Supremasinya Hendak Diruntuhkan, Sejak “Anasir Kiri” Berkembang di Nusantara
IMNEWS.ID – PERJALANAN sejarah sebuah peradaban, yang terus berubah dari zaman ke zaman, faktanya selalu diikuti sisi gelap atau negatifnya sebagai sebuah keniscayaan adanya dua hal yang bertolak-belakang. Tak beda dengan zaman peradaban Sunan Kudus dan Sunan Muria di abad 14-15, ketika menjalankan tugas syi’ar, untuk “merubah” suasana kehidupan spiritual masyarakat Jawa.
Semua yang bertolak-belakang dalam sebutan “plus-minus”, “negatif-positif”, “baik-buruk”, “gelap-terang” dan sebagainya, tentu akan ada, terus ada dan tetap ada sebagaimana dunia diciptakan Tuhan YME atau Allah SWT, Sang Hyang Widhi Wasa atau Sang Hyang Tunggal. Atas dasar itu, zaman peradaban Jawa sejak abad 8-pun jelas tak luput dari berbagai sebutan itu.
Dalam terminologi itu, ajaran Islam masuk ke wilayah Kudus dan sekitarnya, termasuk Jepara sebagai wilayah pembentukan Budaya Jawa sejak sebelum abad 8. Syi’ar agama mulai abad 14 diefektifkan 9 tokoh “Wali Sanga”, di tahun/zaman berbeda, yang bertujuan untuk membawa masyarakat yang “serba tidak baik di sisi lawan”, berubah menjadi manusia yang baik.
Masyarakat yang dipersepsikan berada di sisi lawan yang serba tidak baik itu, Gus Muwafiq menolak sebutan/istilah masyarakat zaman “jahilliyah”. Penegasan itu diucapkan tokoh ulama asal Sleman (DIY), di acara haul wafat Sultan Agung (Raja ke-3 Kraton Mataram) yang digelar “Bebadan Kabinet 2004” di Pendapa Pagelaran, beberapa waktu lalu.
Karena, ada sisi yang serba tidak baik dalam suasana masyarakat Jawa di abad itu, memang tidak bisa disamakan dengan ciri-ciri masyarakat zaman “jahilliyah”. Peradaban Jawa mampu mengembangkan teknologi metalurgi, salah satu contohnya adalah produk gamelan dengan notasi yang lengkap dan khas, jelas membuktikan bahwa peradabannya sudah sangat tinggi.
Memotret peradaban masyarakat Jawa di saat Islam masuk dan mulai menyebar, identik dengan memotret masa lalu wilayah Kudus, Demak, Jepara dan Pati yang menjadi satu kawasan disekitar Gunung Muria. Dua wilayah di antaranya yaitu Kudus dan Demak, seakan menjadi pusat perkembangan agama dengan paduan kental akulturasinya, modelnya berbeda tetapi idealistik.
Melihat profil Kabupaten Kudus masa kini, harus memotret peradaban pada zaman Sunan Kudus menjalankan tugas penyebaran agama seumur hidupnya, yang disebut antara tahun 1400-1550 M. Data yang diungkap abdid-alem “Kanca Kaji” bernama KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo MFil-I menyebut, Sunan Kudus hidup antara tahun itu, berarti usianya sekitar 150-an tahun.
Data yang diungkap KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro selaku Ketua Pakasa Kudus dari silsilah Sunan Kudus yang dimiliki, menyebutkan bahwa Kandjeng Soesoehoenan Djakfar Sidhiq itu berusia sampai 150-an tahun. Trah darah-dalem keturunan Sunan Kudus “grat” ke-14 itu menyebut, eyangnya wafat di tahun 1550 M, setelah Kudus “benar-benar sersinar”.
“Saya memang trah darah-dalem keturunan eyang Sunan Kudus grat ke-14, tetapi saya bukan anggota pengurus makam maupun bukan aggota yayasan pengelola Menara, Masjid dan Makam Sunan Kudus. Saya benar-benar berada di luar para pengurus, tetapi saya dianggap tahu banyak tentang riwayat Sunan Kudus. Saya heran, mengapa saya dianggap begitu”.
