Mirip Upacara Adat “Adang Tahun Dal”, Kurang Dikenal Internal Masyarakat Adat
IMNEWS.ID – KARENA dari citra visualnya ada kesamaan pemandangannya dalam waktu yang panjang, maka ada pertanyaan yang sama antara yang tampak dari upacara adat “Adang Tahun Dal” dan “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung”. Yaitu, mengapa jumlah masyarakat umum yang “ngalab berkah” nyaris tidak ada? Mengapa masyarakat adat pendukung upacara adat ini lebih sedikit dibanding beberapa jenis ritual lain?.
Karena citra visualnya sama, maka fakta itulah yang sekaligus sudah bisa menjawabnya. Yaitu, ritual ini sejak dulu tidak populer seperti tiga jenis upacara adat “Garebeg” lainnya, yaitu Sekaten Garebeg Mulud, Garebeg Syawal (Lebaran) dan Garebeg Besar (Idhul Adha). Karena, tiga jenis ritual “Garebeg” ini punya daya tarik “Pareden” (gunungan) yang setelah didoakan, lalu dibagi-bagikan kepada yang “ngalab berkah”.

Ritual “Adang Tahun Dal” yang ditandai dengan keluarnya “dandang Kiai Dhudha” dan “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung”, tak memiliki daya tarik “pareden” yang dikirabkan sebelum dan sesudah didoakan, lalu dibagi-bagikan. Tetapi pada dua ritual yang “kurang populer” itu, sebenarnya ada unsur “ngalab berkah”, tetapi tidak terbuka seperti pada “Garebeg” dan bukan wujud “Pareden” yang dibagi-bagikan.
Ekspresi “ngalab berkah” dalam upacara adat “Adang Tahun Dal”, terjadi saat nasi hasil adang dibawa ke tempat pisowanan, Bangsal Parasedya. Walau berupa nasi, tetapi semua yang mendapatkan sewadah plastik yang isinya seukuran sesuap, rata-rata bukan untuk dimakan langsung. Seperti uba-rampe wilujengan yang didapat dari “ngalab berkah” Pereden Sekaten Garebeg Mulud, biasanya diperlukan untuk “keperluan lain”.
“Apapun hasil ngalab berkah, dari Pereden Garebeg Mulud atau Adang Tahun Dal, sesampai di rumah akan dikeringkan terlebih dulu. Setelah kering, kalau wujudnya nasi dari Adang Tahun Dal, lalu disimpan. Hanya diambil dua atau tiga butir nasi, untuk disertakan saat ‘ngliwet’ atau saat bercocok tanam. yang dari Pareden juga begitu. Tetapi ada yang digunakan untuk tulak-balak,” ujar KRMH Suryo Kusumo Wibowo.
Wakil Pengageng Sasana Prabu sekaligus “Korlap” kirab di berbagai upacara adat itu, banyak melukiskan pengalamannya dari lapangan saat bertugas. Apalagi, dia juga mendapat kepercayaan mengurusi proses merangkai uba-rampe upacara adat seperti “Pareden” maupun Sesaji Mahesa Lawung. Namun, ia tidak punya data tentang alasan sedikitnya jumlah yang “ngalab berkah” pada dua ritual di atas, bahkan yang lain.

Hal yang berbeda antara ritual “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung” dan “Adang tahun Dal”, adalah sifat dasar dua jenis upacara adat itu yang berbeda esensi. Karena, Sesaji Mahesa Lawung adalah “wilujengan nagari” yang bersifat terbuka, mengingat tujuannya untuk memohon “keselamatan” kraton dan seisinya serta NKRI dan seluruh isinya. Sedangkan Adang Tahun Dal, meneladani sifat “kesederhanaan”.
Walau ada perbedaan sasaran yang dituju, tetapi kedua ritual itu tetap punya peluang bagi yang ingin “ngalab berkah”. Tetapi, untuk bisa bergabung melakukan “ngalab berkah”, harus memenuhi persyaratan khusus yang tidak terjadi pada jenis ritual kirab “Pareden” Sekaten Garebeg Mulud, misalnya. Syarat itu adalah, berstatus sebagai calon atau abdi-dalem di berbagai elemen yang mengenakan “busana adat”.

