In Memoriam; Genap Tujuh Hari “Perginya” Ki Manteb Soedarsono (4-habis)

  • Post author:
  • Post published:July 12, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Memenuhi Kriteria Dalang Sejati dan Sejatining Dalang

IMNEWS.ID – DALAM pandangan sang anak lelaki tertua, Ki Medhot Samiyono (45), Sang Maestro Sabet Ki Manteb Soedarsono sudah memenuhi segala syarat untuk disebut sebagai ”Dalang Sejati dan Sejatining Dalang” sebagai makna harafiahnya. Meski menikah sampai 8 kali (bukan enam kali-Red), tetapi almarhum ”Si Dalang Setan” itu bukan ”mayuh” atau memadu atau puya istri lebih dari satu sekaligus.

”Bukan mayuh mas…. Masing-masing istri yang sudah dinikahi secara resmi, yang dicerai secara resmi pula. Jadi, sampai bapak seda (meninggal), istri sah yang ada ya cuma satu. Jadi, bapak itu sangat memenuhi syarat sebagai dalang sejati. Kalau kontroversi di kalangan publik yang saya takutkan (iMNews.id, 11/7) malah terhadap figur dalang lain (yang punya istri lebih dari satu). Bukan bapak,” tandas Ki Medhot menegaskan kembali sambil meluruskan pernyataan sebelumnya yang dinilai beda persepsi, saat dihubungi iMNews.id, tadi pagi.

Tentu saja, yang dimaksud Ki Medhot bahwa sang ayah menikah 8 kali lalu berpisah hingga tinggal satu istri yang sah, tidak termasuk Nyi Suwarni yang menurunkan dua adiknya, masing-masing Ki Danang Suseno dan Ki Gatot Tetuko yang keduanya juga dalang profesional. Juga terhadap istri terakhir Nyi Suwarti, yang dinikahi almarhum kira-kira 10 tahun lalu sampai akhirnya ditinggal menghadap Sang Khalik, Jumat pagi (2/7) lalu.

Persyaratan yang dipenuhi almarhum sebagai dalang sejati, adalah anak pertama dari seorang dalang, yaitu Ki Brahim Hardjowiyono. Sang ibu, Nyi Sudarti adalah juga dalang, meski kurang memenuhi syarat sebagai dalang profesional karena lebih fokus pada statusnya sebagai seorang istri sekaligus ibu bagi Ki Manteb kecil selama dalam asuhan. Persoalan kriteria ”sejatining dalang”, menurut Ki Medhot terserah publik yang mengkatagorikan apakah sudah dianggap memenuhi syarat atau tidak.

Memang, setelah generasi dalang ruwat sekelas Ki KRT Panut Darmoko dan Ki KRT Redi Suto yang selalu melayani ritual ruwatan yang digelar Keraton Mataram Surakarta, tak banyak dalang ruwat yang benar-benar memiliki kapasitas lengkap dan sesuai, muncul kemudian. Selepas Ki Warsino Gondotukasno dan Ki Suloto Gunotukasno, dari keluarga besar dalang ruwat itu baru memunculkan Ki Manteb Soedarsono yang mencapai puncak profesi sebagai dalang ruwat.

PENAMPILAN LAIN : Inilah gaya penampilan lain Ki Manteb Soedarsono ketika diundang untuk memberi tausyiah dalam sebuah hajadan selamatan yang digelar dalang muda Ki Warseno Slenk di kediamannya, Gentan, Kartasura, beberapa tahun silam. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Animonya Sudah Sangat Rendah

Kini, dalang ruwat yang memiliki kecakapan dalam format klasik tradisional memang sudah sangat langka. Selain berbagai persyaratan terutama dedikasi sebagai dalang wayang kulit purwa yang berkualitas, senior dan berpengalaman, ada faktor eksternal dari publik secara luas yang sudah kurang tertarik menjalani ritual ruwat dengan pentas wayang ruwat, yang berarti animonya sudah sangat rendah.

”Seperti saya, sekarang sudah punya beberapa syarat yang diperlukan. Kelak, kalau segalanya mengizinkan, saya juga ingin jadi dalang ruwat. Tetapi saya ingat pesan bapak, bahwa persoalannya masyarakat masih membutuhkan ruwatan apa tidak? Mau diruwat dalang yang bersangkutan atau saya, atau tidak ? Yakin dengan ruwatan yang saya lakukan atau tidak?,” ujar Ki Medhot yang memiliki keluarga besar keturunan dalang ruwat terkenal seperti Ki Warsino dan Ki Suloto Gunotukasno yang tinggal di Batu, Wonogiri.

