Sambil Melihat Suasana Hutan Setelah 28 Tahun, Ketika Bangun Kembali Sasana Handrawina
WONOGIRI, iMNews.id – Walau secara pribadi sudah sering menengok suasana kagungan-dalem Alas (Hutan) Danalaya setelah didatangi di tahun 1997, tetapi baru Sabtu (10/5) siang tadi Gusti Moeng menggelar upacara adat donga wilujengan di tengah hutan lindung milik Kraton Mataram Surakarta itu. Kedatangannya tadi membawa rombongan dan menggelar ritual lengkap.
Tiba di pendapa kecil tempat ritual pukul 10.30 WIB, Gusti Moeng yang membawa rombongan sekitar 10 orang dari kraton, langsung menata uba-rampe upacara adat. Tiga orang utusan Perhutani wilayah setempat juga hadir menyaksikan. “Dhawuh” untuk memimpin donga (doa) wilujengan disertai “ujub” (isi) doanya, langsung disampaikan kepada RT Irawan Wijaya Pujodipuro.

Abdi-dalem jurusuranata RT Irawan Pujodipuro selesai memimpin doa, lalu dilakukan tabur bunga. Karena di dalam kompleks pendapa kecil sebagai tempat upacara itu, masih ada beberapa pohon jati hidup yang sudah lumayan besar, diameternya sekitar 100 cm. Di tengah pendapa dan di tiap pohon jati “super” yang ada di dalam pagar komleks itu, ditaburi bunga.
Selesai donga wilujengan dan rangkaiannya sekitar pukul 11.40 WIB, Sunarto (55) sebagai juru-kunci di situ lalu dipanggil Gusti Moeng. Di depan pintu pagar kompleks pendapa itu, Gusti Moeng memperlihatkan SK “Tetepan” (penetapan) untuk dirinya resmi sebagai abdi-dalem Juru-kunci kagungan-dalem Alas Danalaya, dan surat itu diserahkan kepadanya.

Sunarto adalah generasi kedua dari ayahnya almarhum yang menjadi abdi-dalem juru kunci hutan jati lindung yang ada di Desa Watusomo, Kecamatan Slogohimo, Kabupaten Wonogiri itu. Ketika ditanya iMNews.id, waktu Gusti Moeng datang di tahun 1997 dan memimpin ritual mengawali tebang pohon untuk keperluan pembangunan kembali Sasana Handrawina, dirinya masih “magang”.
Saat Kraton Mataram Surakarta membutuhkan kayu jati “super” di tahun 1997 itu, “gedhong” Sasana Handrawina merupakan bangunan terakhir yang hancur dan rata dengan tanah saat kraton mengalami musibah kebakaran di tahun 1985. Dari hutan jati aset kraton yang hingga kini “dikelola” Perhutani” itu, kebutuhan kayu untuk membangun Sasana Handrawina didapat.

Setelah penebangan dengan persyaratan negara dan tatacara adat resmi dari kraton di tahun 1997 itu, iMNews.id belum mendapatkan catatan adanya penebangan berikutnya karena adanya kebutuhan untuk renovasi atau revitalisasi kraton. Tetapi, dari hasil pantauan penulis saat menyaksikan ritual di tahun 1997 dan suasana di sekitar pendapa kecil, sudah jauh berbeda.
Perbedaan suasana dan pemandangan itu karena kini terkesan cukup jauh rata-rata jarak antara satu pohon dengan beberapa pohon di sekitarnya. Ukuran pohon jati yang ada, sebagian besar di bawah garis tengah 70 cm dan hanya sebagian kecil yang masih tampak dari pendapa kecil itu, ada yang berdiameter hingga 100 cm atau bahkan lebih, dan tampak pula yang tumbang.

Alas Danalaya yang dulunya disebutkan menjadi tanggung-jawab Ki Ageng Danalaya, adalah hutan yang dijaga ketat karena hanya untuk melayani kebutuhan kraton. Ketika tahun 1997 kraton butuh untuk konstruksi bangunan Sasana Handrawina, bisa didapat beberapa “gelondong” atau “log” panjang, lurus dan berdiameter lebih 150 cm serta jumlah yang berdiri masih banyak.
Seiring perjalanan zaman yang sering diiringi masa-masa sulit dalam perekonomian, hutan “seanker” apapun tak luput dari sasaran “ilegal loging” untuk sekadar bertahan hidup atau “serakah”. Meski begitu, kraton tetap menggunakan etika dan estetika, menggelar ritual memulai tebang, seperti yang dilakukan Gusti Moeng saat hendak membangun Sasana Handrawina, 1997. (won-i1)