SURAKARTA, iMNews.id – Bebadan Kabinet 2004 Kraton Mataram Surakarta menerima rombongan tamu kehormatan lebih 50 orang warga keturunan Jawa dari Republik Suriname, Selasa (10/6) siang tadi. Para tamu yang berkeliling di berbagai wilayah di Jateng dan Jatim dan menyempatkan datang ke kraton, diterima jajaran Bebadan Kabinet 2004 di gedhong Sasana Handrawina.
Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) didampingi Gusti Ayu (GKR Ayu Koes Indriyah), BRAy Arum Kusumopradapa dan para pejabat Bebadan semula tak canggung mempersilakan para tamunya, langsung memasuki Sasana Handrawina. Tetapi, belakangan terdengar agak aneh ketika kalimat untuk mempersilakan mereka dirangkai dengan beberapa kosa kata Bahasa Jawa.
“Wilujeng siang. Selamat siang. Mangga…, mangga….pinarak. Silakan masuk. Langsung mlebu wae…. Mangga langsung pinarak omah gedhe…,” ucap Gusti Moeng, KP Budayaningrat dan beberapa sentana-dalem dan sentana-garap yang bergantian menyambut kedatangan para tamu setiba di depan pintu Sasana Handrawina. Yang dipersilakanpun langsung menuju tempat duduk.
Gusti Moeng, Gusti Ayu dan BRAj Arum bergantian menyalami rombongan tamu yang “mbanyu-mili” menuju tempat duduk yang sudah disediakan di Sasana Handrawina. dari kesibukan itu, sempat terdengar pertanyaan : “Yen diaturi mlebu Sasana Handrawina ki istilahe sing tepat apa yen nganggo Bahasa Jawa ngoko”. Pertanyaan itu langsung disahut dengan jawaban “omah gedhe”.

Suasana menerima kedatangan tamu yang diwarnai kebingungan memilih bahasa untuk menyambut dan berkomunikasi dengan warga negara Republik Suriname itu, bisa jadi membuat geli kalangan tuan rumah sendiri. Karena, mereka ingin menyambut tamu kehormatan itu dengan ramah dan santun seperti yang biasa dilakukan ketika menyambut tamu seetnik atau senegara.
Bila tamu yang hadir di gedhong Sasana Handrawina tamu seetnik, sambutan pasti diberikan dengan media bahasa Jawa “krama inggil”. Begitu juga kepada para tamu yang diterima di ruang khusus untuk menerima tamu kehormatan itu, bila dari kalangan senegara misalnya para pejabat atau dari kalangan kraton lain atau masyarakat adat, semua lancar dengan Bahasa Indonesia.

Tetapi, kebiasaan tuan rumah ketika menerima tamu walau dari kalangan pejabat negara dan dari luar etnik Jawa, Bahasa Jawa “krama inggil” tak pernah lupa diucapkan. Kata-kata “mangga, matur nuwun” dan “sami wilujeng”, adalah beberapa kosa kata yang sulit ditahan lidah, bahkan bagi warga di luar kraton, bila sedang menerima tamu atau berjumpa orang yang dihormati.
Karena kebiasaan itulah, maka muncul pertanyaan mengenai kata lain “Sasana Handrawina” yang diterjemahkan dengan Bahasa jawa “krama ngoko” dengan kata “omah gedhe”. Seperti diketahui, Sasana Handrawina adalah bagian dari bangunan kraton yang semuanya menggunakan kosa kata “kedhaton” dalam Bahasa Jawa, yang jelas tidak pernah dimiliki para tamu dari Suriname itu.

