“Bila Benar KGPH Hangabehi Akhirnya Mencapai Tahtanya, Itu Berarti….”
IMNEWS.ID – KALAU melihat penjelasan atas judul sebelumnya “Mungkinkah Akibat Spekulasi Menggunakan Nama Dinasti Paku Buwana? (iMNews.id, 5/12/2025), semua keraguan dan misteri terhadap eksistensi perjalanan Sinuhun PB XIII sudah terjawab. Bahkan dari situ, banyak yang bisa menjelaskan bagaimana jati-diri dan kualitas seseorang yang sedang berambisi dan getol untuk mendapatkan tahtanya.
Tetapi, berbagai informasi spekulatif yang belakangan membanjir di platform medsos pribadi beberapa orang, memang bisa mengacaukan nalar sehat banyak pihak dan publik secara luas. Terutama, bagi yang belakangan “baru mengenal” kraton melalui berbagai jalur pengabdiannya. Apalagi, bagi publik dan pihak-pihak yang sudah apriori dan memberi stigma negatif “ontran-ontran” di Kraton Mataram Surakarta.

Walau langkah demi langkah dan tahap demi tahap sedang berproses dan semakin memperlihatkan titik terang dan arah yang jelas, tetapi stigma negatif soal “ontran-ontran” sulit dilepas. Mungkin malah akan terus melekat diberikan oleh pihak-pihak yang sudah apriori terhadap kraton, walau nanti ada tokoh yang secara definitif didukung berbagai elemen faktor jumeneng nata sebagai Paku Buwana XIV.
Yang jelas, gambaran tentang dinamika yang dianggap banyak orang menjadi pertanda sebagai sebuah “proses yang sehat” menurut ukuran modern (demokratisasi-Red), bisa memberi kesan baik begitu pula sebaliknya. Semua kesan yang muncul, tergantung dari mana melihatnya. Tetapi yang jelas, jika dinamika lahir dari sikap dan pola pikir negatif dan semata-mata merusak, itu jelas tidak ideal, perlu dihindari.

Dengan dinamika seperti yang sekarang berproses dalam persaingan mencapai tahta, memang sudah bisa dilihat arah dan tahapan-tahapan normatif ideal sebagai ukurannya. Tokoh yang satu sudah terlihat jelas arahnya menuju tahta dan pasca itu, bahkan menjalani proses tahapannya dengan tertib dan disiplin serta beretika. Sementara, tokoh yang lain menjalaninya dengan asal-asalan, bahkan tidak beretika.
Ketika sudah sampai tahap seperti gambaran di atas, ada pertanyaan yang tepat menjadi kelanjutannya yang tentu sangat proporsional. “Bila Benar KGPH Hangabehi Akhirnya Mencapai Tahtanya, Itu Berarti….”?. Ada beberapa jawaban yang bisa berdiri sendiri atau bisa dikombinasikan dari antaranya, yang semuanya semakin meyakinkan bahwa Pengageng Kusuma Wandawa itulah tokoh yang paling tepat bertahta.
Salah satu jawaban yang bisa berdiri sendiri atau kombinasi atas semua jawaban lainnya, adalah keberadaan faktor KGPH Panembahan Tedjowulan. “Plt” Sinuhun yang dikukuhkan melalui Surat Kemenbud Fadli Zon tertanggal 13 November 2025, atas posisinya sebagai Maha Menteri dalam SK Kemendagri N0.420-2933/2017, menjadi faktor penting dalam jawaban di atas. Dan faktor ini punya makna multi tafsir.
Jawaban yang penting dan bisa dominan yang melengkapi dukungan terhadap KGPH Hangabehi untuk mencapai tahtanya itu, adalah tafsir positif terhadap pribadi Maha Menteri Panembahan KGPH Tedjowulan itu. Tafsir positif itu bisa lahir dari pernyataannya yang dicatat KP Budayaningrat yang kurang lebih berbunyi, “Aku ora duwe (entuk-Red) Wahyu Ratu, nanging aku duwe (entuk) Ilmu Ratu”.

Pernyataan yang diberikan spontan Maha Menteri KGPH Tedjowulan saat dimintai doa-restu KGPH Hangabehi pada donga wilujengan penetapan sebagai Adipati Anom (13/11/2025), sangat diperhatikan “dwija” Sanggar Pasinaon Pambiwara yang juga tokoh “Lembaga Kapujanggan” kraton itu. Karena pernyataan itu, bisa dimaknai sebagai “dalil” atau “sabda” seorang “Panembahan” yang maknanya tokoh spiritual.
Kata “Panembahan” dalam terminologi kraton dan Budaya Jawa (seni pedalangan), adalah “sesepuh” atau tokoh spiritual sekelas Pujangga, Brahmana, Wiku, Pandita dan sebagainya yang masuk kriteria “Lembaga Kapujanggan”. Karena kalimat itu datang dari KGPH Tedjowulan, konteks esensi isi kalimat itu bisa bermakna sebagai ekspresi pengakuan atas “kesalahan” yang pernah dilakukan, lalu berupaya membayar.

