Pakasa Cabang Berbagai Daerah Pasang Badan, Demi Jumenengnya Sinuhun Suryo Partono
IMNEWS.ID – SUASANA seperti sedang terjadi “perang”, benar-benar terkesan ketika melihat berbagai jenis barikade penghalang di hampir semua pintu akses masuk ke dalam tembok Baluwarti, menjelang 30 September 2004. Tentu saja, hampir semua jenis kendaraan yang sebelumnya bisa mengakses semua pintu, tak bisa masuk atau keluar, kecuali sepeda onthel.
Dalam satu hal saja, pemandangan itu telah menjadikan publik secara luas bertanya-tanya, terutama lalu-lintas pengguna jalan yang dalam keseharian memanfaatkan semua akses pintu masuk yang menghubungkan Gladag di arah utara hingga Gading di arah selatan, Semanggi di sisi timur dan Kratonan di sisi barat.
Dengan barikade penghalang yang maknanya menutup semua arus lalu-lintas agar tidak masuk Baluwarti itu, tentu memberi efek mencekam bagi yang hendak melintasi kawasan kraton atau publik yang mendapat kabar dari berbagai media mainstream di alam kebebasan di tahun 2004.
Ilustrasi di atas sebagai sedikit gambaran suasana di kawasan kraton, yang mungkin baru kali pertama itu terjadi sejak Sinuhun PB XII menggabungkan wilayahnya ke dalam NKRI pada 17 Agustus 1945. Karena sejak Kemerdekaan RI, beberapa peristiwa mencekam lebih banyak atau hampir semuanya terjadi di luar kawasan kraton.
Mulai dari penumpasan G30S/PKI tahun 1965, “Geger Anti Cina” tahun 1980, gerakan “Petrus” 1982-1985, “Geger Tukang Becak dengan Etnis Arab” di Pasarkliwon tahun 1990-an hingga gerakan reformasi 1998, termasuk beberapa peristiwa besar mencekam di Kota Surakarta, tetapi terjadi di luar kawasan Kraton Mataram Surakarta.
Masyarakat khususnya di wilayah Surakarta dan terutama di dalam kota, menjadi sangat hafal dengan “perilakunya” sendiri. Itu sebuah “kutukan”, atau sekadar membangun citra buruk bahwa Kota Sala atau Solo atau Surakarta “bersumbu pendek” agar terus terus ditakuti dan dan terus dipelihara menjadi momok yang menakutkan?, tentu akan banyak jawabannya kalau dikaji.
Yang jelas, “label negatif” itu terkesan diciptakan dan selalu ingin dirawat agar Kota Surakarta yang notabene bekas Ibu Kota “negara” (monarki) Mataram Surakarta, terus-menerus bercitra buruk. Stigma seperti ini terus dipupuk dan diperbaharui, seperti lem yang terus dan semakin kuat merekat, agar menutup nama baik, jasa yang harum dan sejarah kebesaran Mataram.
Oleh sebab itu, peristiwa “ontran-ontran” jumenengan nata tahun 2004 yang baru kali pertama terjadi di alam kemerdekaan, alam demokrasi, alam modern bahkan milenial, seakan-akan benar-benar membuat dunia “Geger-Lemper” dan “Geger-Genjik”. Satu hal patut dicatat, citra buruk/negatif yang sudah lama dan kuat menjadi label Surakarta, begitu cepat muncul dan menyebar luas.
“Saya sampai mengusir sejumlah pasukan dari Polri dan TNI yang menduduki beberapa posisi. Termasuk yang di kompleks Kraton Kulon, atas permintaan putri tertua Sinuhun PB XII. Ini menjadi bukti, bahwa pemerintah ikut campur-tangan secara negatif dalam urusan keluarga. Kalau bukan pemerintah, siapa lagi yang bisa menggerakkan polisi dan TNI sebanyak itu”.
“Karena kraton hanya punya Pakasa yang bisa diandalkan, maka warga Pakasa dari berbagai cabang yang membantu kraton. Bahkan, Pakasa yang berani pasang badan menghadapi upaya (Sinuhun yang jumeneng di Sasana Purnomo) yang ingin merebut tahta (Sinuhun Suryo Partono). Tetapi, yang dibela mati-matian kok seperti itu. Malah semena-mena, ikut menindas,” tunjuk Gusti Moeng.
Pernyataan tanda GKR Wandansari Koes Moertiyah atau Gusti Moeng itu, ditumpahkan pada donga wilujengan genap setahun “Bebadan Kabinet 2004” yang bisa kembali bekerja penuh di dalam kraton, yang digelar di eks kantor Sinuhun PB XI, Minggu tepat 17 Desember 2023. Forum refleksi itu, tertuju dalam pada peristiwa “ontran-ontran” suksesi 2004.
“Maka, saya tidak bisa menerima kalau ada kerabat di dalam sini yang menyebut Pakasa itu wong ndesa-ndesa yang tidak ada gunanya. Saya sempat ‘mrekitik’ dan sakit hati. Karena, kalau tidak ada Pakasa pada ontran-ontran tahun 2004 itu, apa jadinya? Melalui kesempatan ini, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih sekali lagi”.
“Bahwa warga Pakasa dan juga semua lulusan Sanggar Pasinaon Pambiwara dan yang tergabung dalam paguyuban Pasipamarta, adalah contoh-contoh masyarakat yang ikut berjasa menjaga lestarinya budaya Jawa, dan menjaga eksistensi Kraton Mataram Surakarta. Jasa-jasa panjenengan sadaya, sangat saya rasakan dan sudah terbukti nyata. Matur nuwun,” ungkap Gusti Moeng.
Pernyataan terakhir Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat itu, disampaikan saat memberi sambutan di depan para siswa dan dwija (guru) Sanggar Pasinaon Pambiwara yang sedang menggelar pendadaran atau ujian di Bangsal Smarakata, Minggu pagi hingga siang, 17 Desember. Dari situ, Gusti Moeng berbicara di forum terbatas di ruang eks kantor Sinuhun PB XI.
Rasa terima-kasih Gusti Moeng disampaikan di berbagai kesempatan khususnya di hadapan para warga Pakasa cabang di manapun, karena ada alasannya yang mendasar. Alasan itu adalah, bahwa sejak 17 Agustus 1945 Kraton Mataram Surakarta sudah tidak punya kedaulatan terhadap “rakyatnya”, maka Pakasa-lah sebagai andalannya menjadi benteng pelestari budaya Jawa dan kraton. (Won Poerwono-bersambung/i1)