Keraton Berkabung, KRAy Retnodiningrum Menyusul ke Alam Kelanggengan
IMNEWS.ID – HARI-HARI ini, Keraton Surakarta sedang berkabung, karena KRAy Retnodiningrum meninggal pada Kamis sore, 13 Mei 2021 pada usia 93 tahun di ”Lojen” kompleks ndalem Sasanamulya. Almarhumah adalah istri terakhir dari enam ”garwa ampil” Sinuhun Paku Buwono (PB) XII yang meninggal, karena lima ”garwa” (istri) lainnya sudah jauh lebih dulu tiada, bahkan Sinuhun sendiri sudah wafat pada tahun 2004 atau 17 tahun lalu.
Dengan meninggalnya KRAy Retnodiningrum menyusul Sang Suami (Sinuhun PB XII) yang sudah lebih dulu berada di ”alam kelanggengan”, maka habislah seluruh generasi di level pertama dalam sejarah jumenengnya Sinuhun PB XII pada tahun 1945-2004. Karena, tokoh-tokoh segenerasi seperti GPH Haryo Mataram (Rektor I UNS), Letjen TNI (Purn) GPH Djatikusumo bersama lima garwa ampil Sinuhun PB XII sudah jauh lebih dulu meninggal, bahkan banyak pula tokoh-tokoh generasi di bawahnya dan generasi kedua, juga sudah mendahului meninggal.
Dengan sebuah upacara pelepasan yang berlangsung di Pendapa Sasanamulya, Jumat pagi (14/5) pukul 09.00, jenazah almarhumah diberangkatkan menuju kompleks pemakaman raja-raja Keraton Mataram Surakarta di Astana Pajimatan Imogiri, Bantul (DIY) untuk disemayamkan. Almarhumah adalah ibu dari enam putra-putri dari yang tertua GRAy Koes Raspiyah, KGPHP Tedjowulan, KGPHA Dipokusumo, GRAy Koes Niyah, GPH Wijaya Sudarsana dan GRAy Koes Sabandiyah, 13 cucu dan 4 cicit.
”Saya ikut melayat, karena saya abdidalem pemerhati budaya dan keraton dari sisi spiritual. Dan tokoh yang meninggal adalah garwa Sinuhun PB XII (alm), tokoh yang sangat saya hormati. Secara kebetulan, itu garwadalem yang terakhir meninggal. Karena lima di antaranya sudah jauh lebih dulu meninggal. Semua tokoh di keraton yang meninggal, hampir tak pernah saya lewatkan. Mulai dari Sinuhun PB XII, KGPH Kusumayuda, GKR Galuh Kencana, GKR Sekar Kencana, GPH Nur Cahyaningrat maupun KPH Broto Adiningrat. Mereka semua, adalah tokoh-tokoh keraton yang pantas saya hormati. Terlebih yang berada di barisan Gusti Moeng selaku ketua LDA,” ujar KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, menjawab pertanyaan iMNews.id, tadi siang.
Disebutkan, dirinya datang melayat beberapa saat sebelum jenazah dibawa ke Astana Pajimatan Imogiri pukul 09.00 WIB. Karena masih ada waktu, KRT Hendri mengaku sempat berdoa di depan peti jenazah didampingi KGPHA Dipokusumo, bahkan sempat bersilaturahmi dengan Sinuhun PB XIII yang juga datang untuk melepas jenazah.
Kehadirannya untuk melayat nyaris tak menimbulkan pertanyaan oleh siapapun yang menemuinya, terutama kalangan keluarga besar KRAy Retnodiningrum. Oleh sebab itu, KRT Hendri merasa sosok dirinya yang sudah terang-terangan mendukung langkah-langkah Gusti Moeng selaku Ketua LDA dalam upaya penyelamatan keraton seperti pernah dideklarasikan beberapa waktu lalu (iMNews.id, 13/2), tidak sedikitpun merasa takut untuk meneruskan langkahnya ikut membangun suasana yang alami ke arah terciptanya perdamaian dan kerukunan kembali kalangan putra-putri Sinuhun PB XII dan kerabat besarnya.
Memang, saat menerima kekancingan gelar sesebutan ”Bupati sepuh” bergelar Kanjeng Raden Tumenggung dari Gusti Moeng selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) maupun Pengageng Sasana Wilapa, tugas yang diterimanya saat itu adalah untuk ikut berperan dalam memberi penjelasan kepada publik secara luas, tentang apa yang sebenarnya terjadi di Keraton Mataram Surakarta selama ini.
Tetapi, dinamika alam diyakini sangat mungkin menuntunnya untuk melakukan berbagai hal yang bisa membuka jalan ke arah yang selama ini dicita-citakan khalayak luas termasuk internal masyarakat adat itu sendiri, yaitu terciptanya kerukunan dan persatuan kembali di kalangan putra-putri Sinuhun PB XII dan seluruh kerabat internal masyarakat adat Mataram Surakarta Hadiningrat.
Karena arah perjalanan yang tanpa pernah direncanakan itu pula, KRT Hendri sangat menyadari bahwa dirinya mau dan berani melakukan aktivitas spontanitas secara natural itu karena hanya untuk satu tujuan, yaitu agar Keraton Mataram Surakarta kembali berwibawa, kembali memiliki harkat dan martabat serta ”kuncara” di tengah pergaulan warga bangsa Nusantara, bahkan sampai di tengah warga dunia. Dan karena tujuannya begitu mulia, maka dirinya tidak akan ragu, canggung dan khawatir untuk menjalani langkah-langkah yang arahnya membuka jalan untuk terciptanya perdamaian, persatuan dan kerukunan kembali di antara yang pernah berselisih dan terpecah.
”Saya tidak punya kepentingan apa-apa. Terlebih yang berbau politik, kepentingan materi. Karena sisa hidup ini akan saya curahkan untuk keraton sebagai pusatnya peradaban Jawa. Agar keraton kembali menjalankan tugas dan fungsinya, SDM-nya harus bersatu, kuat dan siap. Saya ingin membantu terciptanya beberapa hal yang ideal itu. Tentu saja dengan kemampuan saya di bidang spiritual kebatinan. Saya tahu, untuk mencapai suasana yang kita cita-citakan itu, butuh waktu. Dan sebaiknya, terjadi dan tercipta secara natural. Bukan seperti yang sudah-sudah, karena ada campur tangan pihak luar. Apalagi, ada aroma kepentingan,” ujar KRT Hendri.
Dalam suasana yang masih dilanda pandemi seperti sekarang, kepergian KRAy Retnodiningrum sebenarnya menjadikan banyak orang di internal masyarakat adat berkabung, misalnya yang diperlihatkan KGPH Puger yang datang melayat mewakili kerabat yang selama ini berada di belakang Gusti Moeng. Namun, aturan protokol kesehatan ditambah suasana keluarga besar masyarakat adat yang masih terbelah akibat peristiwa suksesi 2004 dan puncaknya insiden 2017, membuat suasana berkabung itu seperti tak terasa.
Meninggalnya KRAT Retnodiningrum, sekaligus juga bisa dimaknai sebagai tanda-tanda peralihan generasi pimpinan di lingkungan internal masyarakat adat benar-benar nyaris tuntas berganti. Bahkan, eksistensi generasi kedua setelah Sinuhun PB XII juga sudah tergerus sedikit demi sedikit oleh situasi dan kondisi stagnasi seperti yang sudah berlangsung hampir lima tahun ini. (Won Poerwono-bersambung)