Memandu Nalar Sehat Publik, Agar Tidak “Sesat” Menilai
IMNEWS.ID – DI balik seluruh struktur bangunan simbol Kraton Mataram Surakarta, adalah makna filosofi “tuntunan hidup” bagi manusia. Edukasi tentang “sabda-dalem” Sinuhun PB X (1893-1936) yang selalu dijelaskan RT Warno Setiadi dan para abdi-dalem seprofesinya saat memandu para wisatawan di kraton. Konsep pemimpin (Ratu) dan faktor SDM, upacara adat, tata-nilai dan Budaya Jawa menjadi rangkaiannya.
Abdi-dalem pemandu wisata RT Warno Setiadi yang lulusan Sanggar Pasinaon Pambiwara lebih 20-an tahun lalu, sempat “ngobrol” dengan iMNews.id, Senin (10/11) itu. Di sela-sela memandu 250-an mahasiswa Prodi Sejarah UIN Sunan Ampel (Surabaya) studi lapangan sampai di Bangsal Smarakata, dia dan sejumlah abdi-dalem pemandu sedang menunggu untuk mengantar para mahasiswa menuju Sasana Pustaka (iMNews.id, 10/11).
Dia menyinggung soal konsep seluruh struktur bangunan secara lengkap dari Gladag hingga Gading, sebagai “tuntunan ing agesang ” (tuntunan hidup) seperti disabdakan Sinuhun PB X. Konsep struktur bangunan itu, adalah elemen penting yang berkait dengan persoalan “tahta”. Karena, publik secara luas khususnya internal keluarga besar Kraton Mataram Surakarta, sedang memperbincangkan proses alih kepemimpinannya.
Tetapi sayang, publik peradaban secara luas lebih berselera “mempersoalkan” (membahas) figur tokohnya tanpa mau memahami berbagai komponen, unsur dan elemen lain yang berkait dengan soal “tahta”. Bahkan, publik secara luas, termasuk di kalangan elemen masyarakat adat sendiri, masih ada yang mengesampingkan nilai-nilai dan makna yang harus dipenuhi dalam konsep “tahta” itu. Padahal, “mutlak” harus dipahami.

Soal makna filosofi struktur bangunan yang berarti kawasan kedhaton hingga kawasan sakral inti kedhaton, harus dipahami oleh seorang calon “Raja” atau “Raja”. Kalau tidak paham, akan mudah melakukan tindakan yang salah dan merugikan diri sendiri, terutama lembaga kraton. Peristiwa protes warga Baluwarti di masa pandemi saat Sinuhun PB XIII hendak menutup Kori Brajanala Kidul, itu contoh “Raja” yang “tidak paham”.
Seorang “calon Raja” dan “raja” harus memahami semua jengkal kawasan kraton, wilayah “kedhaton”, apalagi wilayah sakral inti kedhaton. Pemasangan kerangka baliho publikasi di Alun-alun Kidul perlu segera dievaluasi. Begitu pula, membawa kagungan-dalem mahesa keturunan Kiai Slamet ke dalam wilayah kedhaton yaitu di halaman Pendapa Magangan, jangan sampai terulang lagi oleh siapapun, apalagi tokoh calon/Raja.
Setelah paham makna filosofi seluruh struktur bangunan, seorang “calon Raja” atau “Raja” harus memahami si balik itu, yaitu konsep “ratu” dan “tahta”. Secara simbolik KPH Raditya Lintang Sasangka, seorang tokoh “Lembaga Kapujanggan” Kraton Mataram Surakarta sudah menyinggung itu. Soal “Ratu tanpa laku” yang mulai dijelaskan di seri lalu (iMNews.id, 11/10), tepat sekali untuk menyebut SDM yang tampil di 2004.
Konsep “Ratu tanpa laku”. “Nata tanpa labuh karya” dan “Narendra tanpa weruh kawula”, adalah kata bijak yang lahir dari peristiwa di masa lalu. Karena, memang pernah ada proses alih kepemimpinan yang “menyimpang” dari paugeran adat, tetapi alur tahta tetap terjaga aman dan lurus. Tetapi, proses serupa terjadi di tahun 2004, dan yang diulang hanya perilaku “pengkhianatannya terhadap paugeran adat” saja.

