KONTRIBUSI POSITIF : Generasi muda khususnya kalangan mahasiswa, perlu mendapat prioritas penyadaran, agar mereka bisa mendapat manfaat keilmuan dari kraton, kemudian memberi konstribusi positif berupa pemikiran-pemikiran konstruktif untuk kelangsungannya, seperti yang selama ini diberikan Dr Purwadi (Lokantara Pusat di Jogja). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)
Mereka Juga Bertanya, Apa Untungnya Kraton Mataram Surakarta Bergabung ke NKRI?
IMNEWS.ID – KONSEP “Sapa Sira, Sapa Ingsun” yang menjadi tema sentral 10-an pertanyaan lima mahasiswa PKM Nuversitas Airlangga (Unair) Surabaya yang dilayani Gusti Moeng dan dua nara-sumber lain di Kraton Mataram Surakarta, belum lama ini (iMNews.id, 7/5), ternyata juga bisa “nyambung” dengan pertanyaan “Apa untungnya Kraton Surakarta bergabung ke NKRI?”.
Pertanyaan “Apa untungnya Kraton Mataram Surakarta bergabung ke NKRI?”, dilontarkan beberapa di antara 150-an mahasiswa Fakultas Hukum dari berbagai universitas negeri di Indonesia, di antaranya UNS, beberapa waktu lalu. Mereka melakukan studi lapangan di Kraton Mataram Surakarta berkait dengan masa orientasi studi mahasiswa tahun kuliah baru 2023.
Di antara sejumlah pejabat “Bebadan Kabinet 2004” yang ikut menerima kehadiran para mahasiswa itu, adalah GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng selaku Pangarsa Lembaga Dewan Adat (LDA), GKR Ayu Koes Indriyah, KPH Edy Wirabhumi dan sejumlah sentana-dalem. Mereka diterima di Bangsal Smarakata, tempat yang sama saat lima mahasiswa PKM Unair bertamu.
Seperti biasa jika menerima kunjungan para mahasiswa yang melakukan studi lapangah, Gusti Moeng mendapat kesempatan memberi sambutan tunggal, juga sebagai nara sumber. Kesempatan sesorah, memberi sambutan dan tanya-jawab dengan para mahasiswa, pasti dijelasakan panjang-lebar mengenai perjalanan Mataram, Mataram Surakarta dan hubungannya dengan NKRI.
Karena para mahasiswa seakan dibukakan proses berpikir dan memorinya, banyak pertanyaan yang kemudian muncul dalam sesi tanya-jawab. Menyimak jalannya diskusi itu, tampak sekali bahwa hampir semua mahasiswa yang mendengar paparan Gusti Moeng siang itu baru paham, bahwa para mahasiswa terkesan tak pernah mendapat pelajaran banyak hal tentang kraton.
Para mahasiswa terkesan tidak pernah mendapatkan informasi yang benar dan cukup tentang keberadaan kraton-kraton di Jawa, dalam konteks sebagai sumber kekayaan budaya, seni, adat, tradisi dan segala ilmu pengetahuan. Para mahasiswa dan kalangan kampus pada umumnya, terkesan tidak pernah mendapat pembelajaran tentang NKRI yang berasal dari zaman sebelum 1945.
Kalangan terdidik ini terkesan seakan tidak pernah mendapat edukasi tentang jasa kraton-kraton di Jawa dan para tokoh-tokohnya serta karya-karyanya yang hingga kini masih banyak tersebar di Tanah Air, bahkan dimanfaatkan oleh warga perdaban secara luas, baik untuk keperluan tata pemerintahan, maupun menyatu dalam kehidupan masyarakat NKRI hingga sekarang.
“Pertanyaan-pertanyaan itu sering menggelikan. Karena, kalau masih ada kalangan kampus yang memperhatikan, Kraton Mataram Surakarta sekatang ini keberadaan kehidupan dan aset-asetnya masih utuh seperti dulu. Mereka rata-rata tidak tahu, bahwa kraton yang ada sekarang, misalnya Mataram Surakarta, telah mengalami perubahan yang sangat besar, bahkan mendasar”.
“Tetapi, rata-rata perubahan ke arah negatif, artinya mundur. Bukan positif atau ke arah lebih baik. Artinya, bukan secara sadar menghormati dan menghargai kraton sebagai lembaga yang punya jasa-jasa dan manfaat. Ya, buktinya, di antara yang mengirim mahasiswa mengadakan penelitian itu. Rata-rata ‘kan hanya demi keuntungan pribadi,” tunjuk KP Budayaningrat.
Dalam kasus, kegiatan penelitian yang dilakukan kalangan kampus, langsung atau menggunakan tenaga para mahasiswanya, ada dua hal yang perlu dipahami. Yaitu, antara kegiatan yang sekadar berbagi-bagi “proyek kecil penelitian”, dengan memanfaatkan anggaran riset dan perguruan tinggi. Kemudian, menggunakan hasil penelitiannya untuk “nggebuki” kraton.
Keduanya sangat merugikan bagi kraton, salah satunya termasuk merugikan keuangan negara. Tetapi, itu bisa dipandang sebagai bagian dari upaya “menenggelamkan” kapal besar bernama “Kratron Mataram Surakarta”, terutama dari sudut pencitraan di mata warga peradabaan secara luas. Maka, di dalamnya terjadi banyak pembelokan makna, fakta dan data.
Melalui praktik-praktik semacam itu, adalah bentuk atau cara halus kesewenang-wenangan kekuasaan dalam memperlakukan kraton-kraton di Tanah Air, terutama Kraton Mataram Surakarta. Dan itu bisa dipandang sebagai bagian dari proses penghapusan keberadaan lembaga-lembaga masyarakat adat dengan segala pengaruh, jasa dan manfaatnya, secara pelan-pelan.
