Hadirnya Sound System, Masih Butuh Proses Untuk Mempertemukan Dengan Suasana Adatnya
IMNEWS.ID – MASYARAKAT secara luas apalagi kalangan media atau pewarta, sangat jarang yang memperhatikan jalannya setiap upacara adat yang digelar di Kraton Mataram Surakarta sampai hal yang detil. Karena berbagai pertimbangan, banyak yang terkesan mengabaikan atau tidak butuh tahu hal-hal yang sebenarnya spesifik, unik dan ikonik dan khas setempat.
Jenis-jenis upacara adat yang tidak mudah dipahami detilnya, adalah jenis upacara adat yang proses urutannya banyak diadakan di dalam kraton seperti kirab malam 1 Sura, tingalan jumenengan, “ngisis ringgit” sekaligus “gladen” tari Bedhaya Ketawang tiap weton Anggara Kasih atau Selasa Kliwon. Bahkan, ritual terakhir itu sama sekali tertutup di dalam kraton.
Khusus untuk ritual “pengetan hadeging nagari” (Mataram Surakarta-Red) tiap tanggal 17 Sura atau yang akan digelar kira-kira setengah bulan lagi itu, memang secara keseluruhan berada atau digelar di dalam kraton tanpa prosesi kirab. Karena ritual ini adalah formatnya “donga wilujengan” di satu tempat, baik di dalam kraton, di Pendapa Pagelaran datau di Masjid Agung.
Beberapa upacara adat yang lain, misalnya tiga jenis ritual Garebeg, mungkin secara umum sudah bisa dipahami esensi dan maknanya, karena lebih banyak berlangsung di luar kraton. Termasuk pula ritual wilujengan nagari Sesaji Mahesa Lawung, yang banyak digelar di luar kraton, bahkan disertai prosesi arak-arakan membawa uba-rampe ritual yang dikawal prajurit kraton.
Upacara adat yang mudah dipahami esensi hingga detilnya, yaitu ritual jamasan atau Larab Langse (ganti selambu) makam leluhur Dinasti Mataram. Misalnya yang sering digelar di Astana Pajimatan Tegalarum di Desa Paseban, Kecamatan Adiwerna, Kabupaten Tegal/Slawi, yang merupakan makam Sinuhun Amangkurat Agung beserta keluarga terdekatnya.
Proses tatacara untuk jenis upacara adat itu, lebih longgar karena sudah berada di tengah masyarakat di luar kraton, meskipun masih tetap menggunakan paugeran adat. Salah satu indikator kelonggarannya, adalah menggunakan perangkat sound system karena melibatkan profesi juru pambiwara atau pranatacara yang mengatur lalu-lintas prosesi upacaranya.
Tetapi, khusus untuk beberapa jenis upacara adat tergolong besar yang sebagian atau semunya berlangsung di dalam kraton, harus dijalankan dengan tata nilai paugeran adat secara mutlak. Yaitu jenis upacara adat tingalan jumenengan dan kirab pusaka yang melibatkan banyak orang sampai ribuan, seperti yang berlangsung Minggu (7/7) malam lalu.
Dua jenis upacara adat itu, sudah berjalan ratusan tahun selalu berlangsung di dalam kraton dengan hening dan khidmat, karena dijauhkan dari berbagai suara yang masuk kategori “polusi”. Kecuali suara gamelan yang berfungsi mengatur lalu-lintas tatacara adat di dalam upacara tingalan maupun prosesi persiapan kirab pusaka, yang dipusatkan di Pendapa Sasana Sewaka.
Seperti yang terdengar jelas pada prosesi awal persiapan kirab pusaka menyambut Tahun Baru Jimawal 1958 Je atau Tahun Baru Hijriyah 1446, Minggu malam (7/7) di malam 1 Sura/Muharam, lalu-lintas tatacara awal ritual itu selalu didahului dengan suara gamelan Kiai Mangunharjo dan Kiai Harjabinangun yang ditabuh di teras selatan Pendapa Sasana Sewaka.
