Karena Merasa Malu dan Sulit Menerima Realitas Sejarah
iMNews.id – SEJARAH masa lalu, biarlah menjadi masa lalu. Tetapi hal buruk yang terjadi di sana, haruslah jadi pelajaran dan pengingat, agar tidak terulang. Hal buruk yang sudah berlalu, tidak perlu diulang. Dengan jiwa besar, perlu ”nglenggana” kesalahan. Hal buruk yang pernah terjadi, untuk diperbaiki dalam perjalanan ke depan, agar harmoni kehidupan dan upaya hamemayu-hayuning bawana untuk memelihara peradaban, tetap terjaga sepanjang masa.
Beberapa hal di atas, adalah kumpulan nasihat, pesan dan pandangan bijak para pujangga dan cerdik-pandai yang menyertai perjalanan peradaban di masa lalu. Tetapi, hal-hal ideal yang akan tetap dibutuhkan dalam kehidupan di masa-masa mendatang, pasti akan ”dikubur hidup-hidup” oleh generasi milenial atau generasi sesudahnya nanti, seandainya tidak ada jembatan yang bisa menghubungkan antar generasi yang ada.
Banyak hal yang bisa diciptakan untuk menjadi jembatan penghubung antar generasi, untuk mencapai tujuan di atas, agar suasana kehidupan ideal itu tetap terpelihara dengan baik. Munculnya forum-forum pertemuan sejenis sarasehan, talkshow dan seminar dengan tema ”Perjanjian Giyanti”, adalah salah satu contoh jembatan yang baik untuk menghubungkan antar generasi dalam mencapai tujuan idealistik di atas.
Dan KPH Edy Wirabhumi (Pimpinan Lembaga Hukum Keraton Surakarta- LHKS), sudah menunjukkan semangat ideal ketika menjadi peserta forum ”Diskusi Budaya” yang digelar kerjasama Forum Budaya Mataram dan Din Dik Wil VII di kagungandalem Masjid Agung Keraton Mataram Mataram Surakarta, 7 Maret 2020.
Di tengah diskusi yang mulai memanas antara tiga pembicara masing-masing Dr Susanto (FIB UNS), Dra Charolina Etty SH MSi MPd (Sejarawan Jogja) dan Drs Lilik Suharmaji (kandidat doktor UIN Jogja) dengan para peserta, KPH Edy justru meminta agar (sejarah) yang sudah terjadi, tidak perlu diungkit dan diperucing.
Menyentuh Hukum Positif
Sebaliknya, harus didorong untuk mencari titik temu dan bisa bersinergi serta bersama-sama memperbaiki peradaban untuk menyongsong masa depan. Permintaan KPH Edy bisa sebagai Pimpinan LHKS, juga saja bisa dari perspektif keluarga besar Keraton Mataram Surakarta, mengingat dia adalah suami GKR Wandansari Koes Moertiyah, ketua Lembaga Dewan Adat (LDA) itu.
Dalam pandangannya, mengungkit luka masa lalu atau rasa sakit hati dan malu karena tidak bisa menerima realitas (sejarah/Perjanjian Giyanti) yang menyakitkan di masa lalu, bila diungkap di zaman yang sudah berbeda yang memiliki konstitusi dan segala produk hukumnya, bisa-bisa malah menyentuh wilayah hukum positif yang berlaku dan melebar urusannya.
Apa yang diungkapkan KPH Edy itu, tentu bisa menunjukkan bahwa pengalaman pahit di masa lalu, sudah tidak mungkin bisa diobati karena kejadiannya (Perjanjian Giyanti-Red) sudah lewat lebih dari 200 tahun. Lagi pula, jika keluarga besar Keraton Jogja yang bisa disebut sebagai pihak yang sulit bisa menerima realitas sejarah itu, faktanya kemudian justru mendapat berbagai penghargaan dari NKRI yang bisa membesarkan/mengharumkan namanya.
Dipilihnya Jogja sebagai Ibu Kota kedua (pengganti sementara) setelah Jakarta akibat beberapa peristiwa yang terjadi di tahun 1949, merupakan fakta yang membuktikan kebesaran itu. Kemudian, Jogja yang justru dijadikan Daerah Istimewa (DIY) setelah Maklumat Sultan Hamengku Buwono, 5 September 1945, itu predikat apalagi kalau bukan anugerah kebesaran.
Faktanya pula, Sri Sultan HB IX yang dimuliakan pemerintah Orde Baru sebagai Wakil Presiden RI, karena pertimbangan apalagi kalau bukan anugerah kebesaran untuknya. Dan terakhir, UU Keistimewaan Jogja yang disahkan DPR RI beberapa waktu lalu, disertai alokasi anggaran yang luar biasa besar tiap tahunnya, tentu bukan karena asal-asalan atau tanpa dasar.
Tokoh Penjaga Perdamaian
Semangat untuk menjaga iklim sejuk di antara keluarga besar trah Mataram, juga terlihat pada sarasehan yang membahas ”Perjanjian Giyanti” yang berlangsung di pendapa ndalem Kayonan, Baluwarti, Rabu siang (10/2). Sarasehan yang digelar Lembaga Dewan Adat (LDA) Keraton Mataram Surakarta itu, menghadirkan dua pembicara dan dibuka sendiri GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng selaku Ketua LDA.
Di sarasehan yang hanya dihadiri belasan peserta di antaranya para awak media itu, kandidat doktor Widodo Aribowo (sejarawan Asga) lebih menonjolkan sosok Sinuhun Paku Buwono (PB) III sebagai tokoh penjaga utuhnya dinasti (Mataram), di antara yang terlibat dalam Perjanjian Giyanti, pada 13 Februari 1755.
Pesan perdamaian dan harapan terajutnya kembali tali silaturahmi para penerus dinasti, justru ditonjolkan dalam makalahnya berjudul ”Perang Suksesi Jawa III; Madu Balung Tanpa Isi” maupun ketika terlibat tanya-jawab dengan peserta. Sinuhun PB III mengizinkan pamannya, Pangeran Mangkubumi jumeneng sebagai Sultan HB I di atas tanah yang diberikan yang kemudian dibangun Keraton Jogja, itu bukti bahwa keutuhan dan kedamaian keluarga besar dinasti selalu ingin dijaga.
”Jadi, Perjanjian Giyanti maupun peristiwa 2 hari di Bekonang (Jantisari) setelah itu, tidak ada perjanjian pembagian budaya. Karena, perjanjian Giyanti adalah perjanjian antara Pangeran Mangkubumi dengan VOC yang diwakili Nikolas Harting. Yang melakukan rekonsiliasi, ya kedua pihak itu. Keraton (Mataram Surakarta) tidak ada kepentingannya soal itu. Maka, di sini (keraton-Red) tidak punya naskah itu”.
”Sebagian wilayah keraton memang diberikan kepada Pangeran Mangkubumi, tetapi bukan ‘palihan nagari’. Tak ada wilayah yang dibelah, kemudian yang separo diserahkan sesuai isi perjanjian itu. Sama sekali tidak ada pernyataan (dalam perjanjian-Red) yang menyebut soal itu,” ujar Gusti Moeng yang dibenarkan RM Restu (sejarawan), menjawab pertanyaan IMnews.Id seusai doa tahlil dan dzikir peringatan 100 hari meninggalnya GKR Sekar Kencana (Pengageng Mandra Budaya) di pendapa ndalem Kayonan, Baluwarti, tadi siang. (Won Poerwono-bersambung)