Dengan kesewenangan dan berbagai praktik yang dilakukan itu, maka ketika Gusti Moeng mendapat pertanyaan “Apa untungnya Kraton (Mataram) Surakarta bergabung ke NKRI”, tentu dijawab dengan tegas dan tandas “tidak ada” (keuntungannya). Dalam sesorahnya yang dikalukan di berbagai tempat ditandaskan pula, “kerugian besar” selama kraton bergabung ke NKRI.
“Rugi besar!. Kraton malah tidak terurus, dibiarkan hansur dan entek-entekan (habis-habisan). Karena itu tadi. Di mana-mana, tingkah dan nasfunya seperti yang ada di dalam ‘Goa Kiskindha’. Dengan ambisi dan ketamakannya, mereka berebut buah. Karena, mumpung berkuasa. Mumpung ada di gedung Senayan. Dan ketahuilah, sebenarnya NKRI tidak punya apa-apa”.
“Yang punya semua aset dan kekayaannya itu masyarakat adat kraton, kesultanan, kedatuan dan sebagainya yang jumlahnya waktu itu 250-an. Tetapi setelah tahun 1945 tinggal 50-an. Jadi, kraton-kraton itu habis. Satu demi satu mati karena ‘ngenes’. Aset kekayaan mereka juga habis, dijarah para penghuni ‘Goa Kiskendha’ itu,” tandas Gusti Moeng menunjukkan.
Fakta yang terjadi setelah tahun 1945, akibat langsung atau tidak langsung memang sudah sulit dihindari kalangan lembaga masyarakat adat kraton, kesultanan, kedatuan dan sejenisnya yang masih bertahan atau tersisa. Artinya, apapun perlakuan yang sudah terjadi di muka atau di awal, berbagai akibat yang ditimbulkan hanya bisa “dinikmati”, kini dan mendatang.
Karena kraton-kraton se-Nusantara sudah tidak punya kedaulatan terutama di bidang politik dan ekonimi, memang sudah sulit melakukan perlawanan yang sifatnya “menentang” secara frontal. Yang bisa dilakukan tinggal upaya-upaya penyadaran, edukasi dan pelan-pelan meluruskan yang bengkok atau menyimpang serta menempatkan posisi yang tidak tepat menjadi tepat.
Selain kebutuhan atau apa saja yang berhubungan dengan warga peradaban secara luas, lembaga-lembaga masyarakat adatnya juga perlu memanfaatkan celah-celah kesempatan untuk mendapatkan posisi hukum yang setara dalam supremasi hukum di Tanah Air. Yaitu mendapatkan legal standing di dalam sistem hukum nasional, yang juga berlaku dalam sistem hukum internasional.
Oleh sebab itu, Gusti Moeng juga menjelaskan di depan lima mahasiwa PKM Unair Surabaya itu, bahwa Kraton Mataram Surakarta kini memiliki payung hukum secara nasional melalui keputusan Mahkamah Agung (MA) No.87/Pdt/G/2019/PN Skt (Ska-Red) bertanggal 29 Agustus 2022, yang ditetapkan di Pengadilan Negeri (PN) Surakarta, medio tahun 2023 lalu.
Dengan payung hukum yang menegaskan Lembaga Dewan Adat (LDA) yang dipimpin Gusti Moeng itu, sah secara hukum sebagai lembaga yang melindungi kraton dengan segala aset kekayaannya di mana saja, di dalam dan di luar negeri, sedang dikuasai orang lain atau dalam penguasaan kraton, sedang dikelola pihak lain atau dalam pengelolaan kraton.
“Nah, kalau anda pernah mendengar berita penguasa di (kraton) Jogja sedang rebutan tanah denga kantor agraria (BPN-Red) di wilayah Jogja sana, yang diperebutkan adalah tanah-tanah Kraton Mataram Surakarta. Karena, riwayatnya tanah yang dijadikan kraton dan lingkungannya, dulu dipinjamkan oleh Sinuhun PB III (1749-1788) alias berstatus ‘hanggadhuh”.
“Mereka berlomba-lomba untuk menyertifikatkan tanah-tanah aset Kraton Mataram Surakarta itu. Karena, mereka punya dana keistimewaan besar sekali. Salah satunya, dimanfaatkan untuk membiayai sertifikasi tanah yang bukan miliknya itu. Ini kami sadari sebagai cara-cara kekuasaan mengadu-domba di antara kami. Agar ngenes, hancur satu demi satu,” tunjuk Gusti Moeng.
Kesewenangan kekuasaan dalam masalah itu, adalah hasil memaknai konsep “Sapa Sira, Sapa Ingsun” di masa kini, yang banyak diadopsi dan dilakukan penguasa di berbagai tingkatan. Konsep kearifan itu, kini jatuh ditangan orang-orang yang tidak tepat, karena memaknai secara salah dan digunakan untuk “menghancurkan” yang “dianggap mengganggu” dan tidak mendukung.
Konsep “Sapa Sira, Sapa Ingsun”, seharusnya dipahami dan didudukkan pada konteks zamannya. Ketika cara memaknainya tepat, akan menjadi bentuk edukasi yang baik. Konsep itu adalah perpaduan antara logika, etika dan estetika. Misalnya dalam hubungan persaudaraan dalam keluarga, di situ ditunjukkan bahwa masing-masing punya hak, tanggungjawab dan kewajiban. (Won Poerwono-habis/i1)