“Keluarga” Sunan Kudus dan Bupati Lamongan, Modal Utama untuk Mendirikan Mataram Surakarta
IMNEWS.ID – KELUARGA besar Sunan Kudus yang menurunkan Bupati Kudus, Raden Adipati Tirtokusumo atau generasi keenam dari Sunan Kudus, menjadi elemen yang memperkuat beberapa sisi karakter garis keturunan raja-raja Mataram, terutama kultur Islam yang “njawani”. Yaitu ketika putri Bupati Kudus yang bernama GKR Kencana, diperistri Sinuhun Amangkurat IV (1719-1727).
Raja Mataram ke-8 yang juga disebut Sinuhun Amangkurat Jawa di Kartasura sebagai Ibu Kota baru, telah “berbesanan” dengan Bupati Kudus, R Adipati Tirtokusumo yang jelas mewarisi darah salah satu tokoh Wali Sanga itu. Dari garwa prameswari GKR Kencana itu pula, lahir seorang putra mahkota bernama RMG Suryoputro yang kemudian bertahta sebagai Sinuhun PB II.
Ketokohan Sinuhun PB II menjadi kisah ilustrasi yang menarik, karena tokoh yang satu ini adalah jelas-jelas pendiri “nagari” Mataram Surakarta atau Kraton Mataram yang berIbu-Kota di Surakarta Hadiningrat pada tahun 1745. Dan sang permaisuri yang bernama GKR Emas (Hemas-Red), adalah seorang putri Bupati Lamongan, yang dikenal sebagai pengusaha minyak bumi, waktu itu.
“Jadi, gagasan-gagasan cemerlang Sinuhun PB II (1727-1749) untuk membangun Ibu Kota negara Mataram di Surakarta Hadiningrat, itu bukan hal sepele. Kalau dikonversi, derajat kebutuhannya mungkin sama dengan proses pembangunan IKN sekarang ini. Tetapi, modalnya dari sang ibu, GKR Kencana dan sang prameswari (permaisuri), GKR Emas. Jadi, tidak main-main. Serius sekali”.
“Ini yang tidak pernah dipahami semua elemen bangsa ini. Bahkan dilupakan, atau malah disepelekan. Karena modal dari kedua keluarga pengusaha itu, Sinuhun PB II bisa membiayai pembangunan Ibu Kota negara Mataram Surakarta. Keluarga besan di Kudus, adalah pengusaha sukses. Karena saat itu, Kudus sudah menjadi kota industri dan bisnis,” jelas Dr Purwadi menjawab iMNews.id.
Peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja yang masih melakukan kajian terhadap semua hasil penelitiannya, khusus tentang Mataram Surakarta ini, banyak memberi referensi iMNews.id. Termasuk kajian sejarah tentang kota Kabupaten Kudus sejak zaman Sunan Kudus, hingga punya hubungan kekeluargaan dengan Mataram Kartasura sampai Mataram Surakarta saat ini.
“Barang-barang yang keluar masuk ke Kabupaten Kudus sejak zaman Sunan Kudus, melalui pelabuhan niaga Lasem (Kabupaten Rembang). Komoditasnya bermacam-macam, dari mebel ukir, kebutuhan industri dan juga produk daerah sekitar seperti kayu jati, poduk ukir (Jepara) dan Grobogan (kecap). Jadi, Sinuhun PB II itu didukung keluarga pengusaha kuat,” tunjuk Dr Purwadi.
Mengenai data-data dan informasi yang mulai dirasakan sangat berbeda jauh itu, diakui KRA Panembahan Didik Gilingwesi Hadinagoro sejak dirinya mendapat sebuah silsilah yang menyebut eksistensi tokoh GKR Kencana, putri Bupati Kudus yang juga trah darah-dalem Sunan Kudus. Sebelumnya, banyak informasi yang hanya mengisahkan Sunan dari sisi syi’ar agamanya saja.
“Setelah mendapat silsilah itu, saya menjadi bertanya-tanya, benarkah keluarga kami ini adalah juga bagian dari keluarga Kraton Mataram? Karena, data dan informasi serta pemberitaan yang sebelumnya saya terima, hanya berupa kisah dari sisi Sunan Kudus di bidang keagamaan saja. Hal-hal yang berkait dengan kraton, seakan-akan disembunyikan,” tunjuk KRA Panembahan Didik.
Sampai beberapa waktu setelah jatuh terpeleset di kamar mandi, sekitar tiga hari lalu, yang membuatnya hingga kini merasakan kesakitan punggungnya bila duduk walau hanya 5 menit, KRA Panembahan Didik masih terus berbincang-bincang dengan iMNews.id melalui WA. Dalam posisi cedera, ia masih banyak mengungkapkan kegembiraan dan kebanggaannya menjadi bagian dari kraton.
Dia juga mengaku, di masa kecilnya bersama enam saudara kandungnya, diasuh kedua orang-tua yang berniaga kayu jati, hingga suatu saat bangkrut. Dalam kondisi ekonomi yang terpuruk itu, ayahnya “terpaksa” menyembunyikan identitas keluarga trah Sunan Kudus. Huruf “R” di depan nama Soekardjin yang artinya “Raden”, diubah menjadi “Ramelan” Sukardjin sampai akhir hayat.
“Dari beberapa informasi yang muncul, banyak saya pelajari. Termasuk, dari barang-barang tinggalan kakek saya (R Kartowi Djojo Soerat). Di antaranya foto-foto pisowanan, silsilah eyang Sunan Kudus, juga Alqur’an dari daun Lontar dan kulit Kerbau. Saya juga ingat di waktu kecil, sering diajak kakek sowan ke kraton,” sebut anak keempat dari tujuh bersaudara itu.
Berbagai informasi dari berbagai sumber itu, ternyata banyak menginspirasi KRA Panembahan Didik untuk mencari dan menemukan jati diri secara lengkap, baik sebagai trah Sunan Kudus maupun bagian dari keluarga besar Kraton Mataram Surakarta. Dan itu pula yang menjadi dorongan kuat untuk mendedikasikan hidupnya, demi pelestarian budaya, pendidikan agama dan kraton.
Kini, KRA Panembahan Didik sedang menanti pengukuhan pengurus lengkap Pakasa Cabang Kudus, agar dirinya menjadi Ketua cabang secara penuh. Karena, setelah didaftarkan di Kantor Kesbangpol Pemkab Kudus, Pakasa cabang akan segera menindaklanjuti dengan mengedukasi seluruh jajaran pengurus hingga anak cabang (Ancab) dan warganya, agar menguasai budaya Jawa dan sejarah kraton.
Cita-cita KRA Panembahan Didik itu, merupakan hal yang fenomenal dan sangat ideal saat ini. Semangat dan komitmennya seakan dituntun oleh kecerdasannya memaknai peninggalan Sunan Kudus, berupa kitab Alqur’an dari bahan daun lontar berukuran jumbo, juga yang ditulis pada kulit kerbau, yang kini dirawat baik sang nenek, Nyi MT Hj Tarmini Budyaningtyas (85). (Won Poerwono-habis/i1).