“Sinuhun Paku Buwono XIII Tetap Pada Kedudukannya”
iMNews.id – BAGI publik secara luas seperti diungkapkan KRT Hendri Rosyad (iMNews.id, 2/3), kesulitan ekonomi memang seakan paling menonjol kelihatan di permukaan, yang diduga sebagai pangkal segala persoalan di Keraton Mataram Surakarta. Friksi yang terjadi sejak proses suksesi 2004 dan berlangsung selama 14 tahun lebih hingga kini, juga dipersepsikan karena latarbelakang masalah kesulitan ekonomi.
Bagi Gusti Moeng selaku Ketua LDA, kesulitan ekonomi yang dikesankan publik secara luas cukup menonjol, ada benarnya tetapi hanya menjadi salah satu di antara sejumlah faktor penyebabnya. Karena, persoalan ekonomi sebagai alasannya tidak berdiri sendiri, tetapi ada beberapa persoalan lain yang menyertai atau yang mendahului, sehingga sering muncul menjadi sebab dan sekaligus akibatnya.
”Bahkan, faktor penyebabnya lebih dari dua hal itu. Ada campur tangan kekuatan dari luar. Campur tangan itu bertemu dengan ambisi seseorang atau kelompok dari dalam, untuk berbagai kepentingan dan beberapa alasan. Tetapi, tampilnya seseorang atau kelompok internal itu, kelihatan sekali memang sengaja diciptakan kekuatan dari luar”.
”Tujuannya, agar masyarakat adat Keraton Mataram Surakarta tampak seolah-olah hancur dengan sendirinya, tanpa kelihatan campur tangan pihak luar. Tetapi, setelah peristiwa 15 April 2017 berlalu 3 tahun, belakangan bermunculan banyak hal yang menjadi petunjuk kuat adanya campur tangan pihak luar itu”.
”Karena pengalaman sejarah gejala seperti itu sudah dicontohkan Belanda berulang-ulang, semula kami menduga gejala-gejalanya sama. Akhirnya kami sangat yakin, cara-cara itu ditiru pihak luar untuk menghancurkan keraton dan peradabannya. Jadi, faktornya banyak dan campur aduk,” papar GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Ketua LDA, menjawab pertanyaan iMNews.Id, kemarin.
Tetapi, hal-hal yang sangat esensial di balik berbagai masalah yang dihadapi keraton sejak 1945, terlebih sejak ada friksi hebat mulai 2004, mungkin hanya Ketua LDA yang akrab disapa Gusti Moeng dan beberapa kerabat tertentu yang paham. Melihat perjalan dari waktu ke waktu yang lumayan panjang (1945-kini), terkesan meyakinkan bahwa tidak banyak di antara 35 putra/putri PB XII yang bisa memahami kemungkinan-kemungkinan itu.
Kemungkinan lain, bisa saja banyak yang tahu tetapi pura-pura tidak tahu, atau tidak mau dipahamkan soal kekuatan dari luar yang mengancam keutuhan/soliditas kerabat besar, dari level kalangan putra/putridalem Sinuhun PB XII sampai level trah darahdalem Sinuhun Amangkurat Agung hingga keturunan Sinuhun PB XIII. Bahkan sampai mengancam keutuhan level masyarakat adat pelestari peradaban Mataram/Jawa yang terwadahi dalam Lembaga Dewan Adat (LDA).
Untuk Membiayai Persepsi Diri
Mungkin di antaranya malah mengalami ”gagal paham”, karena yang selalu dipikir adalah cara-cara bagaimana mendapatkan materi secara cepat dan banyak, untuk membiayai/mendukung ”nama besar” dan penampilannya sebagai seorang ”pangeran”, ”bangsawan”, ”priyayi keraton” dan sebagainya yang selalu mempersepsikan diri berada di strata sosial tinggi dalam masyarakat.
Alur cara berpikir seperti itu, sangat nyata dan hingga kini masih terjadi di kalangan internal masyarakat adat penerus Dinasti Mataram, bahkan sampai level internal putra/putridalem. Dan karena alasan-alasan seperti itulah, maka persoalan kesulitan ekonomi sangat menonjol dan seakan mendominasi, bahkan dipersepsikan sebagai pangkal segala persoalan di Keraton Mataram Surakarta, seperti yang diduga menjadi penyebab sekaligus akibat munculnya ”Matahari Kembar” (Dua Sinuhun) pada peristiwa suksesi 2004.
Belum sepenuhnya lepas dari stigma buruk/negatif yang selalu dimunculkan ”aktor besar” yang menginginkan lenyapnya peradaban lama (Mataram dan Jawa), Keraton Mataram Surakarta masih punya ”PR” besar lainnya yaitu membersihkan stigma buruk tentang ”pertikaian/friksi” untuk ”berebut kekuasaan” yang dipersepsikan publik sama dengan berebut ”harta warisan” dinasti.
