Fenomena “Sisi Lain” Profesi Dalang Wayang Kulit “Gagrag Surakarta” (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:July 30, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Fenomena “Sisi Lain” Profesi Dalang Wayang Kulit “Gagrag Surakarta” (seri 1 – bersambung)
INGIN SUWITA : Ki Amar Pradopo terlihat bersama Ki KRT Suluh Juniarsah selaku "tindhih abdi-dalem", saat berlangsung ritual "ngisis ringgit" weton Anggara Kasih di Pendapa Magangan, bulan Juni lalu. Dalang muda yang juga anak Ki Warseno Slenk (alm) ini, disebut ingin "suwita" di kraton "selamanya". (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ritual “Ngisis Ringgit” di Kraton, Jadi Tempat “Mampir” Para Dalang

IMNEWS.ID – DALAM beberapa upacara adat “ngisis ringgit” digelar Bebadan Kabinet 2004 Kraton Mataram Surakarta, terutama di tahun 2025 ini, ada sosok tokoh muda terlihat berbaur di antara belasan seniman dalang yang sedang bertugas dalam ritual itu. Tokoh muda itu ternyata bernama Amar Pradopo (20), seorang dalang muda yang belakangan mulai banyak menjadi sorotan publik.

Upacara adat “ngisis wayang” yang digelar kraton tiap weton “Anggara Kasih” atau Selasa Kliwon, yang terakhir berlangsung 17 Juni di Pendapa Magangan, sisi belakang atau selatan kawasan kraton. Sekotak wayang pusaka Kiai Menjangan Emas atau Kiai Kidang Emas, dikeluarkan untuk “dijereng” tersampir di atas seutas tali yang dibentang di antara empat “saka guru” (tiang pendapa).

Selain yang disampirkan di atas tambang dengan alas mori putih, juga dijereng di atas lantai beralaskan “eblek” atau peralatan lain. Semua sibuk menjalankan kerja adat “mengangin-anginkan” anak wayang pusaka dari kotak Kiai Kidang Mas itu. Mulai dari menggunakan kuas untuk membersihkan debu dari dua permukaan tiap anak wayang, hingga bagian-bagian lain dari upacara adat ini.

PROSESI MENGUSUNG : Seperti inilah gambaran prosesi mengusung kotak wayang pusaka kraton baru saja dikeluarkan dari “gedhong” Lembisana dan hendak dibawa ke gedhong Sasana Handrawina untuk menjalani ritual “ngisis ringgit” pada weton Anggara Kasih, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Rangkaian kerja adat “ngisis ringgit”, juga termasuk menyeka permukaan kulit wayang dengan tisu bila ada jamur yang mirip getah. Ada 18 kotak wayang pusaka koleksi Kraton Mataram Surakarta yang tersimpan di dalam beberapa ruang khususnya “gedhong” Lembisana, yang tertutup rapat tetapi masih ada celah udara yang bisa masuk. Namun, tersimpan rata-rata setahun di ritu, pasti berisiko.

Salah satu risikonya, adalah kemasukan debu dan berpotensi keluar jamurnya, karena ruangan tempat menyimpannya bisa dalam posisi lembab atau berkadar air tinggi. Mengingat, kraton belum punya tempat menyimpan berbagai benda pusaka sejenis wayang kulit, yang menggunakan teknologi tinggi. Dan khusus benda pusaka itu, berpotensi kotor atau rusak oleh debu dan udara lembab.

Tetapi, “kearifan lokal” yang lahir dari peradaban Budaya Jawa saat para leluhur mulai merawatnya, waktu itu, bia menemukan metode atau cara yang disebut “ngisis ringgit”. Cara merawat anak wayang untuk menghindarkan dari potensi jamur itu, adalah mengeluarkan anak wayang dari kotak yang dikeluarkan dari ruang penyimpanannya, dijereng dan disampirkan agar mendapatkan udara bebas.

DENGAN PANDUAN : Dengan panduan Gusti Moeng, sesampai di ruang “gedhong” Sasana Handrawina, kotak wayang pusaka dibuka dan isinya dikeluarkan. Di tempat itu, wayang disampirkan tali agar mendapat angin segar dalam ritual “ngisis ringgit” pada weton Anggara Kasih, beberapa waktu lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam kerja adat sebagai metode untuk merawat sekitar 300 anak wayang untuk tiap kotaknya seperti dari kotak Kiai Kidang Mas itu, belasan dalang profesional dan para abdi-dalem dari Kabupaten Keparak Mandra Budaya saling berbagi tugas. Di bawah arahan seorang “tindhih abdi-dalem”, semua menjalankan tugas sesuai bidang yang ada, bahkan sering ditunggui Wakil dan Bendahara Pengageng Mandra Budaya.

