Untuk Weton Anggara Kasih Ageng, Ritual Tetap Digelar di Sasana Handrawina
SURAKARTA, iMNews.id – Untuk kali pertama pada “weton pasaran Anggara Kasih” yang jatuh di bulan Juni 2025, Selasa Kliwon (17/6) hari ini, upacara adat “ngisis ringgit” digelar Kraton Mataram Surakarta di Pendapa Magangan. Sekotak Wayang pusaka koleksi kraton yang memulai ritual di tempat berbeda dari biasanya itu, adalah Kiai Menjangan Emas (Menjanganmas).
Pendapa Magangan adalah tempat yang sebenarnya berfungsi bagi semua abdi-dalem garap (pegawai) yang ingin “magang” bekerja di kraton terutama sebelum 1945. Lokasinya di bagian belakang atau selatan yang dekat Kori Srimanganti Kidul, tetapi sudah lama tak difungsikan sebagaimana mestinya, dan lebih dekat dijangkau dari pintu masuk selatan kawasan inti “kedhaton”.
“Iya mas. Sudah diberi dhawuh, mulai Anggara Kasih (17 Juni-Red) ini, upacara adat ‘ngisis ringgit’ menggunakan Pendapa Magangan. Tetapi hanya untuk Anggara Kasih alit. Untuk Anggara Kasih ageng, tetap menggunakan kagungan-dalem Sasana Handrawina. Di sini menjadi suasana baru dan lebih banyak mendapat udara langsung,” ujar Ki KRT Suluh Juniarsah MSn.
Dalang yang juga dosen jurusan pedalangan di ISI Surakarta itu saat dihampiri iMNews.id sedang bertugas sebagai “tindhih” abdi-dalem yang menjalankan upacara adat “ngisis ringgit”. Ada belasan abdi-dalem yang bertugas siang tadi, termasuk dalang Ki KRT Gatot Purnomo yang ditunggui dua pejabat Kantor Mandra Budaya, KPP Purwo Taruwinoto dan KPP Wijoyo Adiningrat.

Karena baru pertama menggunakan Pendapa Magangan untuk menggelar ritual “ngisis ringgit”, maka saat itu Gusti Moeng (GKR wandansari Koes Moertiyah) selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA dan KPH Edy Wirabhumi (Pimpinan Eksekutif LHKS dan Pangarsa Pakasa Punjer) juga sempat menunggui. Untuk keperluan itu, beberapa abdi-dalem harus menyiapkan ruang pendapa.
Sebagian ruang Pendapa Magangan harus dibersihkan dahulu sebelum digunakan untuk menggelar seisi kotak Kiai Menjangan Emas, juga menyampirkan sejumlah anak wayang. Karena sudah menjadi tradisi “ngisis ringgit”, anak wayang yang diharapkan cepat mendapatkan udara segar harus disampirkan di tambang/tali yang ditambatkan di antara empat saka guru pendapa.
Pendapa Magangan yang mulai Anggara Kasih atau Selasa Kliwon (17/6) ini difungsikan sebagai tempat upacara adat “ngisis ringgit” Kiai Menjangan Emas, akan “menghidupkan” suasana di bagian belakang kompleks kraton. Karena, pendapa ini terlalu lama tak difungsikan sebagaimana mestinya, malah dibiarkan tak sedap di pandang mata, bahkan dibiarkan semakin rusak.
Seperti diketahui, sejak ada peristiwa “insiden mirip operasi militer” tahun 2017, kraton ditutup secara sepihak oleh Sinuhun PB XII yang didukung 2 ribu Brimob dan 400 tentara. Tempat itu yang habis direnovasi dan sudah difungsikan untuk kegiatan sanggar sebelum 2017, malah dijadikan gudang untuk menyimpan genting sirab bekas dan berbagai material bekas.