Karena syaratnya harus mengenakan busana “adat”, tentu harus sesuai dengan ketentuan paugeran adat yang berlaku, yaitu disesuaikan dengan “pangkat” dan gelar kekerabatannya. Itulah maka, yang bisa “ngalab berkah” pada dua jenis ritual di atas, hanya yang berbusana adat. Itupun, masih ada seleksi untuk ritual “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung”, yaitu antre di belakang untuk menuju “punden berundak”.
Dengan ciri fisik tatalaksana upacaranya maupun adanya persyaratan seperti itu, maka di luar masyarakat adat yang berbusana adat nyaris tidak terlihat pada dua jenis ritual itu. Terlebih untuk “Adang Tahun Dal”, dari persiapan di Gandarasan, jamasan, wilujengan, keluarnya “dandang”, proses “adang” hingga proses “adang” dan membagi-bagikannya, semua berlangsung tertutup di dalam kraton penuh tatacara adat.
Walau tahap akhir “wilujengan nagari” berlangsung di luar kraton yaitu di “Alas Krendawahana”, Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, tetapi ritual Sesaji Mahesa Lawung selama tiga dekade terakhir tetap “biasa saja”. Ruang tempat upacaranya hanya nyaman menampung 500-an orang, tak ada ruang parkir khusus mobil, padahal yang datang untuk sekadar “ngalab berkah”pun langka.
Pemandangan itu bisa dimaknai, walau digelar secara terbuka tetapi ada simbol yang dianggap sebagai syarat untuk bergabung, yaitu busana adat. Pareden atau uba-rampe wilujengan lainpun tak terlihat ada. Ini yang membuat ritual ini terkesan bebas dari perilaku “ngalab berkah” seperti “Pareden” Sekaten. Dan, faktor lain yang membuat ritual itu “biasa-biasa saja”, karena situasi dan kondisi lokasi “terbatas”.

Banyak “keterbatasan” dalam pelaksanaan upacara adat “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung”, terutama di tahap akhir di “Alas Krendawahana”. Karena, Kraton Mataram Surakarta harus menyediakan angkutan dalam jumlah besar, minimal satu bus besar yang bisa mengangkut para prajurit dan abdi-dalem petugas yang membawa uba-rampe wilujengan. Dalam situasi sulit sekarang ini, berat untuk tampil lebih besar dari itu.
Dan hal yang paling “menyulitkan”, adalah “keterbatasan” ruang tempat upacara dan rute yang dilalui dari kraton ke “Alas Krendawahana”. Ruang terbuka di sekitar “punden berundak” tempat upacara adat itu, terlalu sempit untuk ukuran masa kini jika untuk menampung lebih 500 peserta upacara. Karena selebihnya, adalah lahan berisi aneka tanaman jauh dari “kesan hutan”, lingkungan sekitarnya sudah padat penduduk.

Ketika Raja Dangdut membuat lagu “135 Juta Penduduk Indonesia” tahun 1976, ruang upacara di “Alas Krendawahana” itu masih nyaman untuk menampung seluruh peserta ritual “Sesaji Mahesa Lawung”. Tetapi kini dan ke depan, karena Pakasa terus berkembang juga beberapa elemen lain, tak mungkin bisa menampung perwakilan 10 orang/cabang. Perkembangan situasi dan kondisinya, menjadi tantangan serius bagi kraton.
Selain keterbatasan ruang untuk menampung seluruh peserta upacara Sesaji Mahesa Lawung di atas 500 orang, objek lahan hutan lindung Krendawahana juga mendapat tantangan serius. Ruang untuk parkir segala jenis kendaraan peserta upacara, tidak tersedia. Tanaman keras ciri hutan di situ sudah habis sejak lama, dan pemukiman yang makin “mengurangi” ruang lahan, jelas mengganggu ekosistem hutan dan ritualnya. (Won Poerwono – bersambung/i1)




