Tanggapi Perkembangan Terakhir, Lawyer Gelar Konferensi Pers, Sinyal Penting Dilempar (seri 4 – habis)

  • Post author:
  • Post published:May 24, 2025
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Tanggapi Perkembangan Terakhir, Lawyer Gelar Konferensi Pers, Sinyal Penting Dilempar (seri 4 – habis)
EKSEKUSI PUTUSAN : Panitera PN Surakarta, Dr Asep Dedi Suwasta SH MH sempat menjelaskan tugasnya di depan semua yang hadir dalam pisowanan khol ke-391 wafat Sultan Agung, bersamaan eksekusi putusan Mahkamah Agung yang ia pimpin, 8 Agustus 2024. Pendekatan hukum positif merupakan jalan terbaik walau tetap ada "risikonya". (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Putusan Mahkamah Agung Punya Kepastian Hukum, Tetapi tak Bisa Merubah Sifat Dasar Manusianya

IMNEWS.ID – KALAU Sigit Nugroho Sudibyanto SH MH selaku “lawyer” Lembaga Dewan Adat dan Lembaga Hukum Kraton (Mataram) Surakarta menyebut “masih ada riak-riak” sisa eksekusi putusan MA di dalam kraton (iMNews.id, 19/5), itu jelas melukiskan bahwa cara penyelesaian friksi dan disharmoni yang sudah berlangsung selama lebih 20 tahun itu tetap ada konsekuensinya.

Sisa-sisa atau “riak-riak” berupa ekspresi menolak/melawan itu, hanya efek samping atau ekses negatif yang kecil dibanding penggunaan cara-cara lain. Penggunaan pendekatan hukum positif mulai dari proses di Pengadilan Negeri (PN) Surakarta hingga banding (PT Semarang) hingga kasasi dan PK di Mahkamah Agung, jauh lebih baik dan lebih banyak nilai positifnya.

Penggunaan cara-cara lama yaitu pendekatan hukum adat atau tak ditangani sama sekali alias dibiarkan begitu saja, jelas tak mungkin bisa menyelesaikan masalah. Tetapi sebaliknya, akan semakin berlarut-larut, kerusakan/kesalahan makin banyak terjadi, kerugian yang ditimbulkan akan makin besar dan kraton bisa benar-benar mengalami kehancuran, bahkan “sirna”.

TAK MUNGKIN BISA : Kelompok “terhukum” penyalahgunaan SK Kemendagri yang malah menuduh Gusti Moeng mencari “keuntungan pribadi” di kraton, sangat tidak mungkin bisa dan tidak ikhlas mengadakan kegiatan dan membiayai khol wafat Sultan Agung dengan uang dari kantong pribadinya. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Walau prosesnya bisa pelan-pelan ketika hanya digunakan pendekatan hukum adat atau tak ditangani sama sekali, tetapi akhirnya kehancuran dan peristiwa lenyapnya peradaban “Mataram Surakarta” bisa benar-benar terjadi. Karena, ada kekuatan “kekuasaan” dan pihak-pihak yang sejak lama menginginkan dan mengupayakan Kraton Mataram Surakarta “sirna” dari muka bumi.

Kekuatan “kekuasaan” dan pihak-pihak yang “dislike” terhadap kraton itu bukannya diam menunggu, tetapi proaktif membantu upaya “melenyapkan” kraton dengan segala cara, mirip semboyan para penganut “Machiavelli” atau “Machiavellian”. Oleh sebab itu, pendekatan hukum positif paling tepat dilakukan, karena punya kepastian hukum, walau tetap ada konsekuensi di atas.

Pendekataan hukum positif yang akhirnya dilakukan, menurut KPH Edy Wirabhumi (Pimpinan Eksekutif LHKS) di berbagai momen konpverensi pers disebut karena “terpaksa”. Pendekatan hukum adat yang dilakukan dalam 20 tahun sejak disharmoni dan friksi mulai terjadi di tahun 2004, ternyata tak bisa menyelesaikan masalah, tetapi malah melahirkan “kesalahan” baru.

GELAR PARADE : Kelompok “terhukum” penyalahgunaan SK Kemendagri yang malah menuduh Gusti Moeng mencari “keuntungan pribadi” di kraton, sangat tidak mungkin bisa dan tidak ikhlas mengadakan kegiatan dan membiayai HUT Pakasa dengan kirab parade melibatkan ribuan orang seperti yang digelar Bebadan Kabinet 2024. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Di dalam konferensi pers KPH Edy Wirabhumi juga menyebut, bahwa friksi dan disharmoni yang tercipta sejak alih suksesi 2004 dan “puncak kerusuhan” terjadi di 15 April 2017, langsung atau tidak telah banyak “menelan korban jiwa”. Ada sejumlah nama tokoh penting yang gugur satu-persatu dalam 20 tahun itu, diduga keras akibat “perbuatan jahat” para “Machiavellian”.

