Desakan Pembubaran Datang dari Berbagai Arah, Agar Aset-aset Kraton “Bebas Dijarah”
IMNEWS.ID – PERINGATAN 80 tahun Kemerdekaan RI dalam tema ini seri sebelumnya (iMNews.id, 8/8), memang diakui sudah menjadi keniscayaan bagi masyaratakat adat Kraton Mataram Surakarta di berbagai elemen sebagai bagian dari wadah NKRI. Bukti-bukti kesetiaan dan komitmen dukungannya, jauh melebihi pihak-pihak yang selama ini mengaku dirinya “berjasa” dan sebagai “pendiri” NKRI.
Namun, refleksi masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta tentu agak berbeda dengan publik kebanyakan yang tak pernah punya hubungan emosional, kultural dan historikal dengan Mataram Surakarta. Karena, sikap spiritual kebatinan antara keduanya pasti berbeda. Masyarakat adat Mataram Surakarta lebih banyak merefleksi pengorbanannya, karena “rasa keadilan” yang menjadi hak tak kunjung didapat.
Selain merefleksi begitu besarnya pengorbanan Mataram Surakarta dan para tokoh pemimpin kraton terutama Sinuhun PB XII, di bulan Agustus ini masyarakat adat masih punya pengalaman dan cita-cita untuk direfleksi. Yaitu, peristiwa “Dekrit LDA” yang pada 8 Agustus 2025 ini genap berusia setahun. Peristiwa itu patut direfleksi, karena menjadi bagian penting perjalanan Mataram Surakarta di abad 21 ini.
Sebuah badan bernama Lembaga Dewan Adat (LDA) yang dipimpin GKR Wandansari Koes Moertiyah sebagai “Pangarsa” selain kapasitasnya sebagai Pengageng Sasana Wilapa, bisa disebut elemen inovatif. Elemen baru yang memiliki legal standing lengkap, final, kuat dan tuntas dengan eksekusi putusan PK Mahkamah Agung (MA) RI itu (iMNews.id, 9/8), juga merupakan keniscayaan bagi kraton.

Seandainya “UU Keistimewaan” bagi Surakarta Hadiningrat segera “didapat”, tanpa perlu “perjuangan” dan “pengorbanan” seperti Jogja, mungkin Kraton Mataram Surakarta “kurang” memerlukan Lembaga Dewan Adat. Tetapi karena hak konstitusional Surakarta sebagai Daerah Istimewa seperti disebut dalam Pasal 18 UUD 45 maupun setelah diamandemen, tak kunjung diwujudkan, eksistensi LDA adalah wajib dimiliki.
Keberadaan LDA memang jauh dari level Undang-undang Keistimewaaan (UUK), tetapi dengan badan hukum berlegal standing kuat seperti sekarang, setidaknya bisa meredakan upaya “penistaan” terhadap Mataram Surakarta. Penistaan itu yang paling mencolok dan banyak merugikan, berbentuk “penjarahan”, yang salah satu indikatornya dimulai dengan mengkategorikan aset kraton sebagai “peninggalan Belanda”.
Karena, dengan “mendeklarasikan” sebagai “peninggalan Belanda”, mendorong banyak pihak terutama yang punya dan dekat dengan kekuasaan, untuk “menduduki”, “mengambil-alih” dan ekstremnya “menjarah”. Aset-aset yang biasa “dijarah” melalui proses seperti itu, banyak sekali, baik yang “tangible” maupun “itangible” atau karya-karya secara fisik seperti bangunan dan karya-karya non-fisik.
Karya-karya secara fisik itu seperti bangunan, misalnya bekas kandang mahesa pusaka-dalem keturunan Kiai Slamet di Kampung Gurawan, Kecamatan Pasarkliwon, kompleks Benteng Vastenberg dan sebagainya. Yang non-fisik atau “intangible” misalnya ajaran-ajaran yang berada dalam karya sastra seperti adagium “Adigang, Adigung, Adiguna” dari Serat Wulangreh (Sinuhun PB IV) yang diklaim sebagai kearifan Jogjakarta.

