Punya Daya Tarik Kuat, Jadi Representasi Paling Menawan
IMNEWS.ID – WALAU dalam konteks zaman modern dan berteknologi maju, sangat jarang ada negara yang memiliki produk peradaban modern perpaduan antara unsur etika dan estetika. Negara yang bisa memiliki produk peradaban seperti ini, adalah negara yang memiliki latar-belakang budaya kuat yaitu Budaya Jawa, di antaranya “negara” Mataram Surakarta.
Salah satu produk peradaban yang kuat andil budayanya terutama dalam unsur etika dan estetika, adalah elemen prajurit. Walau menjadi bagian dari sistem pertahanan, prajurit di Kraton Mataram Surakarta sejak Mataram Kartasura, maupun saat didirikan Panembahan Senapati atau jauh sebelum itu, antara fungsi dan nilai hubungan sosial internalnya cukup spesifik.
Perpaduan antara fungsi dan nilai hubungan sosial di internal “negara” Mataram Surakarta, khususnya, sangat berbeda dibanding prajurit atau tentara dalam konteks negara modern seperti Amerika (USA), NKRI dan negara-negara republik demokrasi lainnya. Karena, prajurit di negara-negara modern itu lebih sebagai bagian dari “alat” sistem pertahanannya.
Karena sekadar menjadi alat sistem pertahanan, maka hampir dalam setiap ekspresinya jauh dari sifat-sifat estetik dan etika dyang dimiliki kalangan warga sipil masyarakat adat, seperti di lingkungan Kraton Mataram Surakarta. Sebagai alat sistem pertahanan, tiap prajurit lebih menonjol sifat-sifat “personelnya”, bukan nilai-nilai hubungan kekerabatannya.

Karena hubungan sosial di antara prajurit kraton bersifat kekerabatan, maka ekspresinya lebih menonjol kapasitasnya sebagai “abdi-dalem”. Mereka patuh menjalankan tata nilai paugeran adat sebagai prajurit, sekaligus harus menjalankan tata nilai etika dan estetika. Hal terakhir inilah yang membuat prajurit kraton punya daya tarik kuat dan menawan hati.
Nilai-nilai etika dan estetika itu tampak sekali ketika para prajurit kraton terlibat dalam upacara adat yang digelar kraton. Bukan tugas dalam fungsi sistem pertahanan dan keamanan, karena sejak 1945 Kraton Mataram Surakarta sudah tidak memiliki kedaulatan di bidang itu. Maka, prajurit kraton semakin kelihatan daya tari nilai-nilai etika dan estetikanya.
Nilai-nilai etika dan estetika yang terbangun dan tersusun selama 200 tahun Mataram Surakarta (1745-1945), menjadikan prajurit kraton sebagai produk puncak kebudayaan Jawa. Apalagi, dalam ratusan tahun selama perjalanan sejak “negara” Mataram didirikan Panembahan Senapati (1588-1601), yang menjadikan prajurit produk peradaban “sempurna” pada masanya.
Karena, kedaulatan Kraton Mataram Surakarta di bidang pertahanan dan keamanan sudah “dicabut”, maka yang tersisa adalah sebuah bangunan atraksi baris-berbaris sejumlah “bregada” (brigade-Red) prajurit. Atraksi sejumlah jenis (bregada) prajurit yang kaya warna, dengan kostum yang unik, aneka macam aksesoris, dengan aba-aba yang khas, dan sangat menawan.

