Mataram Surakarta, Kraton Pertama yang Memiliki Legal Standing Dalam Sistem Hukum Nasional (seri 6 – habis)

  • Post author:
  • Post published:October 19, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Mataram Surakarta, Kraton Pertama yang Memiliki Legal Standing Dalam Sistem Hukum Nasional (seri 6 – habis)
MULAI TERUJI : Putra mahkota KGPH Hangabehi sebagai calon pemimpin masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta dan calon pemimpin pelestari Budaya Jawa, sudah mulai mengasah kemampuannya berpidato menggunakan Bahasa Jawa "krama inggil" di depan warga Pakasa Pati. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ada Residu Insiden 2017-2022 yang Mengecoh Peran dan Fungsi Pakasa Cabang

IMNEWS.ID – DENGAN dicapainya tahap rasionalisasi untuk kelembagaan Kraton Mataram Surakarta, yang ditandai dengan diperolehnya legal standing untuk Lembaga Dewan Adat (LDA) yang di dalamnya ada “Bebadan Kabinet 2004” beserta seluruh elemennya, berarti perlindungan hukum (badan hukum) sebagai tahap paling mendasar bagi masyarakat adat sudah terpenuhi.

Tetapi, perlindungan hukum itu hanya bagi Kraton Mataram Surakarta dengan segala keperluan eksternalnya. Bagi masyarakat adat lain anggota Majlis Adat Kraton Nusantara (MAKN) yang diketuai KPH Edy Wirabhumi, juga kraton, kasultanan, kedatuan dan pelingsir adat anggota FKIKN juga perlu berjuang, atau menunggu pengesahan RUU Perlindungan Masyarakat Adat di DPR.

Start lebih awal yang mandiri dan berdikari yang dicapai Kraton Mataram Surakarta, bukannya terwujud di tengah gelimang aset kekayaan materi dan dalam suasana yang serba nikmat penuh suka-cita. Hampir semua perangkat perlindungan itu harus diraih dengan perjuangan dan banyak “jatuh korban” akibat berbagai insiden, peristiwa dan himpitan dari luar dan dalam.

JADI MODEL : Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa LDA) menjadi wanita model pemimpin dari Kraton mataram Surakarta yang pertama, yang patut menjadi suri-teladan dan pelopor pelestari Budaya Jawa karena kemahirannya menggunakan Bahasa Jawa “krama inggil” untuk berpidato dan berkomunikasi. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Jadi boleh dikatakan, keberhasilan yang dicapai kraton dan masyarakat adatnya yang terwadahi dalam sejumlah elemen, harus diperoleh dengan “berdarah-darah”, bukan didapat dengan cuma-cuma atau membayar mahal karena bergelimang uang. Maka tidak aneh, keberhasilan ini secara tidak langsung telah menguras habis segala energi yang tersisa setelah 1945.

Oleh sebab itu kini bisa disebut, kraton benar-benar hampir menyentuh titik nadir dalam soal kemampuan secara ekonomi, bila dibanding besarnya beban tugas, kewajiban dan tanggung-jawab yang harus disangga/dibayar. Meski begitu, rasa lega dan suka-cita serta angin segar bisa mulai dicicipi, walau belum sepenuhnya bisa dinikmati penuh sesuai harapan.

Angin segar kadamaian dan keleluasaan mengabdi belum sepenuhnya bisa dinikmati, selain karena daya dukung potensi kekuatan ekonominya sangat lemah, juga karena masih ada residu sisa kasus-kasus insiden dari tahun 2004. Dan, khusus residu insiden tahun 2017-2022 itu sulit dibersihkan, karena “sudah lengket” dengan “elemen perusak ” dari luar kraton.

MENJADI CONTOH : Sebagai Pangarsa Pakasa Punjer, KPH Edy Wirabhumi juga sering memperlihatkan kemahiran sekaligus keteladanan sebagai pemimpin pelestari Budaya Jawa. Di berbagai kesempatan berpidato dan berdialog, “krama inggil Bahasa Jawa menjadi hal yang baku dilakukan. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Untuk mengidentifikasi adanya residu (ampas) sisa-sisa insiden 2017-2022), sangat mudah karena jelas sekali tampak ketika berlangsung upacara adat tingalan jumenengan, kirab menyambut 1 Sura, Malem Selikuran, Hari Jadi Mataram Surakarta 17 Sura atau 20 Februari dan juga beberapa ritual “Garebeg”, sedikitnya dalam dua kali yaitu 2023 dan 2024.