Mulai Selasa Kliwon (17/6), Gusti Moeng selaku pimpinan Bebadan Kabinet 2004 kembali memfungsikan Pendapa Magangan untuk ritual “ngisis ringgit”. Karena sebelum 2017, tempat itu juga sudah difungsikan untuk pendataan ulang semua koleksi wayang yang ada di 18 kotak wayang pusaka kraton. Tetapi, baru mulai siang tadi difungsikan kembali setelah 17 Desember 2022.
Sejak ada “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” pada 17 Desember 2022 itu, Pendapa Magangan hanya disentuh saat ada gerakan kerja bhakti “resik-resik”. Tetapi perkantoran di lingkungannya, langsung diaktifkan kembali mulai 1 Janaurai 2023. Karena, di situ ada kantor Pengageng Karti Praja, Pengageng Pasiten, Pengageng Mandra Budaya dan gudang Lembisana.
Karena ritual “Ngisis Ringgit” kali pertama di Pendapa Magangan harus didahului dengan “resik-resik” lantai ruang tengah yang digunakan untuk mengangin-anginkan, maka siang tadi ritual baru bisa dimulai pukul 10.00 WIB lewat. Tetapi, karena sekotak anak wayang Kiai Menjangan Emas ukurannya di bawah ukuran normal dan lebih sedikit, waktu “ngisis” lebih singkat.
“Betul. Ukuran anak wayang dari kotak Kiai Menjangan Emas ini memang di bawah standar ukuran normal rata-rata wayang kulit. Ya, bisa dibilang lebih kecil. Jumlahnya juga tidak sebanyak kotak-kotak wayang pusaka yang lain. Wayang ini ‘yasan’ (buatan-Red) pada masa Sinuhun PB X, walau tertulis tahun 1837,” ujar Ki KRT Suluh Juniarsah sambil menunjuk tulisannya.

Dalam gelar ritual “ngisis ringgit” siang tadi, belasan abdi-dalem yang bertugas dipimpin Ki KRT Suluh Juniarsah melakukan pembenahan banyak hal. Termasuk mengganti benang engsel tangan beberapa anak wayang yang putus, memeriksa gapit anak-wayang dan mengganti “eblek” atau sekat anyaman bambu yang terbungkus mori putih. Bahkan, kotaknyapun perlu dibersihkan.
Gusti Moeng bahkan sempat meminta abdi-dalem untuk mengganti alas dalam kotak dengan karpet tipis, agar semua sisi kotak aman untuk kulit anak wayang. Sekat “eblek”nyapun perlu ada yang diganti, karena sudah tampak berubah warna dan kumal kain pelapisnya. Seperti biasa, setelah diangin-anginkan, kotak dikembalikan dengan ritual ke “Bangsal Lembisana”.

Menjelang pukul 12.00 WIB, upacara adat “ngisis ringgit” tinggal mengusung kotak kembali ke Bangsal Lembisana. Gusti Moeng-pun segera bergegas menuju Pendapa Sasana Sewaka. Karena, tiap weton Anggara Kasih atau Selasa Kliwon, kraton punya tradisi menggelar ritual “ngisis ringgit” dan “gladen” tari Bedhaya Ketawang secara bergantian, tetapi berbeda tempat.
latihan tari “Bedhaya Ketawang” segera dimulai, ditandai dengan “bawa” untuk memasuki gendhing iringawan tari. Begitu gamelan Kiai Mangunharja dan Kiai Harjabinangun ditabuh, dua set penari yang sudah siap di tengah pendapa langsung memulai gerak “menyembah”. Selain para penari Sanggar Pawiyatan Beksa yang dipimpin Gusti Moeng, para penari “seberang” juga bergabung.

Dua set penari Bedhaya Ketawang, masih sering bergabung mengikuti latihan atau gladen di tiap weton Anggara Kasih. Gusti Moeng selalui menunggui latihan ini, sekaligus mengontrol gerakan dan hal-hal di luar teknis latihan. Sejak Gusti Moeng kembali “masuk”, tiap gladen Bedhaya Ketawang menjadi dua set atau 18 orang, karena penari produk 2017-2022 ikut gabung.
Siang tadi, tampak GKR Ayu Koes Indriyah juga tampak ikut menunggui “gladen”. Bahkan ada kalangan siswa dan mahasiswa secara terbatas, juga mendapat kesempatan untuk menyaksikan latihan dari teras Paningrat. Tetapi untuk masyarakat umum atau wisatawan yang masuk melalui museum, bisa menikmati “gladen” dengan duduk lesehan di halaman dari timur pendapa. (won-i1)