“Generasi Terakhir” Maestro Dalang “Gagrag” Surakarta “Berpulang” di Usia 77 Tahun

  • Post author:
  • Post published:October 23, 2025
  • Post category:Regional
  • Reading time:5 mins read
You are currently viewing “Generasi Terakhir” Maestro Dalang “Gagrag” Surakarta “Berpulang” di Usia 77 Tahun
DUA MAESTRO : Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedharsono adalah dua maestro dalang segenerasi yang besar, terkenal dan rezekinya melimpah-ruah karena sukses di zaman keemasannya menjelang tahun 1980 menjelang tahun 2000-an. Keduanya merupakan dalang penyaji paling cermat dan terbaik yang kini sudah tiada. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Kamis (23/10) Ini Dimakamkan di Desa Kelahirannya, Depokan, Juwiring, Klaten

SURAKARTA, iMNews.id – Maestro dalang generasi terakhir yang menekuni seni pakeliran wayang kulit “gagarag” (gaya) Surakarta, Ki H Anom Suroto Lebdonagoro “berpulang”. Dalang yang dikenal luas karena kualitas “vokal” prima dan pencipta gending “Solo Berseri” itu, menghembuskan nafas terakhir pukul 07.00 WIB tadi pagi setelah 4 hari dirawat di RS Dr Oen Kandangsapi, Jebres, karena gangguan pernafasan.  

Dari “Lelayu” yang beredar luas disebutkan, almarhum meninggalkan seorang istri dan 8 anak dari dua isteri yang sudah mendahului meninggal dan 18 cucu. Kini, jenazah disemayamkan di rumah duka “Pondok Seni Timasan”, Gumpang, Makamhaji, Kartasura, Sukoharjo. Jenazah akan dimakamkan di makam keluarga besarnya di desa kelahirannya, Depokan Bagor, Kecamatan Juwiring, Kabupaten Klaten sekitar pukul 15.00.

Ki Anom Suroto yang pernah mendapat gelar kekerabatan KRT Anom Suroto Lebdonagoro dari Kraton Mataram Surakarta antara tahun 2001/2002 saat Sinuhun PB XII jumeneng nata (1945-2004). Gelar tersebut diberikan kepada sejumlah tokoh, termasuk dalang terkenal Ki Warseno Slenk, adik kandung yang mendahului meninggal sekitar  lalu. Gelar kekerabatan diberikan, karena dianggap ikut melestarikan Budaya Jawa, seni wayang.

“In memoriam” Ki Anom Suroto Lebdonagoro, memiliki sisi menarik sebagai referensi di bidang profesi dalang dan “jagad” seni pedalangan. Karena, almarhum adalah satu di antara dua generasi dalang “gagrag” Surakarta yang paling menonjol pada zaman “keemasan” seni pedalangan wayang kulit “purwa”. Tahun 1980-2000-an, menjadi zaman keemasan seni pedalangan khususnya Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedarsono (alm).

Dari catatan iMNews.id bahkan sejak di harian Suara Merdeka, zaman keemasan kedua toko itu sudah dimulai menjelang tahun 1980, tetapi menjelang tahun 2000 disusul generasi di bawahnya yaitu Ki Purbo Asmoro dan Ki Warseno Slenk (alm). “Dua maestro dalang” almarhum (Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedarsono), telah meneruskan reputasi dunia seni pedalangan sebelumnya yang “dimuliakan” Ki Nartosabdo di tahun 60-70-an.

Dari sisi figur dalangnya, hampir semua dalang yang beredar di semua gaya (gagrag) khususnya Surakarta yang banyak berkiblat ke Kraton Mataram Surakarta dan sedikit ke Kadipaten Mangkunegaran, rata-rata adalah muncul dari satu garis keturunan seniman dalang. Termasuk Ki Anom Suroto adalah anak tertua Ki Harjodarsono “Diun” (alm), kakeknya adalah Ki Harjo Suroto. Beberapa adik dan anaknya berprofesi dalang.

MAESTRO TERAKHIR : Ki Anom Suroto menjadi maestro dalang terakhir dari generasinya yang “berpulang”, Kamis (23/10) pagi tadi di usia 77 tahun. Dia adalah dalang wayang kulit purwa gagrag Surakarta yang sukses pada zaman keemasannya bersama Ki Manteb Soedarosno yang telah mendahului di masa pandemi lalu.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Adik kandung maestro dalang itu adalah Ki Warseno Slenk yang sudah mendahului dan menyisakan Ki Bagong Darmono, adik lelaki yang juga dalang. Sedangkan keturunan Ki  yang termasuk “satu-satunya” berprofesi dalang, adalah Ki MP Prasetyo Bayuaji. Sedangkan maestro dalang satunya yaitu Ki Manteb Soedarsono, juga anak seorang dalang, yang menurunkan beberapa anak lelaki berprofesi dalang misalnya Ki Medot Samiyono.

