Gusti Moeng adalah Benteng Pertahanan Terakhir Mataram Surakarta (2-bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 21, 2021
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read

Untuk Membentengi Apa dan Siapa?, Bertahan dari Apa dan Siapa?

iMNews.id – MENCERMATI penegasan KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito dalam subjudul ”Kalau Tidak Ada Sosoknya, Keraton Surakarta Sudah Selesai” pada seri tulisan sebelumnya (iMNews, 19/3), bisa melukiskan sebuah pengakuan publik, sekaligus bisa menegaskan kembali kepada publik secara luas, bahwa di pundak Gusti Moeng-lah harapan publik digantungkan. Ekspektasi yang begitu tinggi, diletakkan di pundak anak ke-25 dari 35 putra/putri Sinuhun Paku Buwono (PB) XII itu, agar menjadi benteng terakhir untuk menjaga pertahanan eksistensi Keraton Mataram Surakarta Hadiningrat, sekaligus peradaban Jawa.

Pertanyaannya kemudian, ”Untuk Membentengi Apa dan Siapa?, Bertahan dari Apa dan Siapa?”. Untuk menjawab beberapa pertanyaan itu, tentu harus melihat sosok figur GKR Wandansari Koes Moertiyah itu atau Gusti Moeng sebagai variabel ”Apa dan Siapa”, kemudian melihat sejarah perjalanan Keraton Mataram Surakarta, sebelum dan sesudah peristiwa lahirnya NKRI (17/8/45) sebagai variabel ”Dari apa dan Siapa?”.

Dalam kerangka mengemban tugas, tanggungjawab dan kewajiban menjadi benteng pertahanan terakhir itu, memang tidak salah kalau publik secara luas khususnya masyarakat adat meletakkan di pundak Gusti Moeng. Karena, putridalem Sinuhun PB XII yang pernah mendapat predikat sebagai ”Putri Mbalela”, akibat menentang pembangunan hotel di sebidang tanah di kawasan kedhaton yang disebut Tursunapuri di tahun 1990-an itu, adalah wanita tangguh yang sudah teruji kapasitasnya sebagai bangsawan, pelestari dan penjaga budaya serta pelopor perawat peradaban Mataram dan Jawa.

Gusti Moeng yang tampil sebagai aktivis saat berorasi dalam pergerakan mendobrak rezim Orde Baru pada peristiwa 1998, adalah lulusan Fakultas Sastra (kini FIB) UNS yang magister kependidikan pascasarjana UNS, yang sangat peduli dengan segala bentuk aset peninggalan sejarah berupa dokumen karya manuskrip di keraton. Bahkan, Dra GKR Wandansari Koes Moertiyah MPd itu, telah memiliki segudang penghargaan dari berbagai lembaga di dalam dan luar negeri, antara lain The Fukuoka Culture Prize Award dari Jepang 2012, karena dinilai sebagai pejuang pelestari seni budaya Jawa khas keraton.

Sanggar Pasinaon Pambiwara tempat banyak orang dari dalam dan luar lembaga masyarakat adat untuk melajar tentang budaya Jawa dan sisa-sisa perabana Mataram, kelahirannya di tahun 1993 diinisiasi secara penuh karena mendapat ”dhawuh” (perintah) dari ayahanda ”Raja” Sinuhun PB XII. Lembaga kursus pembelajaran yang diberi nama ”Marcukundha itu, hingga kini tetap eksis dan bergerak, meski sejak April 2017 Gusti Moeng beserta seluruh ”bebadan” (departemen) dan elemen yang dipimpinnya, berada di luar keraton pascainsiden ”mirip operasi militer” yang melibatkan 2.000 Brimob dan 400 tentara 4 tahun lalu itu.

Sejumlah Putri Dalem
SEJUMLAH PUTRI DALEM : Gusti Moeng bersama sejumlah putridalem Sinuhun PB XII saat menyajikan karya yang pernah disusunnya, yaitu tari Bedaya Suka Mulya, sebelum 2004. Karya itu menunjukkan dirinya punya kapasitas penguasaan berlebih di bidang seni budaya khas keraton. (foto : iMNews.Id/Won Poerwono)

Segudang Penghargaan Putri Mbalela

Sebagai pusat pelestarian dan sumber budaya Jawa, Keraton Mataram Surakarta masih memiliki potensi secara kelembagaan, kapasitas sumber dan pusat studi, materi edukasi dan figur-figur SDMnya secara cukup. Oleh sebab itu, Sanggar Pasinaon Pambiwara yang diketuai KPH Raditya Lintang Sasangka, yang dikelola Yayasan Pawiyatan Kabudayan Keraton Surakarta yang diketuai Gusti Moeng, merupakan sebuah contoh keniscayaan bahwa Sang ”Putri Mbalela” itu, sangat layak mendapat tugas, kewajiban dan tanggungjawab menjadi benteng terakhir pertahanan Keraton Mataram, Surakarta.

Gusti Moeng yang duduk sebagai Pengageng Sasana Wilapa sekaligus Ketua Sanggar Beksa Keraton Surakarta, merupakan amanah yang strategis untuk memotivasi dan menginisiasi para kerabat dan abdidalem dalam menjaga eksistensi segala jenis kesenian khas keraton, terutama seni tari. Apalagi mengingat dirinya pernah menjadi penari ”Batak” pada tarian sakral Bedaya Ketawang, yang kemudian menempatkannya sebagai koreografer berbagai seni tari khas keraton utamanya kategori ”beksan keputren” (tarian wanita).