Dari semua ucapan tuan rumah yang terdengar di dalam Sasana Handrawina, siang tadi, terkesan tidak tega menyambut para tamu kehormatan itu dengan Bahasa Jawa “krama ngoko”. Karena, dalam konteks bahasa percakapan keseharian dalam pergaulan masyarakat etnik Jawa, “krama ngoko” merupakan bahasa Jawa yang kasar dan hanya digunakan di antara percakapan pribadi “terbatas”.
Namun, semua hambatan dalam percakapan dan kebingungan memilih bahasa yang tepat untuk bercakap-cakap dan menyambut tamu siang tadi, bisa terjawab saat KP Budayaningrat tampil. Dwija dari Sanggar Pasinaon Pambiwara itu sempat memberi penjelasan panjang-lebar terutama mengenai bahasa pengantar percakapan, saat merepresentasikan ragam makanan dan sesaji.
“Aku isa maklum, sedulur saka Suriname siang awan iki pada sowan neng kraton, wis kelangan Basa Jawa akeh banget. Merga, wiwit para leluhur digawa menyang Suriname, nganti saiki wis akeh perubahan lan perkembangane Bahasa Jawa. Apa maneh, neng Indonesia, kanggo komunikasi resmi nggunakne Bahasa Indonesia. Basa Jawa mung kanggo neng lingkungan karo keluarga”.
“Dadi, pancen akeh tembung-tembung, istilah utawa makna Basa Jawa sing kanggo neng kene, ora dingerteni sedulur-sedulur Jawa neng Suriname. Nanging isih eneng dalan kanggo nyambung komunikasi antara wong Jawa sing sumebar sak-indenging jagad. Yaiku Kongres Basa Jawa yang wisa bola-bali dienengke neng nJawa. Muga-muga iki bisa dadi saranane,” ujar KP Budayaningrat.

Seperti yang juga disinggung Gusti Moeng saat memberi sambutan tunggal maupun merepresentasikan macam ragam sesaji yang selalu dibuat di kraton, bahwa Kongres Basa Jawa bisa menjadi sarana meningkatkan pengetahuan perkembangan Bahasa Jawa. Termasuk bagi keturunan Jawa di Suriname, bisa mengikuti perkembangan itu sebagai sarana media komunikasi dengan “sesamanya”.
Beberapa anggota rombongan yang sempat berbincang dengan iMNews.id mengakui, warga keturunan Jawa adalah bagian dari “bangsa” yang besar dan banyak jumlahnya. Tetapi, mereka memaklumi kalau di negaranya etnik Jawa tidak disebut “bangsa”, dan ada bahasa Perancis, Belanda dan Creole selain Bahasa Jawa yang digunakan di negara yang ada di kawasan New Caledonia itu.
Mewakili rombongan dari Suriname, Djakin Asmowidjoyo dalam sambutan singkatnya berturut bahwa rombongannya ini sudah enam kali “menengok” kampung halaman leluhurnya di beberapa daerah di Jatim dan Jateng. Sebenarnya Indra selaku Ketua Diaspora Suriname yang tampil memberi sambutan, tetapi karena sedang sakit tidak bisa berangkat dan dirinya ditunjuk menggantikan.
Djakin mengatakan, perjalanan “tilik desa” yang dilakukan beberapa kali rombongannya ke Jawa dalam dua dekade ini, rasanya seperti pulang. “Rasane kaya mulih,” selorohnya. Menurutnya, perjalanan untuk menyambung silaturahmi ini harus dilanjutkan sampai kapanpun. Kalangan anak-cucunya selalu dipesan, bila sudah dewasa untuk memiliki semangat “tilik desa” seperti itu.

Dalam presentasinya, baik Gusti Moeng maupun KP Budayaningrat selalu menekankan bahwa banyak masyarakat Jawa yang dijadikan tenaga “kasar” di perkebunan milik Belanda yang ada di berbagai negara termasuk Suriname, adalah generasi masyarakat yang ada di pedesaan. Oleh sebab itu, tidak aneh kalau warga keturunan Jawa di Suriname tak banyak mengenal kraton.
Di depan para tamunya dijelaskan, bahwa Kraton Mataram sejak dari Kutha Gedhe hingga Surakarta, memiliki konsep-konsep pengetahuan, termasuk kuliner dan aneka jenis makanan untuk berbagai keperluan. Termasuk juga, resep “racikan jampi Jawi” asli yang diwariskan turun-temurun di kraton, yang dulu selalu disebarkan untuk kepentingan para kawula di pedesaan. (won-i1)