Pengunjung Sekaten Banyak Memanfaatkan Hari Libur dan Malam Hari
SURAKARTA, iMNews.id – Jamasan meriam pusaka Nyai Setomi yang berada di dalam ruang pendapa tempat penyimpanannya, yaitu Bangsal Sewayana di kompleks Pendapa Sitinggil Lor Kraton Mataram Surakarta, molor hingga menjelang pukul 11.00 WIB baru dimulai. Upacara adat mencuci dinding “krobongan”, mengganti selambu lapisan dalam, mencuci meriam, saka guru pendapa dan sekaligus mengepel lantai pendapa itu, selalu jatuh pada saat penyelenggaraan upacara adat Sekaten Garebeg Mulud seperti yang sedang berlangsung sekarang ini, tetapi dalam setahun bisa terjadi jamasan Nyai Setomi sampai dua kali.
Sebagai bandingan, jamasan meriam pusaka yang rutin dilakukan setahun dua kali sebelum 2017, selalu dimulai pagi tidak lebih dari pukul 10.00 WIB dan selalu berakhir saar adzan shalat Dhuhur/Luhur terdengar. Meriam yang berada di “garis depan wilayah pertahanan” kawasan kraton yang sebelum 1945 merupakan kawasan “istana kepala negara” Mataram Surakarta itu, konon punya riwayat sempat dibawa pulang ke Plered/Kerta sebagai Ibu Kota Mataram Islam, oleh Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma (Raja ke-3 Mataram) sepulang dari menghalau tentara Portugis di Pelabuhan Sunda Kelapa (kini Tanjung Priok-Red).
Hasil kajian Dr Purwadi, peneliti sejarah dari Lokantara Pusat di Jogja yang juga sebagai ketuanya menyebutkan, perang yang dilakukan Sultan Agung saat menghadang tentara Portugis di Pelabuhan Sunda Kelapa itu tidak pernah ada dalam naskah-naskah kuno manuskrip yang diteliti dan dikaji. Karena, peperangan yang disebutkan Sultan Agung mengalami kekalahan lalu dijadikan isu negatif yang disebarluaskan sebagai sebuah kebenaran itu, tidak ada bukti sejarah satupun yang menunjukkan itu. Menurutnya, peperangan itu sangat mustahil terjadi, karena pelabuhan Sunda Kelapa berada di wilayah Kraton Banten (Jabar) yang masih eksis, saat itu.
“Untuk menuju ke arah pelabuhan itu, harus melewati atau memasuki wilayah Kraton Cirebon (Jabar). Seandainya Sultan Agung melewati dua wilayah kraton itu, pasti bisa membuat tersinggung dan bisa terjadi peperangan, sebelum sampai pelabuhan Sunda Kelapa. Sedangkan, bukti-bukti sejarah tentang inipun juga sama sekali tidak ada. Oleh karena itu, saya lebih meyakini, peperangan Sultan Agung melawan tentara Portugis itu hanya fiksi. Apalagi sampai Sultan Agung diisukan kalah, itu juga fiksi dan hoaks. Tetapi, kalau Sultan Agung diminta atau punya kerjasama untuk menertibkan para pendatang, itu justru sangat masuk akal,” ungkap tandas anggota Pakasa Cabang Jogja itu.
Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat, sebelumnya hanya menyebutkan ada agenda jamasan meriam pusaka Nyai Setomi di kompleks Pendapa Sitinggil Lor yang berbarengan dengan jamasan payung atau “songsong agung” Kiai Brawijaya dan Kiai Guwawijaya yang berada di kamar pusaka atau inti wilayah sakral Kraton Mataram Surakarta. Dia tidak menyebutkan, siapa yang melakukan dan memimpin upacara adat yang selalu berlangsung bersamaan waktunya dengan rangkaian Sekaten Garebeg Mulud. Karena, sejumlah abdi-dalem yang melakukan jamasan, siang tadi, bukan petugas yang biasa mendapat kawalan dan perintah Pengageng Sasana Wilapa.
