Sama-sama Mengaku Punya “Hak Tahta”, Tetapi Semakin Tampak Jelas Bedanya
IMNEWS.ID – DONGA wilujengan (doa selamatan) ternyata merupakan kekuatan terakhir yang menuntaskan, bahkan mewujudkan (mengabulkan-red), niat dan keinginan manusia untuk mengemban tugas mulia. Kekuatan itulah yang menyempurnakan setelah semua energi dan kemampuan manusia ditumpahkan, melalui batas-batas kewajaran, dalam norma-norma kepantasan dan bingkai nilai-nilai rasionalitas ukuran normal manusia.
Kekuatan itulah yang sebenarnya berada di balik pribadi KGPH Hangabehi. Upaya itulah yang sebenarnya memberi konstribusi sempurna, atas semua yang dijalankan Sang Adipati Anom secara fisik dan penalaran. Dan, cara bersikap transendental, pasrah-sumarah, hanya degan ridha dan petunjukNya, adalah elemen terakhir yang tak tampak, tetapi akan menyempurnakan dan menuntaskan upaya fisik dan nalar itu.

Sebuah peta yang melukiskan aktivitas manusia dalam upayanya menjalankan tugas mulia untuk meneruskan perjalanan peradaban, kira-kira seperti itulah yang sudah dijalankan semua kerabat trah darah-dalem yang terwadahi dalam Lembaga Dewan Adat (LDA). Bahkan didukung berbagai elemen masyarakat adat di luar Dinasti Mataram, mulai dari Pakasa cabang, Pasipamarta dan yang berada di “Lembaga Kapujanggan”.
Dalam peta aktivitas itu, KGPH Hangabehi sebagai pribadi sudah melakukan berbagai upaya yang berada di dalam bingkai berbagai norma, nilai dan batasan yang disebut kaidah paugeran adat. Sedangkan para sesepuh, pinisepuh dan masyarakat adat telah memberi dukungan spiritual religi dan kebatinan dalam bentuk “donga wilujengan”, yang digelar Bebadan Kabinet 2004 di Sasana Handrawina, Kamis (13/11).

Tidak hanya pada peristiwa “wilujengan” Adipati Anom yang “direstui” Maha Menteri KGPH Tedjowulan selaku “Plt” Sinuhun itu, dukungan spiritual religi dan kebatinan serupa juga dilakukan di berbagai tempat di luar kraton. Karena, ada 30-an Pakasa cabang yang secara mandiri menggelar “donga wilujengan” di cabang masing-masing. Baik doa untuk peringatan HUT ke-94 Pakasa, maupun untuk KGPH Hangabehi.
Momentum peringatan HUT ke-94 Pakasa menjadi jembatan strategis untuk memberi dukungan kepada KGPH Hangabehi. Dan aksi nyata warga Pakasa Cabang Jepara, Minggu (30/11) dan Pakasa cabang Kudus (Senin (1/12), adalah wujud nyata dukungan dari 10 cabang Pakasa yang menyatakan dukungannya melalui ekspresi jajak-pendapat. Melalui penelusuran sederhana ini, mereka menyampaikan penilaian pribadi KGPH Hangabehi.

Karena para responden jajak-pendapat (iMNews.id, 24/11) sudah bergaul akrab dengan KGPH Hangabehi, maka mereka bisa memberi penilaian bahwa pribadi Sang Adipati Anom ini lebih layak, bahkan sangat layak “diantar sampai ke tahtanya”. Pernyataan itu memang di luar yang ditanyakan iMNews.id, tetapi penilaian mereka soal “layak” menjadi Sinuhun PB XIV, dilihat dari sifat pribadinya jauh dari nafsu ambisi.
Kini, secara pribadi KGPH Hangabehi sedang “diuji” unsur transendentalnya, dengan wajib shalat 7 Jumat kali di kagungan-dalem Masjid Agung Kraton Mataram Surakarta. Kewajiban itu diingatkan Maha Menteri KGPH Tedjowulan saat dimintai “donga-pangestu” di Sasana Handrawina. Karena, Sinuhun PB X menjalani wajib itu saat hendak jumeneng nata di tahun 1893. Keteladanan ini dicatat KP Budayaningrat.