“Termasuk, dianggap tahu alasan mengapa Kudus masih bersinar dengan sebutan ‘gus’ (bagus), ‘ji’ (ngaji) dan ‘gang’ (dagang) itu?. Karena, ya mungkin saja keluarga saya pernah menjadi salah satu di antara sebutan itu. Dulu (pernah) jadi pedagang sukses, yang selalu mengajarkan pada anak-anaknya agar pandai mengaji,” papar KRA Panembahan Didik Gilingwesi.
Pandangannya dari hasil pengamatan secara empirik menyebutkan, Kabupaten Kudus kini memang paling menonjol di antara eks Karesidenan Pati atau semua daerah di lereng Gunung Muria. Terutama menonjol ecara ekonomi, karena memiliki jumlah dan jenis perusahaan cukup banyak dan berskala nasional, yang pemiliknya menjadi 1 di antara 10 orang terkaya di Tanah Air.
Industri cor logam, rokok, percetakan uang negara, industri barang elektronik serta beberapa industri skala kecil, seperti pabrik kuliner Jenang Dodol, dari wilayah Kecamatan Kota hingga ke barat, misalnya Desa Kaliputu. Sedangkan industri kuliner Madu Mongso dan kerajinan genteng pres, ada di kota hingga wilayah Kudus timur, misalnya Desa Ngembal.
“Yang saya ketahui, sekarang ini ada sekitar 10 perusahaan rokok kelas besar dan seratusan perusahaan rokok kelas kecil yang resmi. Perusahaan lain di luar rokok, ada beberapa yang besar dan industri kerajinan rumahan seperti “genteng pres” dan jenang dodol. Selain itu, Kudus dikenal sebagai Kota Santri. Jumlahnya terus berkembang sejak zaman Sunan Kudus”.
“Sekarang ini, jumlah pesantren yang besar ada 50-an. Kalau dihitung termasuk yang kecil-kecil, Pondok Pesantren ada 100-an. Selain itu, masih ada 100-an Majlis Taklim yang mengajarkan agama terutama ngaji. Seperti 3 majlis di rumah saya. Belajar agama, tetapi tidak perlu mondok,” ujar KRA Panembahan Didik yang juga pimpinan 3 Majlis Taklim itu.
Dalam kajian sejarah Dr Purwadi (Ketua Lokantara Pusat di Jogja), Kabupaten Kudus yang menjadi besar namanya dan dikenal luas, setelah Sunan Kudus banyak bermukim dan mengurus tanah pekarangannya di sebuah tempat yang bernama Tajug. Ia bermukim di situ, setelah kembali dari tugas sebagai Khatib Agung Masjid Agung Demak sampai tahun 1527 M.
Kota Kudus semakin terbentuk setelah Kandjeng Soesoehoenan Koedoes (Djakfar Sidhiq) banyak berkarya membenahi berbagai bidang kehidupan di kota itu. Perkembangan kota ditandai dengan pembangunan Masjid Agung Kudus di tahun 1549 M, sesuai dengan tulisan di atas mihrab masjid, angka 956 H. Saat itu, Sultan Trenggana masih jumeneng sebagai Raja Kraton Demak.
Sama dengan penuturan KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro, bahwa nama Kota Kudus berasal dari kata dalam Bahasa Arab, “Al Quds” yang kurang lebih bermakna “tempat suci”. Kata itu seterusnya diadaptasi lidah orang Jawa menjadi “Kudus”, yang menggantikan nama lama tempat itu, yaitu Tajug, yang letaknya tidak jauh dari Kraton Demak Bintara.
Kehadiran saudagar China bernama The Ling Sing, banyak berjasa menggarap tata ruang kota yang kemudian menjadi Kota Kudus. Dia mendapat pangkat dan gelar dari Kraton Demak, Kanjeng Kyai Demang Telingsing, yang menurut KRA Panembahan Didik, karena menularkan kemampuan berdagang dan ketrampilan ukir kayu, sebelum bergeser ke (Kabupaten) Jepara. (Won Poerwono-bersambung/i1)