Jenis Seni Musik Karawitan Islami yang Khas Mataram Surakarta, Hasil Pertautan Akulturatif
IMNEWS.ID – RAJA Mataram Surakarta ke-5 yaitu Sinuhun (SISKS) Paku Buwana (PB) V, atau “Raja Mataram” ke-11 bila dihitung dari Panembahan Senapati sebagai “Raja Mataram” ke-1, menyebut karya “musik karawitan religinya” sebagai “Singiran” atau “Laras Madya”. Kesenian ini mirip “Syi’ir” yang berkembang di Jepara dan “Gembrungan” yang masih ada di Kabupaten Ponorogo.
Selain buku “Sinuhun Sugih” berisi karya-karya “Gendhing” Sinuhun PB V (1820-1823), KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro (iMNews.id, 10/4), banyak referensi dari Dr Purwadi (peneliti sejarah dari Lokantara) yang pernah menulis buku “Sejarah Budaya Kabupaten Klaten”, juga ratusan judul buku sejarah dan hasil kajian sejarah Mataram dan Mataram Surakarta.
Dari buku “Sinuhun Sugih” yang ditulis RM Soemantri Soemosapoetro, kemudian kesenian Santiswaran yang didapati Dr Purwadi menjadi “idola” Pakasa Cabang Klaten sebagai materi latihan dan pengisi acara pertemuan, memiliki kemiripan dengan yang pernah ditemukan Dr Joko Daryanto dari hasil penelitiannya di bidang karawitan.
Bahkan KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo MFil-I abdi-dalem “Kanca Kaji” yang sehari-hari mengajar di STAIN Ponorogo itu, juga menemukan banyak data sejarah dari penelitiannya tentang karya-karya para Raja Mataram dan Pujangga Mataram Surakarta, khususnya yang berkaitan dengan religi (Islam) yang menjadi cirikhas dan simbol Mataram hingga Surakarta.
Ketika dianalisis, semua temuan dan ungkapan beberapa tokoh di atas terungkap bahwa kesenian Jawa salah satunya adalah seni musik karawitan, sejak proses perkembangannya ada banyak titik persentuhan dengan ajaran religi saat syi’ar Islam terjadi khususnya di pulau Jawa dan dilakukan para Wali Sanga.
Dalam proses perkembangannya, antara seni karawitan (kesenian Jawa) dan (musik) religi, masing-masing berkembang paralel di jalurnya, tetapi ketika ada titik persentuhan, berkembang bersama-sama sebagai proses akulturasi. Dan Seni Singiran, Santiswaran, Laras Madya, Seni Syi’ir dan “Gembrungan”, jelas merupakan karya seni musik yang spesifik bercirikan religi.
“Dalam Serat Centhini (karya Sinuhun PB V) menceritakan pertunjukan seni Shalawatan. Sedangkan alat musik yang digunakan adalah terbang kecil, hadrah, samroh, banjari dan sebagainya. Bahkan ketika Pujangga Ranggawarsita (1813) menjadi santri di Pondok (Gebang Tinatar) Tegalsari, Ponogoro, malah berkembang seni tari “Rodat”, karena pengaruh Kraton Demak.
“Tetapi persisnya mulai kapan istilah seni Laras Madya dan Santiswaran itu muncul, saya belum menemukan data infonya. Tetapi mungkin saja, sejak musik karawitan berkembang ke dalam dua jenis laras, Slendro dan Pelog, mungkin bersamaan itu mulai muncul Santriswaran,” tutur KRT Ahmad Faruq MFil I, saat dimintai konfirmasi iMNews.id, siang tadi.
Dari hasil temuannya, seni vokal Jawa yang berupa tembang-tembang “Macapat”, banyak menampung karya-karya “piwulang” dari Serat Wulangreh karya Sinuhun PB IV (1788-1820). Sedangkan karya-karya “piwulang” tokoh penerusnya, Sinuhun PB V, banyak masuk ke seni Laras Madya atau Santiswaran, yang dalam buku “Sinuhun Sugih” disebut “Seni Singiran”.
Dari data penelitian dan kajian beberapa tokoh di atas bisa simpulkan, bahwa karya-karya “Sastra Piwulang” dari dua tokoh “Bapak dan Anak” yaitu Sinuhun PB IV dan Sinuhun PB V (1820-1823), dari sisi perkembangan seni bisa dilihat bahwa seni tembang (vokal) Macapat di satu sisi dan seni musik Laras Madya/Santiswaran di sisi lain, berasal dari kedua tokoh ini.
Kedua jenis seni dari dua “tokoh seniman besar” Mataram Surakarta, masing-masing berkembang secara aralel di jalurnya, tetapi diyakini juga terjadi persentuhan yang memperkaya perbendaharaan dan keragaman. Karena, sosok tokoh Pujangga Ranggawarsita yang hidup pada zaman dua Sinuhun, karya-karyanya juga memperkaya kedua jenis seninya, khususnya di pada lirik gendhing.
Khusus mengenai instrumen alat musiknya, data sejarah dan kajian yang dilakukan khususnya para tokoh di atas, ketika dianalisis juga memiliki pertautan dalam proses perkembangannya dalam perjalanan sejarah karawitan Jawa, khususnya gaya Surakarta. Pertautan yang akulturatif, khususnya terletak pada seni Laras Madya atau Santiswaran itu.
KRT Ahmad Faruq menyebut, dalam seni “Gembrungan” yang berkembang di Kabupaten Ponorogo sejak zaman Kraton Demak (abad 15), menyebut ada instrumen ketipung atau kendang kecil, kemudian terbang kecil dan besar. Tetapi, ketika menjadi seni Laras Madya atau Santiswaran yang dimulai dari Kraton Mataram Surakarta, ditambah dengan dua instrumen “Kemanak” dalam dua jenis nada.
Dosen pengajar di FKIP UNS, Dr Joko Daryanto MSn menyebut, instrumen “Kemanak” tidak disebut berasal dari zaman/tahun berapa, tetapi diadopsi untuk keperluan menentukan titi nada oleh “vokalis” atau “pesinden”. Tetapi, Seni Santiswaran tidak ada hubungannya dengan iringan Bedhaya Ketawang, walau sama-sama menggunakan instrumen “Kemanak”.
“Gamelan (karawitan) iringan tari Bedhaya Ketawang sama dengan gamelan Lokananta, yang menunjuk pada ‘Kemanak’ sebagai instrumen utama. Pada zaman Sinuhun PB IV, ‘Kemanak’ menjadi panduan titi nada (vokalis) yang nembang. Tetapi, keduanya tidak ada hubungannya,” tegas Dr Joko Daryanto, abdi-dalem karawitan kantor Pengageng Mandra Budaya, menjawab iMNews.id, kemarin. (Won Poerwono-bersambung/i1).