Melihat komentar-komentar publik secara luas melalui berbagai kanal media informasi terutama medsos, sorotan tajam banyak terarah pada persoalan ”mengapa keraton (terus kelihatan) onar”? Dan mengapa keraton terus terjadi perebutan kekuasaan”? Dan ”ungkapan kesal” yang sangat menyakitkan itu berbunyi ”makanya Kota Solo tidak maju-maju dan selalu kalah dengan Jogja”.
Letupan-letupan spontan yang kini makin mudah disalurkan lewat medsos, memang tidak salah, karena hampir semuanya yang memberi penilaian dalam nada ”kesal berat” itu tidak tahu duduk persoalannya. Ketidak-tahuan ataupun termasuk ”gagal pahampun” sangat dimaklumi, karena selama 32 tahun rezim pemerintahan Orde Baru berkuasa, telah ”mencuci otak” generasi saat itu.
Otak generasi bangsa ini telah dicuci dengan sangat masif, sistemik/sistematik dan terstruktur, antara lain melalui jalur lembaga pendidikan yang berjenjang panjang itu. Tujuannya agar kebesaran Nusantara (termasuk peradaban Jawa) masa lalu bangsa sebelum 17/8/45, terhapus dari memori publik secara luas, dan diganti dengan ”bangunan fisik” yang dirancang dalam konsep ”Indonesia Baru” dengan ”Budaya Nasional/Baru”.
Ekonomi dan Penagakan Paugeran
Sebagai seorang bangsawan yang paham betul budaya Jawa sampai detail, paham dan peduli bagaimana peradaban Mataram tetap lestari serta paham konstalasi politik di tingkat nasional, Gusti Moeng bersama semua elemen yang terhimpun dalam LDA, kini sedang fokus mengatasi dua persoalan sekaligus. Karena, dua persoalan yaitu kekuatan ekonomi dan penegakan ”konstitusi” paugeran adat, merupakan dua hal yang mendasar dan berkaitan.
”Makanya, waktu itu (iMNews.Id, 13/2) saya selaku Ketua LDA, menyatakan mengambil-alih segala urusan Keraton Surakarta Hadiningrat internal dan eksternal. Saya bacakan maklumat yang isinya 6 poin penting. Di antara enam poin itu, tentu termasuk menyangkut dua hal di atas. Lingkungan fisik kami tata sedikit demi sedikit, sebagai sarana menuju upaya-upaya penegakan paugeran adat,” sebut Pengageng Sasana Wilapa yang juga mantan anggota DPR RI dua periode terpisah itu.
Di antara 6 poin itu, selain pengambilalihan wewenang (poin ke-4) sambil menunggu proses dialog dengan kalangan putra/putridalem Sinuhun PB XII lainnya, juga ada poin penting lainnya seperti langkah penyelamatan segala aset Keraton Mataram Surakarta yang ada di dalam dan di luar negeri (poin ke-1). Kemudian, pernyataan ”mirip piagam kedudukan” yang ditujukan kepada Sinuhun Paku Buwono XIII, yang akan tetap dihormati dan disayangi keluarga besar Dinasti Mataram tetap pada kedudukannya.
Tiga di antara 6 point penting itu, sangat jelas bisa menjawab persoalan-persoalan yang mengemuka yang dialami Keraton Mataram Surakarta, setidaknya pada periode 1945-2004 dan 2004 hingga kini. ”Pengambilalihan” adalah kata lain untuk menyederhanakan kalimat ”segala urusan dengan pihak luar untuk sementara waktu dijalankan oleh LDA, dan berkoordinasi dengan pemerintah,…..dan seterusnya”.
”Pengambilalihan” yang dilakukan Gusti Moeng selaku Ketua LDA dalam maklumat yang dibacakan di ”topengan” Kori Kamandungan, Sabtu (13/2) itu, tentu merupakan ”bahasa bersayap” yang di dalamnya terkandung beberapa maksud. Di antaranya, upaya membatasi bentuk-bentuk penyimpangan terutama secara fisik terhadap keraton seisinya, yang juga termasuk dalam upaya penagakkan paugeran adat dan tujuan jangka panjangnya tentu diharapkan membuka sumber-sumber ekonomi yang selama ini ”macet” atau ”salah jalan” dan ”menyimpang”.
”Mudah-mudahan, apa yang sudah dimulai Gusti Moeng itu, akan membuka semuanya. Membuka pintu rekonsiliasi yang alami. Membuka pintu rezeki, dan membuka pintu kekuatan ekonomi Keraton Surakarta. Saya sangat setuju, Sinuhun PB XIII tetap dihormati dan dikuatkan pada kedudukannya,” ujar KRT Hendri Rosyad. (Won Poerwono-habis)