Bila dianalisis kemudian, “kesalahan” atau “kekeliruan” yang dimaksud bisa tertuju pada makna atas ucapannya yang berbunyi “Aku ora duwe Wahyu Ratu”. Kalimat ini tentu terekspresi dari “kegagalannya” mendapatkan “Wahyu Ratu” pada peristiwa “ontran-ontran” alih kepemimpinan tahu 2004. Dengan “kekeliruan” itu, lahirlah kebesaran hatinya untuk membantu melapangkan jalan pada pergantian tahta 2025 ini.
Pada sisi lahirnya kesadaran dan kebesaran hati Sang Maha Menteri ini yang patut dimuliakan dalam posisinya sebagai “Panembahan”. Karena, hal yang esensial dalam posisi tinggi dalam terminologi spiritual Jawa, ketika sudah sampai pada posisi “Panembahan”, berarti segala bentuk “ego pribadi” dari hati dan pikirannya sudah dikesampingkan, bahkan “dibuang”. Yang ada, hanya untuk kebaikan/kebajikan.

Pernyataan KGPH Tedjowulan di depan forum 13 November 2025 itu, masih dikuatkan dengan penegasan KPH Nugroho Ibnu Santosa, seorang cucu Sinuhun PB XI. Sentana trah darah-dalem ini kepada para wartawan di Masjid Agung, Jumat (5/12/205) siang tadi menegaskan, bahwa semua kerabat di kraton seharusnya merasa beruntung masih ada Maha Menteri KGPH Tedjowulan yang langsung turun-tangan meredakan ketegangan.
Penegasannya seusai shalat Jumat ke-4 yang dilakukan KGPH Hangabehi dan puluhan rombongan perwakilan dari 9 Pakasa cabang dan beberapa elemen lain itu, bermaksud untuk mencegah menajam dan berlarut-larutnya ketegangan dan menjelaskan segala persoalan yang dianggap publik masih misteri. Dan ketegasan secara esensial yang terpenting adalah, bahwa KGPH Tedjowulan sama sekali tak menginginkan tahta itu.

“Beliau hanya ingin menengahi. Supaya ketegangan bisa reda dan tak berlarut-larut. Maka, sebenarnya beruntung Maha Menteri KGPH Tedjowulan langsung turun-tangan. Beliau menggunakan posisinya sebagai Maha Menteri sesuai DK Kemendagri itu, sebagai ‘Plt’ Sinuhun yang dikukuhkan denan SK dari Kemenbud Fadli Zon. Intinya, sampai sekarang masih dalam masa berkabung. Tidak elok nggege-mangsa,” ujarnya.
Hal yang dimaksud KPH Nugroho Ibnu Santosa “nggege mangsa”, bila dicermati lebih-lanjut merupakan unsur dan faktor etika dalam Budaya Jawa yang harus selalu dimiliki, dijalankan dan dipatuhi siapa saja yang mengaku sebagai “wong Jawa”. Terlebih, bagi keluarga besar Dinasti Mataram dan semua elemen masyarakat adatnya, yang selama ini memiliki paugeran adat selain nilai-nilai etika dan norma budaya.

“Nggege mangsa”, dalam terminologi makna filosofi jawa adalah niat dan keinginan untuk memaksakan kehendak dengan cara-cara yang tidak elok/etis, agar keinginannya cepat tercapai. Kata mejemuk itu menjadi alat untuk mengidentifikasi proses yang dilalui tokoh dari “seberang”, dalam rangka untuk mempercepat terujudnya ambisi dan keinginannya mendapatkan tahta. Proses ini identik “menghalalkan segala cara”.
Meski stigma negatif sudah melekat pada diri tokoh pesaing KGPH Hangabehi itu, tetapi sebuah peristiwa yang terjadi saat shalat Jumat keempat siang tadi, bisa memberi kesan multi tafsir. Ternyata tokoh pesaing ikut shalat Jumat, dan sempat bertegur sapa bahkan berpelukan dengan KGPH Hangabehi, walau sesaat. Peristiwa ini tentu menarik bagi yang melihat, meski tidak jelas kata-kata yang mereka ucapkan. (Won Poerwono – bersambung/i1)


