Putusan MA Bisa Melindungi Secara Hukum, “Kewibawaan” Kraton dan Aset-asetnya
IMNEWS.ID – KETIKA ada komunitas “pelestari budaya Mataram” menggelar seminar tentang “Perjanjian Giyanti” di kagungan-dalem Masjid Agung Surakarta, beberapa tahun lalu, Lembaga Hukum Kraton (Mataram) Surakarta (LHKS) sempat melempar sinyal penting. Inti sinyal itu adalah rambu-rambu hukum yang harus dihormati, ketika sebuah pendapat menyentuh “kewibawaan” lembaga.
KPH Edy Wirabhumi selaku Pimpinan Eksekutif LHKS sebagai peserta seminar, dalam sesi tanya-jawab sempat menunjukkan rambu-rambu hukum tersebut. Karena, penjelasan para tokoh intelektual kampus universitas di Jogja dan Surakarta yang menjadi pembicara itu, tak sekadar mengulas peristiwanya, tetapi menyentuh kewibawaan tokoh pemimpin lembaga Mataram Surakarta.
“Hal-hal yang menyentuh kewibawaan” sangat luas, tetapi ada yang yang sama dengan rumusan pasal fitnah, perbuatan tidak menyenangkan, penyebaran kabar bohong atau kebohongan publik atau yang masuk ada unsur perbuatan melawan hukum. Sinyalemen KPH Edy Wirabhumi itu, mungkin “dianggap” gertakan kosong, karena banyak yang menilai “kraton” sudah “lemah”.
Tapi anggapan itu mungkin ada benarnya, karena “kraton” sedang dalam “masa perjuangan” untuk mendapatkan rasa keadilan melalui payung hukum yang sedang diupayakan. Karena, Kraton mataram Surakarta yang dikelola jajaran Bebadan Kabinet 2004, sudah saatnya dan selayaknya memiliki payung hukum seperti yang berada dalam tubuh Lembaga Dewan Adat.

Lembaga Dewan Adat merupakan himpunan perwakilan trah darah-dalem keturunan Sinuhun PB I-PB XIII yang baru mendapatkan payung hukum melalui eksekusi putusan Mahkamah Agung (MA) RI, 8 Agustus 2024. Inilah kepurusan hukum final yang bisa menegaskan bahwa LDA merupakan lembaga berbadan hukum untuk melindungi Kraton Mataram Surakarta dan semua asetnya.
Aset-aset itu, termasuk lokasi lahan makam para tokoh leluhur Dinasti Mataram yang tersebar di wilayah sangat luas. Karena, wilayah kedaulatan eks “negara” monarki Mataram Surakarta sudah lebih dulu ada selama 200 tahun (1745-1945). Walau sudah berada di dalam NKRI sejak 1945, aset-aset 2/3 pulau Jawa itu, tetap menjadi milik sah Mataram Surakarta.
Jadi, Kraton Mataram Surakarta merupakan kraton pertama dari 50-an lembaga kerajaan/kesultanan/kedatuan dan pelingsir adat yang memiliki sebuah lembaga badan yang mengelola dan melindungi dengan legal standing dalam sistem hukum nasional secara sah. Dalam versi lain, perlindungan kurang-lebih sama yang dimiliki Kraton Jogja karena ada UU Keistimewaan Nomer 13 Tahun 2012.
Sebagai ilustrasi, hal keistimewaan sampai mendapatkan hak perlindungan berupa undang-undang, sebenarnya adalah hak Surakarta dan Yogyakarta sesuai pasal 2 UUD 45. Tetapi, karena “anomali” politik di Tanah Air akibat manuver para politisi saat menjelang NKRI lahir, yang berlanjut hingga berganti-ganti rezim penguasa, Kraton Mataram Surakarta selalu “dihambat” untuk mendapatkan haknya.

