Kraton Butuh Padi “Raja Lele” yang Akan Dipetik dan Ditumbuk Sendiri
SURAKARTA, iMNews.id – Upacara adat “adang” (menank nasi) dengan “dandang” pusaka “Kiai Dhudha” di Tahun Dal 1959 yang jatuh di tahun 2025 ini, sedang diupayakan “Bebadan Kabinet 2004” berjalan sesuai tatacara dan tahapannya secara lengkap dan urut. Bila bisa berjalan sesuai paugeran adat seperti pada zaman Sinuhun PB XII (1945-2004), akan menjadi atraksi adat yang menarik di zaman modern ini.
Kini, tanpa perlu publikasi berlebihan Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) selaku pimpinan “Bebadan Kabinet 2004” sedang memimpin tatacara yang menjadi tahapan upacara adat itu. Dimulai dengan “donga wilujengan Dhukutan”, Selasa Wage (5/8) di “topengan” Pendapa Sasana Sewaka, menjadi awal langkah memulai tahapan-tahapannya yang mendasar, yaitu doa untuk permohonan keselamatan.
Setelah doa permohonan keselamatan kepada Tuhan YME, Allah SWT, Selasa Wage itu, dilanjutkan dengan tahapan mengumpulkan uba-rampe yang akan digunakan untuk tahapan-tahapan tatacara ritual tersebut. Yaitu mencari air dan tanah di sejumlah tempat untuk membuat “keren” (tungku), kemudian “rencekan” atau potongan beberapa jenis kayu di sejumlah tempat, untuk membuat api guna menanak nasi atau “adang”.
Selasa siang (12/7), tahapan pembuatan “keren” atau tatacara menyiapkan tungku dilakukan di Pawon Gandarasan yang dikerjakan oleh tujuah abdi-dalem. “Keren” lubang empat yang dikerjakan sejak pagi hingga siang tadi, menggunakan material air dan tanah dari beberapa lokasi bersejarah, yang diaduk menjadi adonan untuk membentuk “keren”, yang ditunggui langsung oleh Gusti Moeng.

Proses pembuatan yang dilakukan 7 abdi-dalem itu, hingga lepas siang baru menyelesaikan sekitar 30 persen. Karena, waktunya terbagi untuk mengulang dari karya yang dikerjakan beberapa orang sebelumnya, tetapi ada kekeliruan dalam soal ukuran lingkaran lubang tungku. Karenanya, KRMH Suryo Kusumo Wibowo (Pengageng Sasana Prabu) memastikan prosesnya akan berlanjut Rabu besok hingga selesai.
Gusti Moeng yang datang bersama KGPH Hangabehi saat pengerjaan sudah berjalan dan didapati ada kekeliruan, meminta untuk mengulang dari awal. Apalagi, untuk memulai mengerjakan pembuatan “keren” juga perlu ada “donga wilujengan” kecil, yang saat itu juga dilakukan Gusti Moeng. Setelah wilujengan, pengerjaan dilanjutkan dan hingga pekerjaan diakhiri lepas siang tadi, baru selesai 30-an persen.
KRMH Suryo Kusumo Wibowo dan abdi-dalem Keparak Mandra Budaya KRT Rawang Gumilar Lebdonagoro yang membantu jalannya pengerjaan “keren”, membenarkan saat dimintai konfirmasi iMNews.id, sore tadi. Pekerjaan pembuatan “keren” 4 lubang itu, akan dilanjutkan Rabu besok dan diharapkan selesai dalam satu hari. Setelah tatacara ini, ada tahapan lain menyediakan beras yang akan “didang” (ditanak).
Menurut keduanya, Gusti Moeng membutuhkan beras “Raja Lele” yang akan ditanak di “dandang” Kiai Dhudha. Beras tersebut harus dari padi yang masih berada di sawah, yang pemetikannya akan dilakukan Gusti Moeng dengan cara tradisi, yaitu menggunakan “ani-ani”. Sesudah dipanen dari sawah yang diharapkan ada di dekat Kota Surakarta, padi akan diangkut ke kraton untuk “ditutu” (ditumbuk) dengan “lesung”.

