“Tensi Ketegangan” Menurun, Sudah Hampir Kembali ke “Jalan yang Benar”
IMNEWS.ID – TANGGAL 25 Rejeb/Rajab tahun Jimawal 1957 atau Hijriyah 1445 yang tepat pada Selasa Pon, 6 Februari, menjadi peristiwa bersejarah dalam perjalanan Kraton Mataram Surakarta di bawah “kepemimpinan” Sinuhun Suryo Partono (PB XIII-Red). Karena, pada hari itu digelar ritual tingalan jumenengan untuk kali kedua di era “Gusti Moeng Kondur Ngedhaton”.
Mengapa kali kedua di era “Gusti Moeng Kondur Ngedhaton”? Karena, tanggal 17 Desember 2022 ada peristiwa penting bagi Kraton Mataram Surakarta, karena ada “insiden Gusti Moeng Kondur Ngedhaton” setelah lebih lima tahun “berjuang” di luar kraton sejak ada “insiden mirip operasi militer” yang terjadi pada 15 April 2017.
Karena 17 Desember 2022 ditandai Gusti Moeng dengan “kondur ngedhaton” merupakan peristiwa penting, maka sejak itu “Bebadan Kabinet 2004” menjalani era baru. Era yang lahir setelah perjalanannya terputus di tahun 2017, akibat “insiden mirip operasi militer”. Mulai akhir tahun 2022 itu, “Bebadan Kabinet 2004” memasuki era baru, kembali bertugas penuh di dalam kraton.
Oleh sebab itu, 25 Rejeb tahun Jumawal 1957 atau 6 Februari 2024 lalu merupakan kali kedua “Bebadan Kabinet 2004” menggelar upacara adat tingalan jumenengan ke-20 Sinuhun Suryo Partono, setelah yang perdana atau kali pertama digelar pada 25 Rejeb Tahun Je 1956 atau 16 Februari 2023.
Kalau tingalan jumenengan di “Era Gusti Moeng Kondur Ngedhaton” kali pertama mengangkat “tema perdamaian”, di kesempatan ritual ulang tahun tahta “raja” kedua tahun ini juga kurang-lebih sama temanya, yaitu meneruskan proses “perdamaian”. Kata ini menjadi label atau tema, karena sebelum tingalan jumenengan, didahului dengan peristiwa “perdamaian”.
Tanggal 3 Januari 2023, terjadi peristiwa “perdamaian” antara Sinuhun Suryo Partono dengan adiknya, GKR Wandansari Koes Moertiyah yang akrab disapa Gusti Moeng itu. “Peristiwa perdamaian” antar pribadi masih berproses keras saat berlangsung ritual tingalan jumenengan kali pertama, 16 Februari yang hanya berjarak sekitar sebulan dari peristiwa 17 Desember 2022.
Proses “perdamaian” di tingkat pucuk pimpinan diharapkan terus berproses dan diikuti jajaran masing-masing sampai ke tingkat bawah, karena baik Sinuhun Suryo Partono maupun GKR Wandansari Koes Moertiyah selaku Pengageng Sasana Wilapa juga Pangarsa Lembaga Dewan Adat, punya “gerbong” pengikut setia di belakangnya yang akan bersama bekerja kembali di dalam kraton.
“Flashback” kisah perjalanan kraton dengan momentum tingalan jumenengan, bisa menjadi tolok ukur proses “perdamaian” yang berjalan pada ritual ulang tahun tahta kali kedua di tanggal 25 Rejeb tahun Jimawal 1957 atau 6 Februari lalu. Melihat indikator-indikator yang muncul dalam pelaksanaan kemarin, tampak ada progres positif hasil “perdamaian” tersebut.
Kalau pada tingalan jumenengan kali pertama di era “Gusti Moeng Kondur Ngedhaton” masih terlihat beberapa insiden terjadi, pada ritual tingalan kedua di era baru “Bebadan Kabinet 2004” kemarin hanya tampak satu insiden kecil saja. Yaitu Sinuhun yang tampak kesal, marah dan mendengkus. Itu sangat manusiawi, akibat “gangguan kesehatan” serius di usianya 70-an tahun.
Pada ritual tingalan “era baru” Bebadan Kabinet 2004 yang berlangsung kemarin, sudah tidak nampak ada insiden barisan prajurit di “seberang”, “njegot” tidak mau bergabung dengan para prajurit pengikut setia Gusti Moeng. Kemarin juga tidak tampak insiden para penari Bedaya Ketawang dari “seberang” memaksakan diri tampil, ingin melampaui otoritas Gusti Moeng.
Dalam upacara adat tingalan di “era baru” kemarin, juga tidak tampak ada orang yang menokohkan diri sebagai “siluman GKR” dan duduk bertengger di atas kursi “menyaingi” Sinuhun yang sedang duduk di atas “dampar” (singgasana-Red) dalam “pasewakan”. Suasana dan pemandangan “pasewakan tingalan” kemarin, sudah nyaris pulih kembali pada kewibawaan, harkat dan martabat semula.
Kata “nyaris” atau “hampir”, bisa dipandang sebagai masih ada sedikit yang tersisa. Karena, berbicara soal kembalinya kewibawaan, harkat dan martabat kraton secara adat terutama untuk urusan internal, memang masih ada sisa-sisa yang pada saatnya akan terselesaikan tuntas. Apalagi berbicara soal “perdamaian”, tentu masih menjadi tantangan berat.
Meski begitu, melihat suasana dan pemandangan secara umum di “pasewakan” dan jalannya ritual tingalan kali kedua, tensi ketegangan antara “kedua pihak” yang pernah berseberangan dan kemudian “berdamai”, sudah sangat jauh menurun dibanding tingalan kali pertama (tahun 2023). Sudah hampir “kembali ke jalan yang benar”, adalah istilah yang mendekati riil dan tepat.
Karena suasana dan pemandangan umum pasewakan dan jalannya ritual sudah nyaris pulih, itu bisa dipahami sebagai hasil dari proses persesuaian atau “perdamaian” yang sangat mungkin terjadi selama setahun ini. Antara lain, pemahaman yang baik soal posisi legal formal kelembagaan kraton dan elemen-elemen yang memiliki otoritas atas kraton dan fungsi-fungsinya.
Tetapi, juga sangat mungkin terwujud akibat “menghilangnya” beberapa oknum yang sebelumnya menjadi “aktor eksekutor” pada berbagai peristiwa perusakan tata-nilai paugeran adat. Proses ini seiring dengan menguatnya legal formal posisi hukum kraton dan Lembaga Dewan Adat, dengan terbitnya keputusan Mahkamah Agung (MA) No 87/Pdt.G/2019/PN.SKt tertanggal 29 Agustus 2022.
(Won Poerwono-bersambung/i1)