Dalam perjalanan profesi, Ki Anom Suroto dikenal cermat dalam menyajikan pentas wayang kulit sejak hiburan seni itu disuguhkan dalam format “sedalu natas” (semalam suntuk), pukul 20.00 WIB hingga subuh. Selain cermat dalam menata anak wayang dan memposisikan wayang dalam berbagai ragam gerak, almarhum juga dikenal mulai menempatkan seni wayang sebagai pertunjukan total terutama dari sisi citra visualnya.

Maka, tampil “paripurna” menjadi tuntutan kebutuhan pribadi bagi Ki Anom Suroto sebagai “entertainer” sejati di bidang seni pertunjukan wayang kulit. Tidak dirinya yang selalu mengenakan busana khas dalang rapi, “besus”, anggun berwibawa, semua seniman pendukung (“crew”)-pun juga tampil mengimbangi. Bahkan, semua peralatan termasuk panggung, gamelan, kelir, wayang dan sound-system, juga tampil “glamor”.

Kecermatan dalam penampilan, terkesan menjadi salah satu solusi menonjol yang dilakukan Ki Anom Suroto akibat suhu “persaingan” yang makin tajam pada saat zaman keemasannya maupun di penghujung munculnya tokoh-tokoh dalang di bawah generasinya seperi Ki Purbo Asmoro dan Ki Warseno Slenk. Apalagi menginjak tahun 2.000-an semakin banyak nama-nama pesaing yang muncul dengan berbagai “inovasi” di panggung.

Walau Ki Anom Suroto sering terganggu kesehatan fisiknya dalam 10 tahun terakhir, hingga sering harus memakai kursi roda untuk datang ke lokasi pentasnya, masih memiliki keunggulan di beberapa bidang untuk mempertahankan reputasinya sebagai dalang profesional. Dia punya partner Ki MP Prasetyo Bayuaji, yang bisa tampil bergantian “melengkapinya”, karena si bungsu itu piawai dalam soal “sabet” perang atraktif.

Dalang yang pernah menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Golkar di tahun 1990-an itu, juga sering menjadi “dosen luar biasa” khususnya di Jurusan Pedalangan kampus ISI Surakarta, sama seperti Ki Manteb Soedarsono (alm). Dia menjadi dalang terkenal luas karena frekuensi pentas padat atau laris yang berarti “jam terbangnya” tinggi, sehingga mampu menghasilkan kekayaan materi untuk keluarga dan penampilannya.

KENANGAN DI SURABAYA : Almarhum istri (Sri Sayuti) bersama empat putri dari enam anak hasil perkawinannya dengan Ki Anom Suroto, punya kenangan saat mengikuti pentas “Kethoprak Dalang” yang sedang berkeliling dan tampil di Surabaya, 20-an tahun lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Namun, dia bukan seorang Empu yang telah menciptakan, karena seni pertunjukan wayang kulit “purwa” sudah ada lengkap, urut dan tuntas. Dia hanya piawai, cemat dan berdedikasi dalam profesi saat menyajikan seni pertunjukan “ringgit wacucal” di depan “kelir”, di atas panggung. Kualitas vokal (suara)-nya prima, atau berkelas “kung” ketika sudah “suluk” dan “ngumbang”. Dalam “antawecana” sangat jelas, pilah satu sama lain.  

Selain pernah mencipta gending “Solo Berseri” yang menjadi “propaganda” setiap daerah di era rezim Orde Baru, Ki Anom Suroto juga piawai dalam “sanggit” atau kemampuan berkreativitas membedah hal-hal simbolik dalam latar-belakang tiap lakon dalam seni pedalangan. Misalnya, dalam kisah “Petruk Dadi Ratu” sebagai ekspresi “menggugat” sakralitas “Kadewatan”, dia mampu menampilkan pula lakon “Prabu Jaya Pethakol”.    

Kemampuan “sanggit” itu banyak dilakukan kalangan dalang seusia atau generasi di atasnya, yang tak disadari telah melahirkan “desakralisasi” dan “delegitimasi” dari kalangan masyarakat pecinta wayang. Di tangan generasi dalang di bawahnya, wayang kulit yang semula sakral sebagai bagian upacara adat “wong Jawa” dan kraton sebagai sumber gagrag Surakarta itu, wayang tinggal sekadar tontonan, tanpa “tuntunan”. (won-i1)