Persoalan ”sejatining dalang” dalam makna harafiah, memang pernah disinggung sedikit oleh Ki Manteb Soedarsono saat berdiskusi dengan penulis, sebelum tahun 2010. Dan makna rangkaian kata yang diberikan secara harafiah itu, menunjuk pada kemampuan Ki Manteb dalam menguasai pengetahuan tentang ajaran agama, yang berkotbah bisa mengambil contoh dari perilaku dan sifat-sifat para tokoh wayang dengan kisah kehidupan masing-masing di dunia seni pakeliran.

Kemampuan ”Si Dalang Oye” memadukan dua pengetahuan yang kemudian dipraktikkan dalam gelar seni pakeliran itu, sejak awal tahun 2000 sangat disukai publik secara luas yang dipahami sebagai syiar agama yang sangat halus atau njawani. Jadi, selain pentas wayang kulit purwa klasik untuk melayani masyarakat segala lapisan, Ki Manteb juga laris diundang untuk berkotbah sebagaimana layaknya ustadz, datang sendirian (tanpa kru karawitan) tetapi membawa contoh beberapa tokoh anak wayang.

Menyimak perjalanan kesenimanan Ki Manteb utamanya setelah berhaji di tahun 1990-an, ternyata telah mengantarnya menjadi seorang dalang memiliki kapasitas lengkap sekali. Ketika sudah sampai puncak profesi sebagai dalang ruwat, saat itu juga dosen luar biasa di Jurusan Pedalangan ISI Solo sampai akhir hayat itu, juga sudah berpengalaman sebagai ustadz.

DALANG RUWAT : Penampilan Ki Joko Laksitono ketika menggelar ritual ruwatan di sebuah desa di kawasan Kecamatan Banyudono, Boyolali, beberapa waktu lalu. Dalang wayang kulit purwa klasik itu, memiliki gaya yang berbeda ketika menggelar wayang ruwatan sesuai versi dan cirikhasnya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Nasi Tumpeng Simbol Ketuhanan

Sepertinya, contoh-contoh yang sudah dilakukan secara langsung dalam aktivitas profesinya itu, sedianya hendak dibukukan sebagai bagian lanjutan dari biografi sebelumnya yang sudah disusun. Kalau benar itu yag dimaksud, memang sangatlah masuk akal apabila Ki Manteb menginginkan penyusunan biografi perjalanan hidupnya terakhir, dengan judul ”Dalang Sejati, Sejatining Dalang”.

Sebagai pembanding, ada lagi seorang dalang wayang kulit purwa yang juga sudah sampai puncak profesi sebagai dalang ruwat, tetapi lebih mempresentasikan diri sebagai seorang ustadz dengan simbol-simbol atribut yang lebih tegas dikenakan. Dalang itu adalah Ki Joko Laksitono, yang juga pernah menjadi pegawai di Jurusan Pedalangan ISI Solo dan banyak juga melayani ritual ruwatan dengan tatacara upacara yang lebih banyak menampilkan porsi simbol-simbol religinya.

Kalau dalam prosesi pentas wayang ruwat Ki Manteb murni membawakan secara klasik tradisional (Jawa), tetapi Ki Joko Laksitono menyajikan wayang ruwat secara akulturatif dengan sentuhan inovasi kekinian. Ki Joko yang usianya kini belum menginjak 70-an, tinggal di kawasan Kandang Menjangan, Kartasura, yang juga memiliki keluarga besar dan leluhur dalang.

”Banyak yang bilang syirik dan musyrik, karena tidak tahu maknanya. Padahal, banyak simbol-simbol karya budaya peninggalan leluhur, yang bisa dijelaskan memiliki nilai ketuhanan sangat tinggi. Misalnya nasi tumpeng yang jadi menu utama saat kenduri. Mosok makanan pokok yang habis didoakan, kok dikatakan makanan setan?. Dari wujudnya saja, tumpeng yang ujungnya lancip ke atas, adalah simbol ungkapan rasa syukur manusia kepada Tuhan. Itu simbol hanya kepadaNya saja kita menyembah. Hanya kepada Allah SWT, Tuhan kita”.

”Nasi yang habis didoakan dan kita makan, itu rezeki dan kekuatan. Jadi persoalannya, kita selama ini tidak bisa menjelaskan nilai-nilai ketuhanan yang terkandung dalam berbagai jenis makanan yang tersaji dalam ruwatan. Hanya karena tidak mudeng, lalu mengatakan syirik dan musyrik. Sebaiknya, kita mencari tahu, agar bisa menjelaskan semua itu. Karena saya yakin, tujuannya baik. Tertuju kepadaNya,” jelas Ki Joko dalam wawancara dengan iMNews.id, beberapa waktu lalu. (Won Poerwono-habis)