Walau dalam bentuk putusan MA yang dieksekusi pada 8 Agustus 2024 bersamaan ritual khol Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, itu sudah merupakan pencapaian tinggi dan besar perjuangan Bebadan Kabinet 2004 yang dipimpin Gusti Moeng. Dengan modal itu, sudah bisa dijadikan “perisai” dan alat untuk mendapatkan rasa keadilan dari “para penjarah”, para “penista” Mataram Surakarta dan semua asetnya.
Aset-aset itu termasuk lahan makam dan kewibawaan para tokoh pemimpin Dinasti Mataram, termasuk keberadaan Astana Pajimatan Tegalarum di Desa Pasarean, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Slawi/Tegal. Begitu pula termasuk seluruh nama tokoh keluarga besar Sinuhun Amangkurat Agung yang berada di kompleks makam itu. Bahkan termasuk elemen masyarakat adat yang didalamnya ada pamong makam merawat makam itu.
Oleh sebab itu, legal standing Lembaga Dewan Adat yang sudah sah berdasar putusan MA itu, kini bisa melindungi
secara hukum “kewibawaan” makam dan ketokohan (nama baik) seluruh keluarga besar Sinuhun Amangkurat Agung yang bersemayam di situ. Bahkan, LDA bisa saja “mengatasi” secara hukum, segala potensi “penistaan” yang selalu muncul saat upacara adat “jamasan” dan “ganti langse” digelar, seperti Senin (21/7) lalu.
Dengan legal standing berbadan hukum yang jelas dan tegas itu pula, Kraton Mataram Surakarta bisa bernegosiasi untuk melakukan kerjasama yang saling menguntungkan dengan pihak lain. Pihak lain yang berbadan hukum seperti jajaran pemerintah RI dari pusat hingga tingkat kelurahan, bisa dilakukan dan berkekuatan hukum. Hal yang tidak mungkin terpikirkan dan bisa dilakukan oleh lembaga Sinuhun PB XIII.

Karena sudah ada kejelasan dan ketegasan legal standing Kraton Mataram Surakarta melalui lembaga Dewan Adat itulah, maka ketika Gusti Moeng menugaskan KMT Drg Fitri Nursapti Arini dan KRA Henri untuk berkomunikasi dengan Pemkab Slawi/Tegal, sangat masuk akal. Dua tokoh atas nama Pakasa Cabang Slawi/Tegal ditugasi melakukan komunikasi, untuk membangun kerjasama lebih baik dalam mengurus Astana Pajimatan tegalarum.
Gusti Moeng, dalam sambutannya di sesi ramah-tamah menutup ritual “jamasan” dan “ganti langse” makam Sinuhun Amangkurat Agung itu, menyinggung soal kejelasan dan penegasan legal standing bagi LDA karena adanya putusan MA. Oleh sebab itu, komunikasi antara Pemkab Slawi/Tegal dan kraton melalui utusan Pakasa cabang setempat yang diutus Pangarsa LDA itu, pasti berkekuatan hukum.
Dengan berkekuatan hukum, kerjasama antara Pemkab Slawi/Tegal dan Kraton Mataram Surakarta tentu lebih mudah pertanggungjawabannya karena sama-sama berbadan hukum. Berbeda ketika kerjasama yang disertai alokasi dana hibah (SPBD-APBN), dilakukan pemerintah segala tingkatan kepada pribadi/oknum seperti yang ada di lembaga Sinuhun PB XIII, ketika BPK mendapati ada kerugian negara, pasti “berbahaya”.
“Berbahaya” bagi oknum pribadi seperti halnya Sinuhun PB XIII, kalau namanya dimanfaatkan untuk menerima alokasi hibah APBD-APBN yang tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak dilindungi badan hukum. Yang bisa menjadi korban atas sanksi hukum dari temuan kerugian negara, pasti oknum pribadi yang bertanda-tangan di situ. Kerjasama alokasi hibah dana APBD-APBN dengan oknum/pribadi, juga sangat melanggar hukum.

Selain bentuk perlindungan hukum terhadap berbagai perjanjian kerjasama yang dilakukan Kraton Mataram Surakarta dengan pihak-pihak lain yang berbadan hukum, legal standing LDA juga bisa untuk menghadapi berbagai potensi “penistaan” yang ditujukan kepada Kraton Mataram Surakarta. Termasuk semua aset-asetnya, kewibawaan, kehormatan dan martabatnya, yang di dalamnya ada berbagai elemen masyarakat adat.
Bila dianalisis lebih jauh, memang sudah saatnya Kraton Mataram Surakarta mulai mendapatkan rasa keadilan yang selama ini “dirampas” begitu saja. Penistaan kalangan apriori terhadap kraton dalam level “tak beradab”, berpotensi manghancurkan kewibawan, harkat dan martabat kraton. Termasuk perilaku “oknum” seberang, yang selama ini “melacurkan diri”, dengan mengorbankan “nama besar” Kraton Mataram Surakarta. (Won Poerwono – habis/i1)