“Killing Field” Jejak Peradaban Mataram Ada di Surakarta dan Sekitarnya
iMNews.id – KALAU film ”Killing Field” melukiskan medan luas tempat pembantaian manusia pada perang Vietnam melawan Amerika di tahun 1974, di Indonesia mungkin juga bisa dijumpai ”medan-medan pembantaian”. Bedanya, yang ”dibantai” bukan manusia atau binatang, tetapi bangunan dan sejenisnya yang ”tangable” dan jejak peradaban lainnya yang ”intangable”. Dan melihat fakta pemandangan yang ada di Kota Surakarta dan sejumlah daerah yang dulu disatukan dalam nama Mataram itu, diduga juga menjadi tempat luas ”pembantaian” tapak atau jejak sejarah Mataram.
Karena Surakarta Hadiningrat pernah menjadi Ibu Kota nagari Mataram, maka ”pembantaiannya” tergolong masif, bahkan terstruktur dan sistemik. Karena, yang dibantai ”diurutkan” dari pusat data nagari atau pusat pemerintahan administratif (eksekutif) di kompleks Kepatihan, yang jaraknya sekitar 2000 meter dari kawasan Keraton Mataram Surakarta. Hasil analisis menyebutkan, ketika pusat peradaban dihancurkan jejak-jejaknya, diharapkan putus mata-rantai peradaban yang ada di tempat lain (sistemik), misalnya yang berupa kompleks bangunan pabrik gula (PG) yang jumlahnya 170-an yang tersebar di Jateng dan Jatim (Dr Purwadi-Lokantara Jogja).
Kompleks Kepatihan yang tumbang di tahun 1949 karena dibantai kalangan ”pemberontak” yang merupakan kolaborasi macam-macam unsur, kepentingan dan label ideologi kelompok yang bersamaan dengan peristiwa ”Serangan 4 Hari di Sala/Solo” atau Agresi Belanda/Clash kedua, diikuti tumbangnya berbagai bangunan jejak sejarah peradaban Mataram yang tersebar di sejumlah tempat. Sebut saja gedung pertunjukan seni di kawasan (kini) Loji Wetan, kantor Pengageng Karti Praja di kawasan Singosaren, kemudian disusul banyak bangunan lain di sepanjang jalan Dr Radjiman Wedyodiningrat dan jalan Slamet Riyadi yang secara masif berubah wajah dan kepemilikan di luar prosedur legal-formal.
”Bangunan-bangunan (eks) kediaman para Pangeran (putradalem) di seputar kawasan kedaton itu, kalau berada di luar tembok Baluwarti, pasti sudah habis (berubah wajah dan kepemilikan). Apalagi kompleks Kepatihan yang jauh dari Baluwarti. Siapa yang berani merusak dan mengambil-alih? Kalau tidak dimulai dari orang dalam, orang luar siapapun itu, tidak akan ada yang berani. Nah, inti dari semua itu apa? yaitu karena antara semua kerabat di dalam tidak rukun. Berselisih, cerai-berai, bersaing karena berbagai sebab dan motif,” sebut KPHA Poerbodiningrat (70) dari ruang kerjanya di kantor DPD Partai Golkar Surakarta, menjawab pertanyaan iMNews.id dalam wawancara melalui telepon, tadi siang.
Perihal motif yang melatarbelakangi pembantaian terhadap berbagai jenis bangunan yang dulu menjadi infrastruktur pusat pemerintahan nagari Mataram Surakarta, Ketua DPD Partai Golkar Surakarta yang bernama kecil RM Koesrahardjo itu agak beda dengan hasil penelitian Dr Purwadi (iMNews.id,6/5), meskipun kerangkanya sama-sama bernilai ekonomis. Karena, golongan tertentu yang semakin ”lahap memangsa” bangunan jejak peradaban heritage Mataram di pusatnya, Surakarta, memiliki unsur lain selain perilaku kapitalistik.
Nasib berbagai bangunan jejak peradaban di bawah ”kekuasaan” Pura Mangkunegaran, juga hampir sama nasibnya, hampir sama penyebabnya dan motif kejadiannya, tetapi tidak sampai dihancurkan dan ”dijarah”. Karena perilaku ”kapitalistik” itu, hampir semua bangunan di luar tembok Pura Mangkunegaran yang panjang lingkar hanya 1,2 KM itu, sudah hampir habis jejaknya sebagai heritage Mataram yang didirikan Pangeran Sambernyawa atau KGPAA Mangkunagoro I.
Bangunan-bangunan pendukung yang ada di sepanjang jalan dari perempatan Pasar Pon menuju Pura Mangkunegaran, sudah menjadi milik pihak lain. Begitu pula bangunan-bangunan di depan Pura (jalan Ronggowarsito), termasuk sebuah kompleks perkantoran BUMN hingga kompleks Taman Putra, sudah habis ”dibantai ” para spekulan yang berperilaku kapitalistik yang acapkali menggunakan tangan penguasa.