“Gusti Wandan (Gusti Moeng) ‘ngersakaken’ seperti itu prosesnya. Jadi, semuanya berjalan urut dan lengkap sesuai tahapan, dan tidak menyimpang dari paugeran adat. Karena, yang dijalankan ini upacara adat, bukan kegiatan biasa di zaman modern. Permintaan itu sudah disebarluaskan melalui warga Pakasa cabang. Padi Raja Lele entah satu pathok atau berapa luasnya, akan ‘ditebas”, ujar keduanya.
Setelah mendapatkan padi Raja Lele dan dilakukan pemetikan sampai berujud beras melalui proses adat tradisional, masih ada beberapa tatacara lain. Karena, seperti ritual adang terakhir di tahun 2009, juga bisa berlangsung sesuai paugeran adat. Karena bila tidak menjalankan secara urut dan lengkap sesuai paugeran, akan mendatangkan “bencana” seperti yang terjadi akibat “adang” di tahun 2017.
Beberapa “bencana” seperti “insiden mirip operasi militer” dan situasi-kondisi umum di luar kraton yang semakin “tidak baik-baik” saja, disinggung Gusti Moeng saat memberi sambutan tunggal pada upacara adat “Dhukutan” itu. Berkaca dari beberapa “bencana” itu, Gusti Moeng kini sedang berupaya “merevisi” dan menjalankan proses tahapan tatacara ritual “Adang Tahun Dal” dengan baik dan benar secara adat.
Tradisi “Adang Tahun Dal” menggunakan “dandang” pusaka Kiai Dhudha sebagai peninggalan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, yang jatuh di Tahun Jawa 1959 atau 2025 ini, diharapkan bisa dijalankan sebaik dan sebenar mungkin sesuai paugeran adat. Karena, tradisi peninggalan para leluhur ini diyakini memberi isyarat yang baik bagi masyarakat adat, yang bisa dilihat dari bagaimana jalannya ritual itu.

“Kita sebagai bagian masyarakat adat yang notabene wong Jawa, boleh tidak percaya, tetapi jangan maido. Jadi, dari proses adang di tahun Dal menggunakan dandang Kiai Dhudha ini, nanti bisa dilihat bagaimana proses dan jalannya? Apakah ada paugeran yang dilanggar atau tidak? Karena, dengan melihat itu, bisa menjadi isyarat bagi kita, tentang kraton dan situasi secara umum di luar kraton,” tunjuknya.
Proses tahapan upacara adat “Adang tahun Dal” akan berlanjut, sementara rangkaian peristiwa yang berdekatan dengan itu juga sedang dijalankan kraton. Yaitu, kegiatan yang mengawali akan datangnya upacara adat peringatan kelahiran atau Maulud Nabi Muhammad SAW, yang akan jatuh tanggal 12 Mulud Tahun Dal 1959. Kegiatan itu berupa pasar malam pendukung Sekaten, yang dibuka resmi Minggu malam (10/8).
“Maleman Sekaten 2025” sebagai keramaian pasar malam untuk menyambut upacara adat Garebeg Mulud yang puncaknya berupa prosesi Gunungan hajad-dalem Sekaten Garebeg Mulud itu, dibuka resmi Gusti Moeng di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa. pasar malam itu hanya memanfaatkan kompleks Pendapa Pagelaran dan halaman depan kagungan-dalem Masjid Agung, sayap kiri dan kanan untuk menampung 300-an stan.
Stan aneka produk dan grup usaha jasa wahana hiburan yang dikelola penyelenggara dari Bebadan Kabinet 2004, tidak menggunakan ruang Alun-alun Lor dari kegiatan “Maleman Sekaten 2025” itu. Karena, Gusti Moeng selaku pimpinan Bebadan Kabinet 2004 berkomitmen ingin menghormati kesepakatan dengan pihak pemberi bantuan renovasi Alun-alun Lor dan Alun-alun Kidul.

Hasil pantauan iMNews.id, kompleks Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa sejak Minggu malam (10/8) sudah tampak hingar-bingar berbagai kegiatan usaha dagang dan jasa membuka stan di situ. Termasuk, dua halaman sayap di depan Masjid Agung, ditambah kanan-kiri jalan lingkar Alun-alun Lor yang mulai dipenuhi stan-stan penjual gerabah khas Sekaten. Sementara, halaman Masjid Agung masih tampak kosong.
Pemandangan yang sangat bertolak belakang tampak, ketika melihat suasana Alun-alun Kidul. Bila di Alun-alun Lor lapangan berumput lega karena kosong, walau di beberapa titik terlihat sampah mulai menumpuk, di Alun-alun Kidul hamparan rumput “pilihan” yang disepakati agar tumbuh untuk “keindahan”, sudah tidak tampak. Di situ, stan aneka hiburan sudah berdiri penuh, hampir menutup hamparan rumput itu. (won-i1).