Bahasa militer termasuk aba-aba dan perintah di tubuh organisasi tentara di NKRI atau negara modern republik demokrasi lain, mungkin tak akan mengenal bahasa prajurit Kraton Mataram Surakarta. Tetapi, ketika mencermati proses lahirnya organisasi TNI dan Polri, setidaknya berasal dari kekayaan nama dan istilah yang dipakai kraton-kraton di masa silam.
Kini, prajurit Kraton Mataram Surakarta yang masih sering dikeluarkan di berbagai kesempatan, ada 9 “bregada”. Yaitu prajurit Tamtama yang tidak sama dengan “Bregada Prajurit Korsik Drumband Tamtama”, prajurit “Soroh Geni”, “Darapati”, “Baki”, “Jayengastra”, “Jayasura”, “Panyutra” dan prajurit “Prawira Anom”. Semuanya unik, apalagi korsik drumbandnya.
Dalam catatan KRT Darp Arwantodipuro, sebenarnya masih ada 2 jenis prajurit yang sudah dieksplorasi identitasnya, tetapi baru satu yang bisa diwujudkan. Yaitu Bregada Prajurit “Jaya tan Antaka” atau “Jayataka” yang kemudian menjadi nama kampung atau Kelurahan Jayatakan (Kecamatan Serengan), yang juga menginspirasi RPKAD (Kopassus) karena “sakti”.
“Prajurit Jaya tan Antaka yang sudah diketahui berkostum serba hitam dengan penutup wajah itu, sepertinya kurang menarik untuk ditampilkan seperti bregada yang lain. Karena, itu pasukan rahasia, sulit diketahui ciri-cirinya. Satu lagi, Bregada Singanagara, sudah diperagakan pada HUT Pakasa 2023 dan diminta menjadi simbol Pakasa Ponorogo,” ujar KRT Darpo.

Khusus mengenai “Bregada Prajurit Singanagara”, dalam peragaan pada kirab budaya peringatan HUT Pakasa tahun 2023 yang dipusatkan di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa itu, tampak sekali nuansa figur seorang “algojo” yang tinggi, besar, berotot dan bertampang brewok. Prajurit jenis ini, dikenal sebagai pengawal Sinuhun Amangkurat Jawi dan Sinuhun PB II.
Karena dari data-data manuskrip yang ditemukan KRT Darpo Arwantodipuro (abdi dalem pengelola prajurit) nama prajurit Singanagara ada di zaman Kraton Mataram saat di Ibu Kota Kartasura, maka sangat rasional apabila ada peningkatan kekuatan pertahanan dan keamanan, saat itu. Apalagi, disebut-sebut ada kekacauan yang dilakukan oleh Trunajaya dan Mas Garendi.
KP MN Gendut Wreksodiningrat (Ketua Pakasa Cabang Ponorogo) dalam catatannya juga menyebut, prajurit Singanagara banyak direkrut dari orang-orang terpilih asal Ponorogo, saat itu. Setelah 7 tahun “menyusun rencana” di Ponorogo sejak 1738, dalam kawalan prajurit Singanagara, Sinuhun PB II “boyong kedhaton” dan memindahkan Ibu Kota dari Kartasura ke Surakarta.
Sifat-sifat “Bregada Prajurit Singanagara” yang pemberani, taktis dan “mrantasi” itu, disebut KP MN Gendut banyak menginspirasi warga Pakasa Ponorogo dan para seniman reog Ponorogo. Eksistensi prajurit Singanagara yang terkenal di zaman Mataram di Kartasura, tentu juga punya tanggung-jawab keselamatan Kanjeng Ratu Kentjana Kudus, ibunda Sinuhun PB II.

Belum ditemukan data yang menunjukkan keberadaan institusi prajurit yang mengaitkan antara KRT Prana Kusumadjati atau Kyai Glongsor, seorang prajurit “dugdheng” yang terkenal sakti mulai Sinuhun Amangkurat Jawi, Sinuhun PB II dan di awal Sinuhun PB III. Tetapi ketika dianalisis, sangat rasional adanya hubungan perseonal dalam institusi prajurit saat itu.
Karena latar-belakang itulah, bisa jadi nama “Singanagara” diabadikan Ketua Pakasa Cabang Kudus untuk melengkapi namanya menjadi KRRA Panembahan Didik Alap-alap Gilingwesi “Singonagoro”, setelah diwisuda dari “KRA”, tahun lalu. Karena, Kraton Mataram Kartasura telah “besanan” dengan Bupati Kudus, Adipati Tirtakusuma yang jadi mertua Sinuhun PB II. (Won Poerwono – bersambung/i1)