Kerja adat itu dimulai dengan pisowanan kecil yang dipimpin “tindhih abdi-dalem”, yang dilanjutkan dengan membuka ruang penyimpanan kotak wayang di “gedhong” Lembisana, berkoordinasi dengan abdi-dalem penjaga “gedhong” itu. Sebelum “gedhong” dibuka, dilakukan ritual “caos dhahar” yang juga berfungsi sebagai “izin” untuk mengeluarkan kotak wayang, yang biasanya dipandu langsung oleh Gusti Moeng.

Sesudah dikeluarkan, kotak wayang diusung beberapa abdi-dalem yang dinaungi songsong dan dipandu seorang abdi-dalem yang membawa “anglo caos dhahar”. Karena upacara adat “ngisis ringgit” berlansung di Pendapa Magangan, maka perjalanan mengusung kotak wayang Kiai Kidang Mas, 17 Juni pagi sekitar pukul 10.00 WIB itu, hanya singkat, sekitar 50 meter dari lokasi “gedhong” Lembisana.

RUANG PEMBELAJARAN : Bagi yang serius “suwita” dan membantu kerja adat alias bukan hanya “sekadar mampir”, terlibat dalam ritual “ngisis ringgit” tiap weton Anggara Kasih akan mendapatkan banyak “kawruh”. Karena, ritual itu adalah ruang pembelajaran secara fisik dan spiritual. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sesampai di Pendapa Magangan, kotak diletakkan di lantai untuk segera dibuka yang dipimpin oleh “tindhih abdi-dalem” yang dalam 3 tahun ini dijabat KRT Suluh Juniarsah Adicarita. Saat kotak datang, tambang yang sudah diberi alas mori putih, sudah terpancang di tiga “saka guru” penyangga Pendapa Magangan. Karpet sebagai alas duduk dan “eblek” yang menjadi alas “njereng” anak wayang, sudah disiapkan.

Pada bagian-bagian kerja adat seperti itulah, belasan dalang dan abdi-dalem Keparak Mandra Budaya bekerja berbagi tugas. Kerja adat selanjutnya mengeluarkan setiap “eblek” dari kotak, lalu memindah sejumlah anak wayang ke alas lain. Setelah dikuas atau diseka tisu, anak wayang disampirkan ke tambang dan “eblek” disandarkan di tempat lain untuk mendapat udara dalam suhu yang lebih panas cukup.

Dalam rangkaian kerja adat seperti itulah, dalang muda Amar Pradapa juga terlibat aktif ikut ambil bagian. Sebagai “tenaga pembantu” para abdi-dalem yang menjalani kerja adat, ritual “ngisis ringgit” biasanya menjadi tempat “mampir” sejumlah seniman. Baik kalangan siswa Jurusan Pedalangan SMKN 8, mahasiswa Jurusan Pedalangan ISI Surakarta atau para dalang profesional.

PATUT DITELADANI : Dalang profesional, konsisten pada sikap dan gaya “gagrag” yang dianut serta “humble” seperti Ki KRT Panut Darmoko (alm), adalah generasi dalang kraton terakhir yang patut diteladani para dalang masa kini dan mendatang. Dia bukan tipe dalang yang “haus kasta” dan kekayaan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Hadirnya dalang muda Ki Amar Pradopo di upacara adat “ngisis ringgit” itu, mengingatkan pada peristiwa serupa yang terjadi di tahun 1980-an hingga belasan tahun lalu. Saat itu, dunia seni pedalangan di tanah Air masih didominasi nama besar Ki Anom Suroto, Ki Manteb Soedarsono dan Ki Purbo Asmoro di papan atas, lalu disusul sejumlah tokoh dalang “di bawahnya” seperti Ki Warseno Slenk (alm).

Tetapi, di luar sejumlah nama dalang yang berada di “kelasnya” karena berdasar “laris ditanggap” itu, ada nama seorang dalang abdi-dalem Kraton Mataram Surakarta bernama Ki KRT Panut Darmoko. Tokoh dalang yang usianya sedikit di atas usia Ki Anom Suroto dan Ki Manteb Soedarsono, waktu itu, memang tak selaris para dalang terkenal itu. Tetapi, dalang “sepuh” ini dikenal luas karena “konsisten” dan “humble”.  

Ki KRT Panut Darmoko asal Madiun (Jatim) itu, semasa hidupnya memiliki sikap konsistensi tinggi pada gaya seni pedalangan yang konvensional klasik “gagrag” Surakarta. “Ditanggap” di manapun dan oleh siapapun,  tetap teguh menampilkan gaya pedalangan yang “runtut, urut, genap, “sareh”, berestetika dan beretika (santun), tetapi tetap punya “greget” atau “bernyawa” dan punya “daya tarik”. (Won Poerwono – bersambung/i1)