Gelar Wayang Ruwatan, Tahapan Tatacara Ritual Sebelum Tebang Pohon
IMNEWS.ID – KARENA yang baru muncul penuturan Sunarto (56) selaku juru-kunci penerus abdi-dalem Kraton Mataram Surakarta sebagai “penjaga” aset hutan cagar alam “Alas Danalaya”, maka untuk sementara penuturannya menjadi satu-satunya sumber nonliterasi. Karena, informasi tertulis sudah banyak ditemui di internet, termasuk karya ilmiah di beberapa perguruan tinggi.
Sunarto sendiri, adalah generasi penerus orangtuanya dan juga beberapa nama leluhur juru-kunci Alas Danalaya yang ada di Desa Watusomo, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri itu. Kisah tentang hutan lindung yang menjadi objek wisata cagar alam itu, banyak didapat dari ayahnya berdasar penuturan kakek dan para leluhur abdi-dalem juru-kunci di situ.
Maka tidak aneh, Sunarto juga mendapat informasi mengenai siapa tokoh Ki Ageng Danalaya yang dikenal menjadi nama hutan pohon jati tersebut. Kisah itu bahkan dilengkapi dengan pesan penting agar benar-benar menjaga hutan itu, dari siapapun yang ingin mengambil apapun dari hutan, kecuali dari Kraton Mataram Surakarta dengan segala ritual dan tatacara adatnya.

Kalau kraton yang membutuhkan kayu dan mengambil dari hutan itu, yang pertama adalah karena wilayah cagar alam yang tinggal 9,2 hektare itu adalah aset kraton. Kedua, kraton sebagai sumber etika dan estetika selalu mengedepankan tatacara dalam beberapa tahapan ritual yang dilakukan setiap membutuhkan kayu jati dari Danalaya, yaitu donga wilujengan lengkap.
Seperti yang dilakukan saat mengambil kayu untuk membangun kembali Pendapa Sasana Sewaka beberapa waktu setelah habis terbakar di tahun 1985, tatacara adat lengkap dalam ritual dilakukan sebelum tebang, saat tebang, menjelang diangkut dan sesampai di kraton. Hal serupa juga dilakukan saat hendak membangun kembali “gedhong” Sasana Handrawina di tahun 1997.
Saat itu, iMNews.id saat masih di harian Suara Merdeka, ikut mengabadikan proses pengambilan batang pohon jati di dekat pendapa “Cepuri” Danalaya, yang lokasinya di tengah hutan. Tatacara itu dimulai dengan “donga” dalam “kenduri wilujengan”, lalu dilanjutkan dengan pentas wayang “ruwatan” oleh dalang “sepuh” asal Wonogiri, Ki MNg Redi Suta, lakonnya “Murwakala”.

Ki MNg Redi Suta adalah abdi-dalem dalang yang sering diundang untuk menggelar pentas “ruwatan” apa saja, termasuk saat kraton hendak mengambil kayu jati dari hutan Danalaya. Sebagai ilustrasi, Kabupaten Wonigiri memang punya banyak seniman dalang yang punya spesialisasi pentas wayang “ruwatan”, di antaranya Ki Warsino Gunosukasno dan Ki Suloto Gunosukasno.
Setelah Ki Warsino Gunosukasno dan adiknya itu, ada penerus dalang “ruwat” terkenal di Wonogiri, yaitu Ki Suyati. Namun, kini sudah tidak terdengar kabarnya. Salah seorang anak Ki Warsino, yaitu Ki Jumadi yang juga abdi-dalem kraton, juga berprofesi sebagai dalang tetapi kini juga tidak jelas kabarnya, apakah melanjutkan profesi “spesialis” seperti ayahnya?
Melihat tatacara dan tahapan ritualnya, proses untuk mengambil sampai batang kayu jati tiba di kraton termasuk panjang waktunya, walaupun sudah memasuki era modern mulai menjelang tahun 1990-an. Tetapi ketika dianalisis, proses yang panjang itu ada maknanya baik dari sudut teknis proses pengurangan kadar air kayu maupun sudut nonteknis yang religi spiritualnya.

Dari sisi teknis, pengurangan kadar air sampai benar-benar dianggap kering atau tinggal 0,0 sekian persen, untuk memenuhi syarat kualitas kayu agar bisa tahan lama. Tetapi, faktor kadar air adalah bagian lain dari faktor utama sebagai syarat kayu jati berkualitas, yaitu usia pohonnya yang rata-rata di atas 100 tahun sesuai sifat dan karakter kayu jati yang awet.
Berdasar fakta-fakta dan analisis itu, maka rata-rata kayu jati yang menjadi materi dominan dan baku hampir di semua konstruksi bangunan di kawasan Kraton Mataram Surakarta, adalah jenis kayu jati dari pohon yang memenuhi kualitas di atas. Yaitu usianya di atas 100 tahun dan proses “pengawetan” dan pengeringannya dilakukan sesuai standar natural dan adat.
Tetapi, untuk mendapatkan jenis kayu jati yang berkualitas seperti di atas, kini sudah sulit meskipun soal “pengawetan” dan pengeringan bisa dilakukan dengan teknologi modern, misalnya direndam dengan bahan kimia dan dioven. Tetapi, karena pohon yang usianya lebih 100 tahun sudah “habis” akibat “illegal logging”, salah satu syarat awet itu sulit terpenuhi.

Sebagai ilustrasi, usia pohon jati yang kini tersedia di pasaran rata-rata kurang dari 100 tahun, bahkan di bawah 50 tahun. Kayu jati di bawah usia itu, jelas lingkaran seratnya masih sedikit dan rapat serta garis tengah batang pohon rata-rata di bawah 100 cm. Walau direndam air bercampur bahan kimia dan dioven, tetapi tidak padat dan tak tahan hama rayap.
Batang pohon kayu jati yang pori-porinya tidak padat, selain rentan dimakan rayap juga tak tahan cuaca dan pergantiannya antara dingin dan panas yang begitu drastis perubahannya, misalnya. Bangunan Bangsal Pradangga di depan Pendapa Sasana Wilapa misalnya, kini sudah ditahan bambu “gordingnya” yang lapuk dan sebagian besar genting “sirabnya” lapuk dan keropos.
Padahal, tiga bangunan bangsal itu baru direnovasi bersamaan dengan terjadinya peristiwa “insiden mirip operasi militer tahun 2017”. Genting sirab dan gording yang patah karena keropos, waktu itu, banyak diganti baru, tetapi materinya kayu jati yang rata-rata usainya kurang 50 tahun. Materi konstruksi lama 3 bangunan itu, malah banyak yang masih utuh. (Won Poerwono – habis/i1)