Sebagai koreografer, Gusti Moeng sangat tahu dan paham bagaimana memerankan berbagai jenis tarian khas keraton dengan baik dan pas, begitu pula yang menyangkut iringannya berupa karawitan dan ”cakepan” yang ada dalam syair sindenan serta notasinya, sampai pada memandunya dengan ”keprak”seperti seorang dalang wayang kulit. Kemampuan inilah yang menempatkannya sebagai penyusun tari (baru) khas keraton, tari Bedaya Sukamulya, misalnya.

Meski lembaga Sanggar Pawiyatan Pedalangan Keraton Surakarta berada di Bale Agung yang terpisah dari kompleks kawasan kedhaton, tetapi otoritas Gusti Moeng bisa dipertanggungjawabkan secara teknis maupun eksistensinya. Misalnya, upaya-upaya penyelamatan dengan mendokumentasi/pendataan ulang 17 kotak wayang pusaka koleksi keraton yang dilakukan di tahun 2016, hingga berhasil mengidentifikasi sejumlah anak wayang yang ”dicuri” oleh oknum abdidalem dan sederekdalem.

Sejak 2004 KGPH Hangabehi didukung semua sentana trah darahdalem Sinuhun Amangkurat Agung hingga Sinuhun PB XII yang tergabung dalam wadah LDA, untuk menjadi Sinuhun PB XIII, Gusti Moeng bersama semua elemen di dalam bahkan komponen eksternal mampu merenovasi sejumlah bangunan di keraton yang hancur. Apa yang dilakukan sampai menjelang dirinya ”disingkirkan” pada April 2017 itu, telah membuktikan kapasitas dan kemampuannya memikul tanggungjawab dan tugas sebagai benteng pertahanan terakhir Keraton Mataram Surakarta.

Sudah dipersiapkan
SUDAH DIPERSIAPKAN : Sejak remaja, Gusti Moeng sudah dilihat sifat-sifatnya yang konsisten bertanggungjawab kepada diri, budaya keluarga besar dan Keraton Surakarta. Tidak aneh kalau sang ayahanda, Sinuhun PB XII, membimbing dan mempersiapkannya sebagai ”benteng” pertahanan terakhir. (foto : iMNews.Id/dok)

Disingkirkan Persekongkolan Jahat

Putra/putri Sinuhun PB XII memang ada 35 dan kini sudah lebih dari 5 orang yang meninggal karena berbagai sebab yang rata-rata karena sakit, seperti yang diderita kebanyakan rakyat jelata lapisan menengah ke bawah. Namun, fakta membuktikan bahwa hanya Gusti Moeng yang begitu menonjol di atas rata-rata kapasitas pribadinya, hampir dalam segala hal yang menyangkut eksistensi keraton yang tak ubahnya sebagai negara, mengingat sebelum 17/8/45 posisinya sebagai ”nagari” (negara monarki) Keraton Mataram Surakarta Hadiningrat.

Dan selama empat tahun bergerak di luar keraton karena ”disingkirkan” oleh sebuah ”persekongkolan jahat”, ternyata justru menunjukkan fakta bahwa yang berada di dalam (yang menyingkirkan) tidak bisa berbuat apa-apa. Bahkan sebaliknya, telah menyebabkan tapak peradaban Keraton Mataram Surakarta itu berangsur-angsur menuju jurang kehancuran, selama 4 tahun ini ”mirip kuburan”, tak bernyawa .

Bersamaan dengan itu, peristiwa insiden ”mirip operasi militer” 2017 itu, justru menunjukkan fakta bahwa Gusti Moeng bersama pengikutnya yang ”disingkirkan” kelompok dalam ”persekongkolan jahat” itu, teap bisa bergerak, berkarya dan eksis serta kini sangat diharapkan untuk segera turun-tangan menyelamatkan keraton dari ancaman kehancuran.

”Ya, seperti yang saya katakan di forum rapat di ndalem Kayonan itu (iMNews.Id, 20/3). Intinya, saya mengajak khalayak luas untuk secepatnya menyelamatkan keraton. Karena, ini adalah tapak sejarah Dinasti Mataram yang harus dijaga kelestariannya,” ujar Gusti Moeng yang dimintai konfirmasi iMNews.id tadi siang, menyinggung penjelasannya dalam rapat dan deklarasi pembacaan maklumat yang dilakukan di topengan Kori Kamandungan, beberapa waktu lalu (iMNews, 13/3).

Sampai di sini, ketika menjawab pertanyaan untuk membentengi apa dan siapa?, tentu sudah terjawab dengan penjelasan di atas. Tetapi yang menyangkut pertanyaan untuk membentengi dari apa dan siapa?, tentu perlu penjelasan lebih lanjut, karena KRT Hendri Rosyad Wrekso Puspito maupun Gusti Moeng sendiri, memiliki pandangan yang agak berbeda tetapi saling melengkapi dan konstruktif serta positif, mengingat masing-masing berada di posisi yang berbeda, yaitu memandang dari luar dan mengalami sendiri di dalam. (Won Poerwono-bersambung)