“Mengancam Akan Menembak Pengkhianat”, Tetapi Justru Berkhianat, Menjadi Refleksi yang Menarik
IMNEWS.ID – DONGA wilujengan genap setahun “Bebadan Kabinet 2004” bisa kembali bekerja secara penuh di dalam Kraton Mataram Surakarta (iMNews.id, 20/12), sebenarnya merupakan ekspresi ungkapan rasa syukur segenap jajaran “Bebadan” setelah “berdarah-darah” berjuang di luar kraton, dan kemudian “dibukakan jalan” untuk kembali “berkarya” di dalam kraton.
Namun, karena objek yang dijadikan refleksi adalah peristiwa “Insiden Gusti Moeng Kondur Ngedhaton” 17 Desember 2022 sebagai proses kelanjutan atau hasil akhir dari penutupan kraton selama lebih lima tahun, April 2017-Desember 2022, isi refleksinya menjadi melebar jauh dan luas. Terlebih, ketika menunjuk peristiwa yang terjadi pada 15 April 2017.
Peristiwa “insiden mirip operasi milter” yang dilakukan 2 ribuan personel polisi dan 400-an personel tentara pada 15 April 2017, adalah bagian dari rentetan peristiwa yang terjadi kemudian di kraton. Sebaliknya, peristiwa yang disebut Gusti Moeng “pasti digerakkan” (diperintah-Red) pemerintah itu, adalah rentetan atau kelanjutan dari peristiwa-peristiwa sebelumnya.
Hukum kausalitas jelas tepat untuk melukiskan rentetan panjang peristiwa yang pernah terjadi di kraton, sejak proses suksesi di tahun 2024 itu. Dan friksi atau “ontran-ontran” di sekitar tampilnya Sinuhun Suryo Partono menggantikan Sinuhun PB XII, banyak yang meyakini karena rivalitas di antara para pemimpin sebelumnya di masa lalu, sebagai salah satu penyebabnya.
Di luar forum “ngudarasa” pada saat “donga wilujengan” 17 Desember 2023 itu, refleksi bisa menjadi flashback lebih jauh lagi ke belakang. Karena, peristiwa “ontran-ontran” pada suksesi 2004, tidak bisa dielakkan dari faktor penyebabnya sebagai salah satu unsur, yaitu sebagai ekspresi ketidakpuasan kalangan kerabat yang belum bisa menerima tampilnya Sinuhun PB XII.
Seperti sudah menjadi rahasia umum, bahwa peristiwa suksesi tampilnya GRM Suryo Guritno menjadi Sinuhun PB XII di tahun 1945, sangat tidak dikehendaki oleh kalangan kerabat dari rivalnya kelompok “Kusumadiningratan”. Dan sengitnya proses rivalitas calon pemimpin Mataram Surakarta itupun, berasal dari rivalitas saat Sinuhun PB XI tampil di tahun 1939.
Sebenarnya, soliditas putra/putri-dalem Sinuhun PB XII sudah pernah terwujud mantap, ketika KGPH Tedjowulan “menyatakan sumpahnya” . Dia mengancam akan menembak kepala siapapun yang ingkar janji atau berkhianat dari kesepakatan mendukung Suryo Partono. Tetapi, sumpah tinggal sumpah. Janji, juga tinggal janji. Karena, “ludah dijilat lagi dan ditelan”.
Sumpah dan janji yang dilakukan sambil menggebrakkan pistol di atas meja di forum rapat khusus putra/putri-dalem Sinuhun PB XII sekitar bulan Juni 2004, jauh sebelum yang bersangkutan menjadi Sinuhun PB XIII “tandingan” itu, akhirnya luntur juga. Saat dirinya ditugaskan untuk meyakinkan Suryo Partono sebagai calon Sinuhun PB XIII di Jakarta, sikapnya berubah.
Setelah mendapat bujuk-rayu dari keluarga kerabat di Jakarta yang punya riwayat bagian dari rivalitas di masa lalu, juga karena seorang jenderal TNI yang bertemu di rumah kerabat itu, yang bersangkutan berubah menjadi bagian yang pernah diancamnya sebagai potensi pengkhianatan dan ingkar janji.
“Semula, saya dan yang lain sangat yakin, bahkan sempat terkagum-kagum melihat sikap yang bersangkutan. Tampak begitu ikhlas dan gigih membela kesepakatan yang sudah diambil. Yang bersangkutan mengancam akan menembak kepala yang berkhianat dan ingkar janji tidak mendukung calon yang berhak (Sinuhun Suryo Partono-Red), ‘kan terdengar mengejutkan. Luar biasa”.
“Eeee, ternyata malah dia sendiri yang berkhianat. Sikapnya berubah setelah bertemu seorang jenderal TNI dan seorang kerabat di Jakarta. Tiga pejabat bebadan yaitu Pengageng Keputren, Pengageng Kasentanan dan Pengageng Parentah Kraton, mendahului menobatkannya sebagai Sinuhun PB XIII (tandingan-Red) di luar kraton, 10 September,” tunjuk Gusti Moeng.
Refleksi genap setahun “Bebadan Kabinet 2004” bekerja kembali di dalam kraton, menjadi tidak sekecil lingkup masalah dan waktu yang dijadikan objek. Lingkup persoalan dan durasi waktu yang pajang, jelas menjadi pengembangan cakupun objek refleksinya. Terlebih, peristiwa yang membuat “Bebadan Kabinet 2004” terlempar ke luar kraton, tentu sangat “menyakitkan”.
Kalau disebut “menyakitkan”, tak hanya dirasakan jajaran “Bebadan Kabinet 2004” saja, tetapi semua elemen yang berada di bawah Lembaga Dewan Adat. Bahkan masyarakat luas yang ikut dirugikan, khususnya kalangan mahasiswa yang sedang melakukan proses studi penelitiannya di kraton, khususnya di Sasana Pustaka, menjadi kacau karena kraton ditutup secara sepihak.
Bagaimana tidak “menyakitkan”, ketika sejumlah pihak termasuk yang “memerintah” 2000-an polisi dan 400-an tentara menduduki kraton, bersekongkol “memperkarakan” para tokoh “Bebadan Kabinet 2004” kemudian “mengusir” mereka ke luar dari kraton. Dan selama lima tahun lebih, di antara para tokoh itu berguguran satu persatu menjadi “korban penindasan”.
“Korbannya banyak. Mereka memang tidak secara langsung meninggal akibat itu. Tetapi, beban sakit hatinya karena penderitaan akibat diperlakukan dengan sangat tidak terhormat, jelas menjadi penyebab utamanya. Dan saya percaya, cara-cara yang tidak wajar telah dilakukan terhadap tokoh-tokoh penting itu,” sebut Gusti Moeng. (Won Poerwono-bersambung/i1).