Karena upacara adat jamasan Nyai Setomi selalu tidak masuk dalam agenda upacara adat Sekaten Garebeg Mulud yang diumumkan secara terbuka kepada publik atau kunjungan wisata, maka saat berlangsung mulai pukul 11.00 WIB siang tadi nyaris hanya disaksikan para abdi-dalem yang sedang bertugas saja, ditambah beberapa abdi-dalem yang berjaga di loket kunjungan wisata kraton yang dibuka di kompleks Pendapa Sitinggil Lor. Selain terkesan untuk kalangan internal terbatas bagi abdi-dalem yang bertugas, sampai siang tadi kunjungan wisata terutama di arena Sekaten 2023 khususnya di tempat gamelan Sekaten ditabuh yang itu Masjid Agung, memang sangat sedikit karena Senin ini bukan hari libur dan pagi hingga siang waktunya jam belajar.
Soal tingkat kunjungan masyarakat luas khususnya wisatawan religi sampai hari kelima Sekaten 2023, Senin (25/9) siang ini, memang sangat jauh berkurang dibanding tahun-tahun sebelum ada pandemi Corona apalagi sebelum ada insiden April 2017. Tak hanya pengunjungnya, para pedagang atau yang berjualan kuliner dan aneka jenis mainan khas Sekaten, juga sangat berkurang. Kalaupun ada, jumlahnya lebih sedikit dan para pelakunya adalah generasi muda, begitu pula para pengunjungnya. Daya tarik di luar rangkaian upacara dan sepasang gamelan Sekaten yang ditabuh, rata-rata sudah menurun ragam, kualitas, generasi pelaku dan jumlahnya.
“Saya melihat, secara umum begitu. Maka, sajian rangkaian upacara adat Sekaten perlu mendapat perhatian serius. Karena, ini berkaitan dengan pelestarian budaya selain kegiatan dakwah melalui gamelan Sekaten dan prosesi Gunungan Garebeg Mulud yang disajikan di Masjid Agung. Oleh sebab itu, saya setuju ada pentas seni tari yang diinisiasi Pengageng Sasana Wilapa di Pendapa Sitinggil Lor. Panggung yang terbuka bagi partisipasi publik untuk tampil di situ, itu tepat sekali. Ada lima fungsi pentas seni (Sekaten Art Fest-Red) itu, salah satunya untuk mendekatkan kraton dengan masyarakat,” sebut Dr Purwadi.
Pentas seni “Sekaten Art Fest” yang diinisiasi Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Pangarsa Lembaga Dewan Adat di lokasi yang bergengsi, indah dan masih megah Pendapa Sitinggil Lor tiap malam sejak Jumat (22/9) mulai pukul 19.00 WIB, menjadi solusi untuk kebutuhan hiburan khusus dan pendamping dari arena keramaian pasar malam Sekaten yang digelar di Alun-alun Lor. Sekaligus menjadi hiburan santapan batiniah sebagai penyeimbang dari santapan rohani yang disajikan di kagungan-dalem Masjid Agung, melalui gamelan Kiai Guntur Sari dan Kiai Guntur Madu yang ditabuh bergantian, plus sajian kuliner dan mainan khas Sekaten yang digelar di halaman masjid.
Semalam, “Sekaten Art Fest” menyuguhkan sejumlah repertoar tari yang dipersembahkan beberapa sanggar tari, termasuk Sanggar Tari Amarta, Karanganyar yang dibina KPP Haryo Sinawung, seorang sentana-dalem yang bergerak langsung di lapangan dalam pelestarian seni budaya Jawa. Tari “Bajidor Kahot” dan fragmen tari “Adaninggar Kelaswara” (RnR Production) dan tari “Kijang” Sanggar Pawiyatan), sangat menghibura pengunjung yang jumlahnya bertahan banyak dari malam-malam sebelumnya. Senin (25/9) malam nanti, Sanggar Pesona Nusantara, RnR Production dan Sanggar Gedhong Kuning akan bergantian mempersembahkan sejumlah tarian. (won-i1)