Tetapi, para tokoh Bebadan Kabinet 2004 dan jajarannya yang kini diperkuat eksistensi Lembaga Dewan Adat (LDA), tampak berjiwa masih punya besar. Karena, kemenangan yang diperoleh dengan pendekatan hukum positif, diakui sebagai kemenangan bersama yang diharapkan bisa mengembalikan kerukunan bersama, bukan kemenangan yang congkak yang mencaci pihak yang kalah.

Jiwa besar seperti itu memang langka ditemukan dalam sejarah perjalanan Dinasti Mataram, atau zaman-zaman para leluhurnya jauh ke belakang. Tetapi faktanya, keluhuran budi itu masih dimiliki para tokoh Bebadan Kabinet 2004 bersama seluruh elemennya. Padahal, pengorbanan dan perjuangan selama 20 tahun itu, secara material dan nonmaterial sudah tak terhitung.

PEDULI MERENOVASI : Kelompok “terhukum” penyalahgunaan SK Kemendagri yang malah menuduh Gusti Moeng mencari “keuntungan pribadi” di kraton, sangat tidak mungkin bisa membiayai renovasi bangunan kraton yang rusak, karena tidak peduli dan bertahan di kraton hanya untuk mencari keuntungan pribadi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) dalam berbagai kesempatan sejak sebelum 2017, selama “perjuangan berat” hingga bisa bekerja penuh sampai kini, pernah berucap soal “pengorbanannya”. Selain “nyawa” sejumlah saudara kandung, para tokoh “Bebadan” dan beberapa sentana yang “berguguran”, sejumlah perhiasan aset pribadinya sering keluar-masuk “gaden”.

Aset pribadi yang sering “keluar-masuk” pegadaian untuk menutup aneka macam kebutuhan rumah-tangga lembaga Kraton Mataram Surakarta itu, bahkan sempat disinggung KPH Edy Wirabhumi saat bersama “lawyernya” menggelar konferensi pers di sebuah rumah makan, 19 Mei 2025 (iMNews.id, 19/5). Sebuah pengorbanan pribadi keluarga yang tak mungkin dilakukan pihak lain.

Namun, “pengorbanan” pribadi untuk lembaga seperti ini tak mungkin bisa dilakukan dan tak mungkin mudah dipercaya pihak lain. Karena, pihak lain di seberang sudah sangat apriori terhadap jiwa besar Gusti Moeng dan para pengikutnya. Padahal, selain tabu untuk diungkap ke publik, semua yang telah dikorbankan karena sudah dilandasi ketulusan dan keikhlasan.

CONTOH NYATA : Ambrolnya pagar sekaligus dinding sebuah ruang di kompleks Sasana Putra yang menjadi kediaman dan pusat kegiatan kelompok “terhukum” penyalahgunaan SK Kemendagri sejak sekitar tahun 2018 hingga kini, menjadi contoh nyata tidak adanya kepedulian, keikhlasan apalagi pengorbanan kelompok itu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sifat dasar manusia seperti sikap yang sudah sangat apriori itu, jelas melukiskan bagaimana sifat asli pihak seberang yang selama ini sulit menerima, bahkan melawan putusan hukum tertinggi negara yang belum lama dieksekusi. Sifat asli yang buruk dan jahat seperti itu, sepertinya tak akan bisa berubah walau sudah diberi terapi dengan berbagai bentuk pendekatan.

Selain “tidak patuh hukum”, sikap apriori yang tak akan pernah berubah itu juga karena sifat iri pada “keberhasilan” Gusti Moeng dan keluarga membangun usaha di luar kraton. Keberhasilan “menghimpun dana” (dari bisnis-Red) di luar kraton untuk membiayai segala kebutuhan kraton itu, justru dituding sering “memanfaatkan” pendapatan kraton untuk kepentingan pribadi.

Akhirnya, dengan melihat fakta-fakta yang muncul sampai perkembangan terakhir di kraton belakangan ini, sementara bisa disimpulkan. Bahwa sekecil apapun risiko dari cara pendekatan hukum sebagai pilihan paling tepat, rupanya sulit untuk bisa mempersatukan kembali secara utuh keluarga besar masyarakat adat kraton, apalagi selalu ada intervensi dari “kekuasaan”. (Won Poerwono – habis/i1)