Dari penjelasan KPHA Poerbodiningrat, kelompok-kelompok anti pemerintahan swapraja DIS (Daerah Istimewa Surakarta) yang oleh Dr Sri Juari Santosa (Buku ”Suara Nurani Keraton Surakarta”-2002) disebut tergabung dalam Panitia Antiswapraja (PAS) di tahun 1950, penolakan terhadap swapraja DIS secara tidak langsung juga tertuju pada Pura Mangkunegaran. Karena, yang dimaksud dengan (wilayah) DIS adalah eks wilayah Keraton Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran yang kini dikenal dengan wilayah Solo Raya atau Subosukowonosraten.
Panitia Anti Swapraja (PAS) yang disebut Dr Sri Juari Santosa adalah gabungan dari PSII, SOBSI, PKI, PSI, Partai Murba, BTI, PETANI, STII, PNI dan sekretariat Pemuda Surakarta yang mewakili organisasi pemuda di Surakarta pada tahun 1950. Dalam hasil penelitian Dr Purwadi, PKI memiliki pengaruh ke dalam kelompok laskar pejuang rakyat berjumlah 26 ribu di bawah pimpinan Suradi Bledhek (wilayah tengah) yang batal jadi TRI (kini TNI-Red), yang membakar dan menjarah kompleks Kepatihan.
”Untuk wilayah timur, daerah operasinya sampai Madiun (Jatim), laskar itu dipimpin Sastro Lawu. Yang menculik para pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat serta tokoh agama, ya mereka itu. Yang di wilayah tengah, juga sama, disertai penculikan. Tempat-tempat bersejarah milik Keraton Mataram Surakarta yang di beberapa titik lokasi di Boyolali,” tunjuk Dr Purwadi, membenarkan tulisan Dr Sri Juari Santosa tentang aksi orang-orang PKI di balik rentetan penculikan tokoh-tokoh ‘nagari’.
Di antara aset-aset yang ”dibantai” kelompok-kelompok anti swapraja DIS itu, termasuk pesanggrahan Sinuhun PB VI dan X di Selo, perkebunan teh ‘Madu Sita’ dan bisnis perhotelan di Kabupaten Boyolali juga tak luput dari sasaran amukannya. Yang membumihanguskan sederet simbol heritage Mataram di daerah itu, siapa lagi kalau bukan mereka yang menyebut kelompoknya dengan nama Merapi Merbabu Complex (MMC).
Orang-orang PKI binaan Tan Malaka yang beroperasi di wilayah pantura seperti Pekalongan, Tegal dan sebagainya, yang memimpin beda lagi tokohnya. Tetapi, secara umum derajat kerusakan sampai upaya penghilangan simbol-simbol heritage Mataram di luar Solo, derajatnya rendah, tidak sepenuhnya lenyap dan berubah, dan tidak sepenuhnya pindah tangan kepemilikannya. Tetapi, dalam ukuran ”kejahatan kemanusiaan”, derajatnya sama yang terjadi di pusat heritage Mataram, misalnya penculikan yang terjadi pada Patih KRMA Sosrodiningrat V, para bupati dan sejumlah yang lain itu.
Sampai di sini, peta upaya ”penghilangan tapak atau jejak peradaban Mataram” itu semakin jelas, secara masif, terstruktur dan sistemik. Kalau KPHA Poerbodiningrat, motif penghilangan jejak heritage Mataram itu tidak sepenuhnya karena alasan ekonomis, tetapi Dr Purwadi meyakini semua dilatarbelakangi alasan ekonomis, yang dibumbui berbagai stampel atau label, karena di awal kemerdekaan ”rakyat” rata-rata moderat, tetapi nagari Mataram Surakarta Hadiningrat kaya-raya yang dikumpulkan Siuhun PB X (1893-1939).
Atas spekulasi itu, GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) sangat sering mendengar bahkan ditunjukkan kepadanya adanya dokumen kepemilikan tanah aset nagari Mataram Surakarta Hadiningrat. Dokumen tanah itu diduga berasal di antara yang pernah dijarah dari kompleks Kepatihan, karena menurut KPHA Poerbodiningrat, yang terlibat ikut membakar adalah kalangan abdidalem Kepatihan yang sakit hati karena anak-anaknya gagal menjadi TRI (TNI).
”Saya juga pernah dimintai tolong untuk mengurus pelepasan hak atas tanah yang kini berdiri bangunan hotel Ambarukmo (Jogja). Dokumen itu bertuliskan Keraton Surakarta. Saya menolak permintaan itu, karena saya tahu itu persoalan serius di luar kemampuan saya. Karena saya lebih suka berbuat baik melalui cara saya sendiri, di bidang spiritual kebatinan untuk tujuan pelestarian budaya Jawa dan Keraton Mataram Surakarta,” aku KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito, pemerhati budaya dan keraton untuk meneruskan pengabdian sang kakek buyut yang pernah bertugas di kagungandalem Masjid Kepatihan di tahun 1930-an itu. (Won Poerwono-bersambung)