Kerja Adat tak Efektif, Lahirkan Penyimpangan dan Kontra-Produktif Akibat Kondisi “Force Majour” (seri 4 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:October 27, 2023
  • Post category:Regional
  • Reading time:7 mins read
You are currently viewing Kerja Adat tak Efektif, Lahirkan Penyimpangan dan Kontra-Produktif Akibat Kondisi “Force Majour” (seri 4 – bersambung)
"DARURAT SIPIL" : Pelan-pelan, Gusti Moeng (Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat) mengatasi "darurat sipil" kepemimpinan di Kraton Mataram Surakarta, dengan melantik KRMH Bimo Rantas Djoyo Adilogo, dari salah satu tokoh generasi muda menjadi "Bupati Juru-Kunci Astana Pajimatan" Imogiri. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Darurat Sipil di Kraton adalah “Krisis Kepemimpinan” dan Krisis “Figur Pemimpin”

IMNEWS.ID – KRATON Mataram Surakarta yang kini bisa dikategorikan sedang mengalami “darurat sipil” dan dan “darurat adat”, memang begitulah kondisinya. Meskipun, ada yang memandang bahwa kondisi seperti itu sudah menjadi konsekuensi atas apa yang disebut “Nut jaman kelakone”, seperti pandangan Sinuhun PB X. Karena, situasi dan kondisi seperti itu sama yang dialami kraton-kraton atau lembaga masyarakat adat yang tersisa di Tanah Air, semisal “Kadipaten Mangkunegaran”. Tetapi, bagi yang memahami arti penting kraton sebagai sumber budaya Jawa dan pemelihara peradaban, kedaruratan itu benar memang adanya.

Tetapi terminologinya agak berbeda, antara “darurat sipil” yang dialami kraton dengan “darurat sipil” yang lekat dengan masalah bencana perang dan bencana alam yang menimbulkan penderitaan masyarakat secara luas. “Darurat sipil” di kraton lebih merujuk pada krisis kepemimpinan, karena sumber “bencananya” adalah penyimpangan yang dilakukan beberapa gelintir dari generasi orang-tua mereka. Penyimpangan yang berakibat buruk bagi generasi anak-anaknya itu, bisa dipandang sebagai penderitaan, karena itu berarti abai terhadap pentingnya mempersiapkan generasi muda yang akan menggantikan untuk meneruskan dinasti keluarga besarnya.

ALIH KEPEMIMPINAN : Gusti Moeng sedang menjalankan proses alih kepemimpinan upacara adat “Wilujengan Nagari” Sesaji Mahesa Lawung di hutan lindung Krendhawahana, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, tahun lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tidak benar-benar memperhatikan pentingnya mempersiapkan generasi muda, bisa akibat orang lain atau sama sekali dilakukan pihak luar, bisa karena kolaborasi atau “persekongkolan” antara keduanya, dan karena murni ulah dan perbuatan kalangan generasi orang-tua mereka. Peristiwa “insiden mirip operasi militer” 2017 bisa dikaji melalui tiga hal ini dan bisa dianalisis, mana yang berperan paling dominan menjadi penyebabnya. Selain itu, insiden yang berlanjut dengan penutupan kraton selama lima tahun lebih, itu menjadi masalah kausalitas yang justru sangat penting dan sangat besar dampak “kedaruratannya”.

Salah satu dampak kedaruratan yang ditimbulkan, adalah krisis kepemimpinan termasuk di dalamnya krisis figur pemimpin, karena  generasi muda yang berada di dalam keluarga masing-masing tidak memiliki kemampuan yang sama untuk melakukan persiapan regenerasi dan memikirkan nasib masa depan Kraton Mataram Surakarta. Dan sayangnya, proses penalaran positif seperti ini hanya dimiliki “pihak seberang” yang dipimpin Gusti Moeng sebagai pemimpin “Bebadan Kabinet 2004” dan didukung penuh segenap elemennya, sedangkan di seberang lain tak butuh itu karena yang lebih dibutuhkan “hari ini makan”, bukan pada “masa depan”.

GENERASI MEMYAKINKAN : Deretan tokoh sebagian dari generasi muda Kraton Mataram Surakarta ini, sudah tampak meyakinkan untuk dipersiapkan menjadi calon pemimpin di kraton di masa depan. Putra mahkota KGPH Hangabehi dan adik-adiknya itu, menjadi tumpuan harapan keberlangsungan kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Darurat sipil” yang terjadi di kraton hingga sekarang ini, sudah sedikit demi sedikit diatasi dan pelan-pelan dipulihkan dengan pengisian sejumlah jabatan yang kosong dan tampilnya sejumlah figur tokoh penting generasi muda calon pemimpin. Putra mahkota KGPH Hangabehi sudah mengisi jabatan Pengageng Kusuma Wandawa atau “Kasentanan” yang dulu dijabat pamannya, KGPH Kusumayuda, yang wafat pada 8 September 2009, kemudian digantikan KGPH Puger tetapi sejak Januari 2023 tak pernah kembali menjalankan tugas-tugasnya di kraton. Konon, yang bersangkutan justru dinobatkan sebagai “Kondang” atau “Plt” Sinuhun di luar kraton.