Setidaknya ada gendhing Ladrang Srikaton (Laras Pelog Barang) yang ditabuh KPH Raditya Lintang Sasangka (tindhih abdi-dalem) dan sejumlah abdi-dalem Mandra Budaya yang dipimpinnya, menjadi pertanda keluarnya pusaka pada pukul 23.30 WIB. Gendhing Ladrang Wilujeng ditabuh untuk 12 menyambut kembalinya pusaka ke dalam kraton, setelah dikirabkan sekitar 4 jam.
Dalam tatacara ritual menjelang kirab pusaka, juga diperdengarkan gendhing “Undur-undur Calapita” untuk mengantar Sinuhun yang “jengkar” atau meninggalkan tempat upacara untuk kembali ke kediaman pribadinya. Masih ada beberap gendhing lagi yang diperdengarkan malam itu, termasuk saat Gusti Moeng akan meminta RT Irawan Wijaya Pujodipuro untuk memimpin donga wilujengan.
Menyaksikan jalannya upacara awal kirab pusaka yang mirip tatacara ritual tingalan jumenengan, secara umum menandakan bahwa di kraton sudah memiliki suatu sistem pengaturan protokoler upacara adat, bahkan dalam pergantian acara atau tatacaranya. Sistem itu sudah baku sebagai bagian dari paugeran adat yang selalu dijalankan secara konsisten dari waktu ke waktu.
Sistem pengaturan protokoler upacara adat yang dimiliki dan dijalankan secara konsisten itu, jelas sekali tidak mengenal perangkat teknologi modern sound system dan kehadiran jasa juru pranatacara atau master of ceremony (MC) sebagai pengatur lalu-lintas acara atau tatacara. Tetapi, dalam perkembangan zaman, teknologi modern itu tetap dibutuhkan sebagai inovasi.
Masuknya teknologi modern sebagai bentuk inovasi dan mengakomodasi perubahan sesuai fenomena “Nut jaman kelakone”, selama ini bisa masuk dengan halus dan tidak menimbulkan gejolak, misalnya ketika ada acara yang berlangsung di Bangsal Smarakata. Di tempat yang mulai terbuka secara selektif untuk publik ini, sering dihadirkan perangkat sound system sebagai “pembantu”.
Namun, rupanya sampai berlangsung upacara awal menjelang kirab pusaka, Minggu malam (7/7) di lingkungan Pendapa Sasana Sewaka itu, belum diketemukan format yang paling tepat dan halus ketika menghadirkan teknologi sound system. Hadirnya pengeras suara yang bersama “jasa profesi” juru pambiwara malam itu, masih terdengar belum bisa menyesuaikan dengan sifat upacaranya.
Suara yang muncul dari sound system malam itu, masih terasa menjadi “polusi” yang mengganggu keheningan, belum bisa menyatu lembut dengan esensi upacaranya yang butuh sekaligus memberi suasana sakral. Tetapi mungkin terdengar ada sisipan kata berbahasa Indonesia logat prokem Jakarta dan agak tingginya volume auditifnya, menjadi titik gangguannya.
Hadirnya teknologi sound system dan jasa profesi pambiwara di lingkungan Pendapa Sasana Sewaka terlebih ketika digunakan untuk upacara adat tingalan jumenengan atau tatacara awal kirab pusaka, rupanya perlu dievaluasi lagi. Jangan sampai kehadiran teknologi yang diharapkan bisa membantu kelancaran pengaturannya, tetapi mengganggu keheningan dan kesakralannya.
Kraton Mataram Surakarta dengan berbagai jenis upacara adatnya, bisa eksis melewati ratusan tahun dan menembus segala zaman hingga tiba di zaman modern dan padat teknologi sekarang ini, karena kraton luwes menghadapi fenomena “Nut jaman kelakone”. Itu berarti, faktor manusia di dalamnya yang bijak dan cermat dalam mengadopsi perubahan. Dan inilah “PR” kraton ke depan. (Won Poerwono-i1).