Melihat praktik-praktik “penjarahan” aset-aset Mataram Surakarta semacam itu, memang sudah sangat memprihatinkan. Tetapi, memang dimaklumi tindak “penjarahan” dan “barang/karya” yang dijarah, sudah banyak tidak dipahami publik secara luas. Bila dianalisis lebih dalam, bisa saja ada yang tahu memang dibiarkan, atau justru “dibiayai” karena ada agenda kepentingan serius di belakangnya.
Karena upaya “penjarahan” begitu masif, tersistem dan terstruktur, maka eksistensi LDA mutlak diperlukan dan dibutuhkan. Tugasnya untuk meredakan/mengurangi, menghindari dan mengatasi secara hukum positif jika sudah “keterlaluan” atau hanya karena “ambisi” untuk kepentingan “pribadi”. Perlindungan terhadap semua aset yang bergerak dan tidak, yang dikuasai dan dikelola pihak lain, di dalam dan di luar negeri.
Tak hanya aset berupa benda/barang/bangunan dan karya non-fisik, masyarakat adat berbagai elemen di dalamnya-pun juga terlindungi secara hukum positif oleh Lembaga Dewan Adat. Termasuk pula figur Sinuhun PB XIII, walau sudah “ternoda” kasus “human trafficing”. Tak hanya LDA, upaya menjauhkan dari segala kegiatan fisik administratif, adalah bentuk proteksi diri dari potensi jeratan hukum positif.
Walaupun perjuangan “berdarah-darah” sudah dilakukan dan menghasilkan payung proteksi untuk semua aset yang “mau” diproteksi, tetapi faktanya tidak mudah dipahami banyak pihak, apalagi yang sudah selayaknya diproteksi. Karena, sejak peristiwa “Dekrit LDA” 8 Agustus 2024, masih banyak riak dan residu sebagai ekses negatif dari upaya proteksi yang diperjuangkan Gusti Moeng selama ini.

Salah satu ekspresi yang menjadi riak dan residu itu, misalnya beberapa hal yang diungkapkan Gusti Moeng di forum arisan keluarga besar sentana-dalem di Bangsal Kasentanan (Kusuma Wandawa),bulan lalu (iMNews.id, 7/7). Di situ dia menceritakan berbagai peristiwa yang terjadi “secara senyap” di dalam kraton, yang bisa memenuhi unsur tindak pidana atau perbuatan melawan hukum.
“Operasi senyap” itu, tak hanya masalah perspektif hukumnya saja yang bisa dilihat, tetapi akibat dari tindak pidana itu telah merugikan mesyarakat adat dan Dinasti Mataram secara keseluruhan. Karena, hal yang merugikan itu adalah “sesuatu yang raib” dari tempatnya, yang diduga akibat perbuatan oknum yang berlatarbelakang berbagai sebab, di antaranya karena “hilangnya sumber pendapatan”.
Merefleksi setahun “Dekrit LDA”, juga bisa berkait dengan penjelasan Gusti Moeng tentang sisi lain eksistensi lembaga yang dipimpinnya itu. Karena, ketika tahun 2006 ada pihak lain yang mengaku sebagai “Sinuhun PB XIII”, meminta hak atas dana hibah dari pemerintah yang dilewatkan Pemprov Jateng. “Sinuhun” yang ini bisa melakukan itu, karena punya organ “Pengageng Parentah Kraton”.
Ketika dianalisis lebih lanjut, inilah yang diduga menjadi salah satu alasan Sinuhun PB XIII (asli) meminta peran “absolut”. Dan, akibat ada “dua permintaan” itu, Sekda Pemprov Jateng yang waktu itu (Hadi Prabowo), menyarankan agar Gusti Moeng memiliki badan hukum. Karena sejak 2004 sudah ada LDA, maka badan inilah yang diupayakan mendapatkan legal standing yang sah, jelas dan tegas, waktu itu.

Mulai dari pengabaian eksekusi putusan PK MA itu, hingga penolakan atas sifat “memaksanya” yang hingga kini masih terjadi. Bahkan, upaya-upaya untuk pembubaran LDA juga pernah muncul keras pada waktu sebelumnya. Mereka yang menolak dan berupaya membubarkan LDA, bukan sekadar menganggap LDA bukan produk adat, budaya dan sejarah, tetapi menyebarkan opini buruk tentang kehadiran LDA.
Begitu ada putusan PK MA yang megakui dan mengembalikan keabsahan eksistensi LDA, suara-suara itu secara perlahan menghilang. Kini, masih kelihatan aksi-aksi pengabaian dan “sengaja menabrak dengan pura-ura tidak tahu” . Tetapi, legal standing LDA kini membuka kesempatan seluas untuk menyelesaikan segala persoalan hukum, termasuk “penjarahan” aset dan “hak atas rasa keadilan” kraton. (Won Poerwono-habis)