Di beberapa acara ritual besar itulah, terlihat sekali masih ada sisa residu kasus insiden 2017-2022, yaitu sekumpulan abdi-dalem yang ber ID-card tetapi bukan warga Pakasa, yang sengaja “diorganisasi” dan “dibaurkan” dengan warga Pakasa dari berbagai cabang di sejumlah daerah yang “sowan”. Residu sisa kasus itulah yang mengecoh peran dan fungsi Pakasa.

Walau secara teknis di lapangan bisa diidentifikasi dan dibedakan, tetapi kehadiran warga abdi-dalem non-Pakasa yang sengaja diorganisasi dan dibaurkan oleh beberapa “figur tokoh residu” itu senyatanya bisa mengganggu. Mereka mengecoh para petugas jajaran “Bebadan Kabinet 2004”, yang berada di lapangan hanya berbekal untuk “menegur” dan “melarang”.

SERING TAMPIL : Bila melihat proses perjalanan Gusti Moeng dan beberapa tokoh di kraton yang jumlahnya sangat terbatas kini, seringnya tampil berbicara di depan forum apa saja dan diberbagai kesempatan, membuatnya semakin banyak punya jam terbang dan semakin mahir berbicara Bahasa Jawa “krama inggil”. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sisa residu kasus insiden 2017-2022 secara garis besar memang bisa mengganggu, tetapi lambat-laun secara alamiah akan berangsur-angsur berkurang jumlah dan kasusnya. Karena, menghimpun abdi-dalem tetapi tidak memiliki perangkat instrumen pembinaan keangggotaan, kepengurusan dan kelembagaan organisasinya sebagaimana mestinya, sulit eksis dan bertahan lama.

Itu berarti, kelak Pakasa cabang akan semakin kelihatan menjadi ujung tombak pelestari Budaya Jawa dan penjaga kelangsungan Kraton Mataram Surakarta yang eksis, kuat dan efektif. Baik sebagai alat untuk mengimpun para calon pelestari, maupun merawat keanggotaan organisasi sekaligus daya dukung legitimatif terhadap Budaya Jawa dan kraton.

Tetapi, pada posisi yang sedang sama-sama bangkit dari “titik nadir” ini, mudah-mudahan instrumen sosialisasi tata-tetib dan disiplin aturan adat bisa tersedia cukup dan berjalan baik. Karena, kalau instrumen itu tidak berfungsi seperti sekarang ini, yang akan mengecoh para petugas upacara adat bukan dari organisasi lain, tetapi warga Pakasa sendiri.

HARUS TAMPIL : Untuk menjadi tokoh yang punya kemahiran berbicara dalam Bahasa Jawa “krama inggil” seperti Gusti Moeng, dimulai dengan semangat mau belajar, sering dan harus tampil. Apalagi karena tuntutan kebutuhan keadaan kritis, seperti yang kini dialami kraton yang krisis sosok figur pemimpin. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dalam kebangkitan bersama di era baru “Bebadan Kabinet 2004” dan LDA Kraton Mataram Surakarta, akan lebih ideal apabila semua instrumen kelembagaan yang ada diberi ruang atau diberdayakan untuk bergerak. Atau bila perlu diciptakan instrumen baru, demi kelancaran gerak semua jajaran Bebadan dan elemen, serta terjangkaunya segala persoalan yang muncul.

Yang jelas, sinergitas antara Sanggar Pasinaon Pambiwara bersama Pasipamartanya dengan lembaga Pakasa cabang mendesak diwujudkan, segera. Karena keduanya menjadi elemen penting instrumen sosialisasi penegakan tata-tertib dan disiplin aturan adat. Sosialisasi lebih bermartabat, dari pada teguran dan larangan yang bisa mengurangi sisi estetika dan etika.

Menjadi ujung tombak pelestari, jangan sampai masih terbebani oleh persoalan itu. Tetapi menjadi ironis, kalau ada pengurus dan anggota Pakasa yang menyandang pangkat dan gelar, memberi sambutan tidak “krama inggil”. Padahal tugas utamanya melestarikan Budaya Jawa, termasuk bisa berBahasa Jawa “krama inggil”, bukan sekadar berbusana adat Jawa. (Won Poerwono-habis/i1)