Dengan adanya kewajiban itu, berarti setidaknya ada tiga faktor yang harus dimiliki oleh seorang calon Adipati Anom untuk menjalani proses spiritual religi dan kebatinan menuju tahtanya. Pertama faktor dirinya sebagai manusia yang harus memenuhi syarat adat, yaitu sebagaimana dijelaskan dalam paugeran adat mengenai siapa yang berhak menjadi pengganti/penerus tahta?. Ini adalah faktor internal.
Sedangkan dua faktor lain yang berasal dari eksternal, yaitu “donga wilujengan” yang dilakukan para sesepuh, pinisepuh (yang terwadahi dalam LDA-Red) dan masyarakat adat di forum “musyawarah agung” atau musyawarah keluarga. Faktor itu adalah dukungan legitimatif atau dukungan moral dari para kawulanya yang berada di berbagai elemen. Hal terakhir adalah perangkat sistem dan SDM operatornya.

Perangkat sistem yang mengatur mekanisme prosedur seseorang yang layak didukung untuk jumeneng nata sebagai Sinuhun Paku Buwana (XIV), adalah konstitusi tidak tertulis “paugeran adat”. KP Budayaningrat (dwija sanggar) dan KPH Raditya Lintang Sasangka (Pangarsa Sanggar Pasinaon Pambiwara) dari “Lembaga Kapujanggan” kraton, kurang-lebih sudah menjelaskan syarat-syarat, urutan dan tahapannya, sebelumnya.
Ketika sudah ada sedikitnya tiga faktor tersebut di atas, untuk menakar siapa figur tokoh yang paling layak dan memenuhi syarat menjadi pengganti/penerus pemimpin Kraton Mataram Surakarta sudah Jelas. Ada unsur dan faktor yang sudah cukup efektif menyeleksi figur yang layak, sesuai dan memenuhi syarat. Tetapi, secara alami juga telah terjadi seleksi yang hasilnya juga sudah meyakinkan.

Seleksi secara alami itu telah menghasilkan seorang tokoh di “seberang” yang lebih dulu dikenal publik. Dia lebih dikenal luas, termasuk rezim penguasa (pemerintah) yang tentu mencatatnya, karena ucapannya yang begitu “sembrono” di platform medsos pribadinya. Setelah ucapan “Nyesel Gabung Republik” itu viral, tak lama kemudian tokoh ini kembali “terkenal” sebagai pelaku tabrak lari setelah pulang “dugem”.
Dari dua peristiwa itu, secara alami sudah terseleksi kepribadian sang tokoh yang sangat diragukan sebagai seorang calon pemimpin adat dan teladan berbudaya. Secara alami, statusnya sebagai warga negara dan bagian lembaga kraton, juga terseleksi saat berucap “Nyesel Gabung Republik”. Karena, sepotong kalimat itu bisa dianggap anti-nasionalisme, yang membahayakan jika sampai mendapatkan kekuasaan.

Seleksi secara alami juga baru saja disaksikan publik yang secara langsung melihat peristiwa shalat Jumat di Masjid Agung, maupun rekaman video yang diviralkan oleh publik. Dari aktivitas wajib shalat Jumat 7 kali itu, baru dijalani sekali pada Jumat kedua, 21 November, saat KGPH Hangabehi menjalaninya. Pada Jumatan pertama (14/11) tidak kelihatan di Masjid Agung, yang ketiga (28/11)-pun juga “tidak muncul”.
Jumatan 7 kali di Masjid Agung, bahkan 40 kali seperti diteladankan para tokoh pendahulu sebelum Sinuhun PB X menurut KP Budayaningrat, secara tidak langsung menjadi seleksi alami. Mungkin saja dilakukan shalat Jumat di masjid lain, tetapi syarat yang dijalankan Sinuhun PB X seperti disebut Maha Menteri KGPH Tedjowulan dan KP Budayaningrat, adalah wajib dilakukan di kagungan-dalem Masjid Agung.

Proses hukum gugatan perdata yang ditempuh GKR Wandansari Koes Moertiyah sebagai Pimpinan Lembaga Dewan Adat (LDA) kepada Sinuhun PB XIII yang dianggap melanggar SK Kemendagri No.430-2933/2017, menjadi faktor lain yang bisa masuk seleksi alami. Karena dengan putusan Mahkamah Agung (MA) dan eksekusi yang dilakukan Pengadilan Negeri (PN) Surakarta, 8 Agustus 2024, menggugurkan semua produk hukum PB XIII.
Kebijakan Sinuhun PB XIII membentuk “bebadan” baru, melantik “GKR” dan menentukan “putra mahkota”, sudah tidak berlaku demi hukum. Secara alami, seleksi berikutnya akan terus ada, baik bagi “tokoh seberang” maupun KGPH Hangabehi. Dan seleksi yang sudah terjadi pada keduanya, jelas hasilnya, membuat mereka berbeda. Yang satu tidak lolos dan tidak layak, satunya lagi lolos dan sangat layak untuk “tahtanya”. (Won Poerwono – habis/i1)