Setelah 21 tahun yaitu di tahun 2025 ini setelah Sinuhun PB XIII wafat (iMNews.id, 2/11), perilaku “menyimpang dan berkhianat” pada konsitusi Dinasti Mataram ini sedang dicoba diulang oleh salah satu kandidat yang “tidak punya hak” atas tahta. Maka, konsep “ratu” yang disampaikan KPH Raditya itu juga berlaku untuk mengidentifikasi tokoh ini, begitu juga berlaku bagi tokoh lain seperti KGPH Hangabehi.
Kalau seri sebelumnya dan tema-tema tulisan lain di media ini sudah banyak menyebut kiprah KGPH Hangabehi bebas dari tiga indikator yang disebut KPH Raditya LS, bagaimana calon lain khususnya yang “sedang ingin memaksakan diri” jumeneng nata?. Karena, tokoh ini jelas “calon” Ratu tanpa laku, calon “Nata tanpa labuh karya” dan calon “Narendra tanpa weruh kawula”, lebih dikenal sebagai sosok “tercela”.
Dari takaran “Nata tanpa labuh karya”, jelas sangat tidak terwujud pada diri KGPH Hangabehi. Kerendahan hati dan pribadi yang hangat bergaul, selalu diberikan putra lelaki tertua Sinuhun PB XIII itu, pada di berbagai kesempatan bertemu siapa saja tanpa kecuali. Terlebih, ketika bertemu kalangan warga Pakasa di berbagai daerah kabupaten/kota, apalagi dalam format upacara adat khol atau ziarah makam leluhur.
Pergaulan dalam kekerabatan yang selama ini dibangun dengan berbagai elemen masyarakat adat, jelas menjadi bagian “labuh karya” atau karya nyatanya. Belum lagi ketika menyinggung berbagai kegiatan di bidang “Tosan Aji” dalam forum apa saja dan di mana saja, termasuk di Nederland (Belanda) akhir Oktober lalu, langsung atau tidak langsung sudah mewujudkan karya nyata seorang calon “Raja” Mataram Surakarta.

Sosok figur KGPH Hangabehi jelas bebas dari sebutan “Narendra tanpa weruh kawula”. Karena, penjelasan di atas melukiskan bagaimana pejabat Pegangeng Museum, Pendapa Pagelaran dan Alun-alun Lor itu begitu akrab di tengah masyarakat adat khususnya Pakasa, setiap berkunjung di berbagai cabang. Ia bahkan berbaur di depan prajurit, ketika warga Kabupaten Blora meminta dukungan dalam kirab 17-an, juga di tempat lain.
Tetapi, agaknya perkembangan situasi dan kondisi persoalan “tahta” memang lebih mengemuka bekalangan ini. Dan, sosok yang selalu memperlihatkan keakrabannya dengan tokoh rezim kekuasaan dalam lima tahun terakhir, yang justru dianggap publik secara luas sebagai yang tepat untuk “tahta” itu. Edukasi tentang pemahaman proses dan syarat untuk sampai pada tahta itu untuk publik, tampak ada “kesengajaan” ditutup.
Tetapi, Bebadan Kabinet 2004 dan Lembaga Dewan Adat (LDA) yang kini puyang legal standing jelas dan tegas sebagai lembaga pelindung/pengelola Kraton Mataram Surakarta yang sah, tentu tidak akan tinggal diam. Berdasar pengalaman “ontran-ontran tahun 2004” dan “insiden mirip operasi militer 2017”, sangatlah lengkap pelajaran yang didapat untuk menyusun strategi, bisa mewujudkan misi utama mengantar “tahta”.
Tahta bagi siapa? Tentu tahta bagi tokoh yang lama disiapkan untuk mewujudkan berbagai tujuan ideal di masa depan. Setidaknya, menyiapkan tokoh yang punya komitmen dan kapasitas untuk menjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta, lebih dari yang pernah “diramal” dan “diwiradati”, yaitu sampai akhir zaman. Tokoh yang akan diantar sampai tahta, adalah yang bisa menjamin pelestarian dan perlindungan semuanya.

Lembaga Dewan Adat yang berisi semua perwakilan trah darah-dalem Sinuhun PB I-PB XIII, jajaran Bebadan Kabinet 2004 dan semua elemen masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta, pasti akan mengawal tokoh calon pemimpinnya sampai ke “tahta puncak”. Karena, tokoh dimaksud yang diharapkan melindungi berbagai kerja adat, berbagai aktivitas pelestarian Budaya Jawa dan segela potensi legitimatif masyarakat adatnya.
Di tingkat internal, semua kerja adat dan jalannya kerja administrasi kekerabatan sangat butuh tokoh berkapasitas dan berkualitas sekelas KGPH Hangabehi. Bukan “tokoh karbitan” yang tak paham asal-usulnya, identitas dirinya dan buta terhadap apa yang menjadi tugas, kewajiban dan tanggungjawabnya. Kraton dan peradaban saat ini dan masa depan, butuh sosok pribadi yang bisa menjadi teladan, bukan tokoh “tercela”.

Kini, persoalannya tinggal bagaiamana perkembangan situasi dan kondisi di eksternal kraton?. Karena, ada satu-satunya potensi kekuatan yang sulit diprediksi kedatangan, eksekusi dan arah kemauannya. Yaitu potensi kekuatan dari rezim kekuasaan, seperti yang terjadi pada peristiwa “insiden mirip operasi militer tahun 2017”. Karena, tampaknya tak pernah mau duduk bersama untuk berdiskusi saling memahami.
Tetapi, peristiwa tahun 2017 menjadi bahwa potensi kekuatan luar biasa itu mengancam eksistensi kraton, Budaya Jawa dan memutus proses regenerasi daya dukung ketahana budaya bangsa. Kini petanya sudah jelas, maka atas nama apapun dan karena alasan apapun, rencana “penobatan” salah seorang rival dalam waktu dekat, jelas sulit dibenarkan dan pasti melanggar hak azasi masyarakat adat bila benar-benar terjadi.(Won Poerwono – bersambung/i1)