Jabatan kosong berikutnya adalah Pengageng Pasiten yang pernah dijabat GKR Retno Dumilah yang wafat pada 26 Mei tahun 2021, jabatan Pengageng Mandra Budaya yang kosong sejak ditinggal GKR Sekar Kencana yang wafat pada 5 November 2020 dan jabatan Pengageng Yogiswara yang pernah dijabat GPH Nur Cahyaningrat yang wafat pada 9 Oktober tahun 2020. Jabatan kosong berikutnya adalah Pengageng Sasana Pustaka, yang sebelum 2017 dipegang KGPH Puger, hingga kini belum ditetapkan tokoh yang menggantikan walau fasilitas perpustakaan itu sudah dibenahi dan siap beroperasi.

KEBURU BERPULANG : Tiga di antara lima wanita pendekar Kraton Mataram Surakarta yang berjuang di luar kraton sejak 2017, akhirnya “gugur” sebelum kalangan generasi wayah-dalem Sinuhun PB XIII mewarisi pengalaman, kemampuan dan semangatnya dalam pelestarian budaya Jawa dan demi kelangsungan kraton. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Jabatan berikut yang masih kosong adalah Pengageng Sasana Prabu yang dulu dipegang GRAy Koes Sapardiyah yang memilih bergabung ke “pihak seberang” lain setelah peristiwa 2017. Sedangkan jabatan Pengageng Keputren yang dulu dijabat GKR Galuh Kencana, langsung diisi GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani meskipun rentangnya jauh dari saat wafat kakak kandung Gusti Moeng, yaitu Kamis 31 Oktober. Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat belum mengisyaratkan kapan akan mengisi kekosongan jabatan dan siapa yang dianggap tepat mengisinya.

Sebenarnya, masih ada satu jabatan berisi dua bidang yang separo masih kosong, yaitu jabatan Pengageng Museum dan Pariwisata yang dulu jadi satu “departemen” dan dijabat KPH Satryo Hadinagoro (suami GKR Galuh Kencono), yang wafat pada 18 Mei 2019. Tetapi Gusti Moeng baru mengisi jabatan “separo” bidang, yaitu Pengageng Museum yang dipercayakan kepada GRAy Devi Lelyana Dewi. Kekosongan jabatan “Bupati Juru-Kunci Astana Pajimatan” Imogiri dipandang lebih penting untuk diisi, dan Gusti Moeng mempercayakan kepada KRMH Bimo Rantas Djoyo Adilogo untuk menjabatnya.

DARI ABDI-DALEM : Proses alih kepemimpinan dan transfer knolegde dan tata-nilai, bisa didapat dari berbagai sumber dan cara, misalnya dengan belajar pada para abdi-dalem yang biasa menjalankan ritual “Ngisis wayang”, seperti yang dilakukan GRAy Devi Lelyana Dewi, yang kini menjabat Pengageng Museum Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Menurut pandangan kraton sudah saatnya melakukan regenerasi. Karena generasi putri/putri-dalem Sinuhun PB XII rata-rata sudah sepuh. Untuk mendapatkan ilmu dan pengetahuan mengelola kraton, ya tinggal dari Gusti Wandan (Gusti Moeng/GKR Wandansari Koes Moertiyah) untuk belajar. Saya memahami, perlu waktu panjang untuk belajar dan memahami tentang bagaimana sejarah, tata-nilai/aturan (paugeran adat-Red) dan isi kraton, agar mendapat bekal yang cukup untuk mengelola kraton ke depan. Karena itu, sekaranglah saatnya untuk belajar sambil bekerja dan meneruskan tugas generasi orang-tua kami,” jelas Gusti Devi.

GRAy Devi Lelyana Dewi, yang dimintai iMNews.id, kemarin, tentang pandangannya terhadap urgensi percepatan proses regenerasi di kraton menyadari bahwa dirinya dan para wayah-dalem Sinuhun PB XII telah kehilangan banyak tokoh sesepuh generasi orang-tuanya yang sudah mendahului. Wafatnya GKR Galuh Kencono, GKR Sekar Kencono, KGPH Kusumoyudo, GKR Retno Dumilah, GPH Nur Muhammad Cahyaningrat, KPH Satryo Hadinagoro, KPH Broto Adiningrat, KPH Kusumo Wijoyo dan KP Winarno Kusumo dan sejumlah tokoh penting yang ahli di bidangnya, adalah kerugian besar bagi generasi wayah-dalem, karena banyak yang belum sempat belajar dari mereka. (Won Poerwono-bersambung/i1).