Seni Santiswaran, Karawitan Laras Madya, “Lelagon Singiran” yang Juga Seni Syi’ir (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:April 10, 2024
  • Post category:Budaya
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Seni Santiswaran, Karawitan Laras Madya, “Lelagon Singiran” yang Juga Seni Syi’ir (seri 1 – bersambung)
BANYAK SIMBOL : Upacara adat hajad-dalem Malem Selikuran, memiliki banyak simmbol yang menjadi kekhasan ritual milik Kraton Mataram Surakarta ini. Selain wujud prosesinya, di dalamnya juga ada unit seni Santiswaran yang dimainkan secara live sambil berjalan, dari kraton menuju Masjid Agung. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Satu di Antara Sejumlah Karya Sinuhun PB V, Bahkan Karya Semasa Berstatus Putra Mahkota

IMNEWS.ID – SETIAP datang upacara adat “Malem Selikuran”, satu di antara beberapa daya tarik dalam prosesi hajad-dalem menyambut “lailathul Qadar” atau “Turunnya Wahyu Illahi” itu, adalah suara musik yang unik dan khas sekali. Karena, musik bisa didengar publik secara luas saat ritual itu digelar, mulai keluar dari kraton sampai di Masjid Agung.

Ada satu lagi musik sejenis itu atau punya kemiripan hanya karena faktor jenis instrumennya yang sama, yaitu musik karawitan pengiring tarian sakral “Bedaya Ketawang”. Musik ini jelas lebih langka dan sulit bisa didengar publik secara luas, karena hanya diperdengarkan saat mengiringi tarian sakral tersebut, untuk ritual tingalan jumenengan di Pendapa Sasana Sewaka.

Sedangkan yang menjadi sajian tunggal pada upacara adat “Malem Selikuran”, musik itu bisa didengar mulai saat barisan prosesi berkumpul di tempat “pisowanan”, yaitu di Bangsal Smarakata, sebagai persiapan atau pengantar kirab. Di tahun lalu, semua instrumen musiknya yang sangat sederhana atau “ringkas” ini, digendong untuk ditabuh sambil berjalan kaki.

GENERASI SEPUH : Inilah unit kesenian milik Kraton Mataram Surakarta sebagai salah satu simbol ikonik dalam upacara adat Malem Selikuran yang digelar di bulan Ramadhan, beberapa tahun lalu. Generasi sepuh seniman Santiswaran itu, memainkan secara live dalam prosesi kirab dari kraton menuju Masjid Agung. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Instrumen musik unik yang bisa dimainkan sambil “mobile” atau bergerak itu, antara lain dua buah kemanak, kendang dan beberapa rebana atau “terbang”. Namun, untuk ritual “Malem Selikuran” pada tanggal 21 Pasa Tahun Jimawal 1957 atau 21 Ramadhan Tahun Hijriyah 1445 ini, baik saat berkumpul maupun prosesi kirab berjalan, musik itu tidak ditabuh.

Musik unik dan spesifik karena menjadi bagian dari gaya musik karawitan Surakarta dan berasal atau bersumber dari Kraton Mataram Surakarta ini, pada ritual “Malem Selikuran” tahun 2024 yang digelar “Bebadan Kabinet 2004”, Minggu malam (31/3) itu, hanya diperdengarkan atau dimainkan di sela-sela ritual sebelum dan sesudah doa wilujengan di Masjid Agung.

Jenis musik satu-satunya yang khas Surakarta dan berasal dari Kraton Mataram Surakarta itu, disebut musik karawitan “Laras Madya” atau Santiswaran. Dari seorang sentana-dalem, KPP Nanang Soesilo Sindoeseno Tjokronagoro dan abdi-dalem karawitan Kantor Pengageng Mandra Budaya, Dr Joko Daryanto juga peneliti sejarah Dr Purwadi, banyak bercerita tentang jenis musik ini.

MENGHANGATKAN SUASANA : Unit kesenian Santiswaran yang unik, ikonik dan simbolik religi itu, menghangatkan suasana saat persiapan di Bangsal Smarakata dengan gendhing-gendhing karya Sinuhun PB V, sebelum menuju pusat upacara adat Malem Selikuran di kagungan-dalem Masjid Agung, tahun 2023. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

KPP Nanang mengungkapkan, buku berjudul “Sinuhun Sugih” yang ditulis RM Soemantri Soemosapoetro dan diterbitkan Paguyuban Darah-Dalem Sinuhun Pakoe Boewono V Surakarta itu, mengungkapkan banyak fakta dan data kekayaan sejarah dan seni-budaya (Jawa) karya “Raja” Mataram Surakarta Sinuhun PB V (1820-1823) itu. Salah satunya, adalah “Lelagon Singiran”.

