Tawaran Bergabung Jadi Satu Ritual Ditolak, Tetap Menggelar Sendiri Seperti Sebelumnya
IMNEWS.ID – SETELAH lima tahun lebih (15/4/2017- 17/12/2022) jajaran “Bebadan Kabinet 2004” yang dipimpin Gusti Moeng hanya bisa memanfaatkan sedikit kesempatan menggelar beberapa upacara adat di luar kraton, begitu mulai bekerja penuh di dalam kraton sejak 17 Desember 2022 itu niatnya ingin kembali menjalankan kerja adat dengan membuka ruang akomodatif.
Ruang akomodatif dibuka untuk berbagai elemen yang selama lima tahun lebih itu berada di lingkarang Sinuhun Suryo Partono (PB XIII-Red). Karena, “Bebadan kabinet 2004” yang menjalankan tugas-tugas kerja adat adalah resmi dibentuk bersama dengan Sinuhun Suryo Partono di tahun 2004, apalagi dikuatkan dengan eksekusi putusan MA pada saat “Dekrit LDA”.
Peristiwa “Dekrit Lembaga Dewan Adat (LDA)” pada 8 Agustus 2024 di sela-sela ritual haul Sinuhun Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma di “gedhong” Sasana Handrawina itu, adalah perjalanan sejarah paling fenomenal di bidang hukum bagi kraton. Melalui peristiwa itu, Bebadan Kabinet 2004 dan LDA sama-sama mendapatkan kekuatan sebagai lembaga berbadan hukum.
Tetapi rupanya ruang akomodatif yang dibuka lebar-lebar itu tampaknya sia-sia, karena nyaris tidak dimanfaatkan dengan baik. Ruang rekonsiliasi yang sudah diawali pada 3 Januari 2023 sampai datang “Dekrit LDA” 8 Agustus 2024, terasa seperti angin lalu saja. Proses “damai” tak terwujud, malah ditambah berat dengan peristiwa pembelotan “Trio Wek-wek”.
Kamis Legi 31 Oktober 2024 kemarin, adalah momentum kesekian kali untuk mengukur progres/perkembangan proses “damai” itu. Dan upacara adat “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung” yang digelar 28 Bakda Mulud Tahun Je 1958 (Rabiulakhir Tahun 1446 H) kedua setelah 17 Desember 2022 itu, faktanya tetap pada “kedudukan semula”, tak ada perubahan berarti.
“Ya, seperti itulah. Sampai ada penegasan terakhir secara hukum, yaitu eksekusi putusan MA (No.87/Pdt.G/2019/PN Ska – 29 Agustus 2022), mereka tetap tidak mengerti dan tidak mau menerima. Jadi, bukan Gusti Moeng atau kami yang ‘angel’ atau tidak mau kembali bersama sebagai keluarga besar. ‘Kan, jadi sudah jelas siapa yang tidak mau atau tidak mengerti”.
“Jadi, itu jawaban kenapa upacara adat Wilujengan Nagari Mahesa Lawung kali ini tidak bisa dijadikan satu atau kembali menjadi satu upacara produk kraton secara kelembagaan. Mereka tidak mau mengakui dan menjalankan keputusan MA, produk hukum tertinggi kita, gimana?. Ya sangat disayangkan, mereka selalu menghindar kesempatan bersatu yang kami buka”.
“Kalau boleh saya jelaskan sekali lagi, putusan MA dan eksekusinya dulu itu (iMNews.id, 8/8) sudah final menegaskan bahwa kelembagaan Bebadan Kabinet 2004 yang sah belaku di kraton. Bahkan ditegaskan juga kedudukan Lembaga Dewan Adat. Dengan begitu, bebadan yang dibuat Sinuhun tidak berlaku lagi. Tetapi mereka tidak mau menerima itu,” tunjuk KPH Edy.
KPH Edy Wirabhumi selaku (Pimpinan Eksekutif Lembaga Hukum Kraton Surakarta) yang diwawancarai beberapa awak media di depan kantor eks Badan Pengelola (BP) sepulang dari Krendawahana, menyempatkan diri memberi penjelasan adanya dua upacara adat yang sama digelar kraton, di tempat yang sama, pada jam yang berbeda, Kamis Legi, 31 Oktober 2024 lalu.
Dan memang benar, upacara adat “Wilujengan Sesaji Mahesa Lawung” atau “Sesaji Raja Wedha” yang digelar “Bebadan Kabinet 2004” pada Kamis Legi (31/10) itu, waktunya diambil pagi yaitu dimulai pukul 06.30 WIB di “pawon Gandarasan”, pukul 07.45 WIB di Pendapa Pagelaran Sasana Sumewa dan selesai ritual di hutan lindung Krendawahana selesai pukul 09.30 WIB.
Kraton Mataram Surakarta bisa menjalankan upacara adat mulai sekitar pukul 06.00 dan berakhir sekitar pukul 09.00 WIB, mungkin baru terjadi pada “Wilujengan Nagari Sesaji Mahesa Lawung”, Kamis Legi (31/10/2024) itu. Peristiwa ini patut dicatat sebagai rekor gelar ritual “terpagi” yang dicapai kraton, setidaknya selama 4 dekade terakhir sejak 1980-an.
Di sisi lain, upacara adat unik yang satu ini juga bisa menjadi kesempatan atau momentum untuk mengukur seberapa jauh progres/perkembangan proses “damai” Sinuhun Suryo Partono (PB XIII) dengan Gusti Moeng, yang terjadi pada 3 Januari 2023. Karena, secara kebetulan publik secara luas menyaksikan ada dua kali upacara yang sama pada Kamis Legi (31/10) itu.
Tak hanya publik di sekitar kraton dan di sekitar situs hutan lindung di Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar yang bisa menyaksikan langsung prosesi dua kali ritual “Mahesa Lawung” berurutan, Kamis pagi dan siang. Karena setelah dua ritual itu berlangsung, publik secara luas juga bisa melihat hasil liputan berbagai media.
Dan melalui dua jenis ritual yang sama dan sama-sama atas nama kraton, dilakukan di lokasi terakhir yang sama yaitu hutan lindung Krendawahana pada waktu yang berbeda sekitar 60 menit itu, jelas bisa dilihat dan dievaluasi fakta yang tampak. Bahwa Sinuhun dan kelompoknya menjalankan ritual sendiri, setelah Bebadan Kabinet 2004 selesai menggelar ritual.
Sinuhun dan kelompoknya tetap menggelar ritual Mahesa Lawung dengan mengambil kesempatan sesudah Bebadan Kabinet 2004 lebih dulu menggelar ritual pada paginya. Selain terkesan “tidak mengakui” adanya eksekusi putusan MA, sikap itu bisa dipandang sebagai penolakan/pengingkaran proses “damai” 3 Januari 2023, apalagi ditambah pembelotan “Trio Wek-wek”. (Won Poerwono – bersambung/i1)