Mereview Musibah Kebakaran Kraton di Tahun 1985, “Kayu Jati Versus Listrik 220 VA”
IMNEWS.ID – KETIKA sebagian bangunan yang masuk kawasan inti “kedhaton” terbakar akibat “hubungan arus-pendek listrik” alias konslet di tahun 1985, musibah itu jelas menghanguskan material kayu jati yang menjadi komponen utama bangunan itu. “Gedhong” Sasana Handrawina habis, tetapi Pendapa Sasana Sewaka, Bangsal Parasedya hingga ruang pusaka hanya sebagian.
Material kayu jati yang mendominasi komponen sejumlah bangunan penting terutama beberapa tempat di atas, adalah cirikhas gaya arsitektur asli bangunan Jawa yang secara total diwujudkan dari pengetahuan tentang bangunan yang ada dalam Budaya Jawa. Pengetahuan atau “kawruh Kalang” atau fengsui Jawa itu, mempertimbangkan wujud fisik dan nonfisik atau kapujanggan.
Sedangkan bangunan di kawasan inti atau kawasan sakral kedhaton yang terbakar dari 25% hingga 100%, hampir seluruhnya bermaterial kayu jati “super”. Dan jenis dan mutu kayu jati yang menjadi material utama berbagai bangunan di kraton khususnya di kawasan inti dan sakral kedhaton, jelas diambil dari hutan “sinengker” (lindung) yang ada di Danalaya, Wonogiri.

Musibah kebakaran yang menghanguskan beberapa bangunan penting, termasuk tempat upacara tingalan jumenengan tahun 1985 itu, adalah peristiwa kebakaran pertama sejak kraton mulai menggunakan energi listrik 220 V. Sedangkan sejak teknologi listrik dikenal “negara” (monarki) Mataram Surakarta, hampir semua bangunan infrastruktur Ibu Kota memakai tegangan 110 VA.
Ilustrasi yang “mereview” kisah kebakaran di tahun 1985, secara tidak langsung juga menyingkap penggunaan energi dan teknologi listrik oleh Kraton Mataram Surakarta, karena hasil revolusi industri di Eropa itu juga melanda Nusantara. Di Ibu Kota “negara” monarki terbesar itu, hampir semua bangunan infrastrukturnya menggunakan energi listrik 110 VA itu.
Begitu geososial-politik dunia berubah, Kraton Mataram Surakarta menyatakan bergabung ke dalam NKRI. Tetapi sebagai eks lembaga “negara” (1745-1945), kraton masih memiliki perusahaan listrik yang bisa mencukupi berbagai keperluan di semua bangunan bekas infrastruktur Ibu Kota-nya. Sejak listrik dikenal, instalasinya dipadukan secara baik dengan “objeknya”.

Karena sifat energi listrik juga menjadi sumber energi api, maka instalasi listrik di semua bangunan yang pernah dilihat iMNews.id (sejak di Harian Suara Merdeka – 1982/Red) di lingkungan kraton, tampak diproteksi dengan pipa besi. Baik untuk instalasi kabel yang terhubung ke berbagai arah di dalam ruang, maupun yang terhubung antar bangunan di kawasan kraton.
Teknologi listrik dan pemasangan jaringan ke bangunan serta pemasangan instalasi kabel di dalam bangunan yang dikerjakan para ahli dari Belanda saat energi listrik (110 VA) dikenal kraton jauh sebelum 1945, tentu tidak “sembarangan”. Faktor “safety” tentu menjadi tuntutan utama selain gungsi, sehingga pipa-pipa pembungkus kabel itu rapi dan aman puluhan tahun.
Ketika dianalisis lebih dalam, di awal kemerdekaan pemerintah NKRI banyak “mewarisi” jaringan energi dan teknologi listrik bahkan pusat pembangkitnya milik Kraton Mataram Surakarta, yang dibangun para insunyur Belanda dan dibiayai kraton. Pemanfaatan jaringan energi dan teknologi itu, berjalan sampai NKRI punya PLN yang mampu mengadopsi tegangan 220 VA.

Gambaran ilustrasi di atas, untuk menjelaskan bagaimana Kraton Mataram Surakarta yang aset-aset bangunannya sebagian besar didominasi material kayu jati “super”, tetapi juga bisa mengadopsi datangnya teknologi energi listrik (110 VA). Sebuah inovasi baru datang dan digabungkan dengan baik dan “safety”, padahal karakter material keduanya “bertolak-belakang”.
Tetapi, nilai-nilai kearifan dan “kapujanggan” dipastikan menjadi pertimbangan Raja-raja Mataram utamanya di Surakarta, ketika mengadopsi inovasi teknologi modern berupa energi listrik, waktu itu. Dan kepatuhan terhadap nilai “kapujanggan” dan kearifannya itu, telah membuktikan kraton nyaris tak pernah mendapat musibah kebakaran akibat konslet sebelum 1985.
“Dugaan konslet” arus listrik yang menjadi penyebab kebakaran kraton di tahun 1985, karena instalasi kabel di sejumlah bangunan penting di kraton, berganti dari tegangan 110 VA menjadi 220 VA. Misalnya Pendapa Sasana Sewaka, yang waktu itu diduga sebagai titik lokasi terjadinya konslet, tetapi apinya merambat ke beberapa bangunan pendukung di sekitarnya.

Bila dugaan konslet listrik ini benar, berarti ada kesalahan dalam pemasangan instalasi listrik tegangan 220 V di berbagai bangunan di kraton, terutama di Pendapa Sasana Sewaka. Itu adalah ekses negatif dari pekerjaan instalasi kabel listrik di rumah-rumah, termasuk kraton, yang sedang menjadi “boom nafkah” para pekerja swasta (BTL) yang tak paralel dengan mutunya.
Dengan peristiwa 1985 itu, menjadi pelajaran penting bagi kraton khususnya, agar secara berkala mengevaluasi instalasi jaringan listrik dari bangunan ke bangunan di kawasan kraton, juga instalasi kabel di dalam bangunan. Karena, kebakaran akibat konslet, bisa terjadi akibat kerusakan dan di titik lokasi sambungan di manapun yang biasanya tak gampang terlihat.
Teknologi instalasi menjadi prioritas dievaluasi, tetapi karena rata-rata bangunan di kawasan kraton didominasi material kayu jati yang umurnya tua atau ancaman keropos karena air hujan dan cuaca, maka perlu diwaspadai. Meskipun masih ada hutan lindung Danalaya yang menyediakan material kayu, tetapi kualitas dan suasana tata-kelolanya sudah sulit diandalkan. (Won Poerwono – bersambung/i1)