“Jadi, banyak sekali karya komposisi seni karawitan dan gendhing-gendhing Jawa yang dihasilkan Eyang Sinuhun PB V. Termasuk, Lelagon Singiran yang kemudian menjadi gendhing-gendhing yang diiringi seni (musik) Laras Madya. Isi syairnya, tentang ajaran-ajaran (agama) tentang kebajikan yang diambil dari ayat-ayat suci (Alqur’an)”.

“Gendhing-gendhing dan musik karawitan selain Santiswaran, jumlahnya banyak. Sejak medsos marak, banyak YoutTube berisi gendhing-gendhing itu beredar, dengan judul yang masih sama. Tetapi, sama sekali tidak menyebutkan asal-usul penciptanya. Padahal, itu karya Sinuhun PB V,” tunjuk KPP Nanang, trah darah-dalem Sinuhun PB V, menjawab pertanyaan iMNews.id.

GENDHING-GENDHING RELIGI : Para Raja dan Pujangga Kraton Mataram Surakarta, memiliki banyak jenis karya kearifan luar biasa pada ritual Malem Selikuran. Salah satunya, adalah kesenian Santiswaran yang khusus menyajikan gendhing-gendhing berisi spiritual religi karya Sinuhun PB V. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Seorang sentana-dalem trah Sinuhun PB V yang tinggal di Kelurahan “Singandaka” atau Sondakan itu, dalam beberapa kali percakapan melalui nomer WA, banyak menjelaskan perihal ketokohan Sinuhn PB V kepada iMNews.id. Kehebatannya itu menurun dari sang ayah, Sinuhun PB IV, karena karya-karyanya di bidang seni budaya, sarat berisi ajaran agama untuk tuntunan kehidupan.

Selain “Serat Centhini” yang juga memuat lebih dari 100 jenis dan nama kuliner khas Surakarta yang ditemukan tokoh leluhurnya, yaitu Sinuhun PB II (1727-1749) semasa masih berada di Kartasura Ibu Kota “negaranya” (Mataram Kartasura), ada sejumlah karya komposisi karawitan dan gendhing-gendhing yang hingga sekarang masih dipelihara dalam masyarakat Jawa.

Di antara sejumlah karya di bidang karawitan itu, berjudul Gendhing “Ladrang Ayun-ayun” (Laras Pelog 6), yang oleh Pujangga RT Yosodipuro I dilukiskan dalam kata bijak “Rukun Agawe Santosa, Crah Agawe Bubrah”. Juga gendhing “Ladrang Gegot” dan 8 gendhing “Bonangan Majemuk” Laras Pelog 5, yang kemudian dijadikan pengisi jeda setelah gendhing Sekaten ditabuh.

BEKAL RENUNGAN : Gendhing-gendhing bernuansa spiritual religi sebagai tuntunan kehidupan karya Sinuhun PB V, disajikan di sela-sela berlangsungnya upacara adat Malem Selikuran. Syairnya dalam bahasa Jawa, menjadi penghantar dan bekal renungan sehabis mengikuti ritual di Masjid Agung. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Karya-karya Sinuhun PB V itu, jelas menurun “sangat tebal” dari dari ayahandanya, Sinuhun PB IV (1788-1820) yang juga seorang “seniman” sekaligus Pujangga dengan karyanya “Serat Wulangreh”. Walau masa jumeneng nata sangat singkat (1820-1823), tetapi karya-karya Sinuhun PB V sudah dimulai sebelum jumeneng nata atau masih sebagai putra mahkota bergelar Pangeran Adipati Anom.

Bahkan, putra mahkota yang terlahir bernama GRM Suhandhi dari ibu KRAy Handoyo (Handaja-Red) ang tak lain adalah putri RT Adipati Tjakra Adiningrat dari Kadipaten Pamekasan, Madura itu, sudah menciptakan karya luar biasa saat ayahandanya masih jumeneng nata. Yaitu menciptakan keris pusaka Kiai Kaget yang “ditandatangani” sendiri dan keris Kiai Brajaguna.

“Saat masih berstatus Pangeran Adipati Anom, beliau juga menciptakan perahu berukuran besar (saat itu-Red), yang diberi nama ‘Baita Gembong Kiai Rajamala’. Canthiknya (ujung haluan-Red), berupa Gupala Kiai Rajamala, seperti yang tersimpan di Museum Radya Pustaka, Sriwedari, dan duplikatnya ada di Pesanggrahan Langenharjo,”  tunjuk KPP Nanang. (Won Poerwono – bersambung/i1)