culture Prize Award dari Jepang tahun 2012 itu.

MENGAJAK FOTO : KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito merasa malah menikmati sajian tari Bedaya Ketawang yang telah menghipnotinya hingga tertidur pulas. Karena kekagumannya, sehabis seluruh rangkaian pisowanan berlangsung pada ritual tingalan sebelum 2017 itu, ia mendapat kesempatan berfoto bersama dengan para penarinya di depan bangsal Paningrat. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Terhipnotis, Tidur Pulas

Mungkin saja, bagi publik warga peradaban dan anggota masyarakat adat, terlebih publik secara luas yang pernah ikut dalam ”pisowanan tingalan jumenengan”, tidak merasakan adanya kejanggalan yang terjadi selama ritual tingalan jumenengan yang durasinya sekitar 3 jam itu. Mengingat, suasana di Pendapa Sasana Sewaka tempat pisowanan tingalan jumenengan digelar, adalah berada di kawasan kedhaton atau kawasan sakral di keraton yang masih memiliki kekuatan spiritual lumayan tinggi.

Dalam pandangan pemerhati budaya Jawa dan keraton dari sisi spiritual, KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, siapapun orangnya baik anggota internal masyarakat adat maupun yang hanya sekadar bertamu di keraton, pasti tidak akan merasakan adanya kejanggalan. Karena, begitu sudah masuk keraton apalagi ikut dalam pisowanan tingalan jumenengan dan menikmati sajian tarian sakral Bedaya Ketawang, yang lebih terasa hanyalah alam bawah sadar langsung terbawa masuk ke dalam imaginasi sajian itu.

Berdasar pengalamannya sejak kali pertama suwita di keraton awal 2000-an hingga akhirnya mendapatkan penghargaan gelar kekerabatan setingkat ”Bupati sepuh” Kanjeng Raden Tumenggung (KRT), Hendri Rosyad Wrekso Puspito merasakan dirinya seakan terbawa ke zaman keraton ratusan tahun silam. Mendengarkan suara iringan gamelan yang menyajikan Gending Ketawang Ageng, kemudian menikmati gerakan sembilan penari yang mirip konfigurasi ombak di laut, justru membuatnya tertidur lelap seperti dihipotis.

”Jadi, saya sampai tidak bisa menemukan kejanggalan itu. Padahal betul, dengan melihat sajian tari Bedaya Ketawang dan jalannya ritual tingalan jumenengan secara utuh, ada sebuah kejanggalan yang beda secara mendasar. Saya sama sekali tidak pernah melihat dan mendengar adanya seorang MC atau juru pranatacara di sana. Saya benar-benar sampai tidak ngeh soal itu. Saya malah langsung tertidur pulas sambil duduk. Padahal, saya tidak pernah bisa tidur sambil duduk ”.

”Mengikuti pisowanan itu sudah saya lakukan lebih 5 kali. Tetapi sama sekali tidak ‘ngeh’ kalau ada yang janggal. Mungkin karena saya langsung terhipnotis. Itulah kehebatan nenek-moyang dan leluhur yang menciptakan sistem ini. Walau hanya sekadar lisan, tanpa ditulis. Tetapi, semua berjalan sampai ratusan tahun. Urut, lancar dan nyaman. Dan sayapun merasa nyaman, hati merasa ayem-tentrem ketika mendengar gending iringan Bedaya Ketawang,” sebut KRT Hendri Rosyad menjawab pertanyaan iMNews.id, tadi padi.

Memang benar, perjalanan sebuah produk peradaban yang tetap terus terawat sepanjang zaman, meski selalu berganti-ganti suasana perubahan, terkadang sampai tidak bisa dirasakan atau terdeteksi adanya kejanggalan atau hal yang beda, ketika dibandingkan dengan suasana di luar peradaban di alam milenial yang serba digital seperti sekarang ini. Tetapi, kejanggalan yang bisa ditangkap seorang praktisi seni kandidat doktor di FKIP UNS, Joko Daryanto SSn MSn beda lagi dan lebih mendasar, kalau bicara tentang sajian tarian sakral Bedaya Ketawang di masa Sinuhun PB XIII ini. (Won Poerwono-bersambung)