Peristiwa “Wisudan” Perdana Setelah “Insiden Gusti Moeng Kondur Ngedhaton” (seri 2 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:May 8, 2023
  • Post category:Regional
  • Reading time:10 mins read
You are currently viewing Peristiwa “Wisudan” Perdana Setelah “Insiden Gusti Moeng Kondur Ngedhaton” (seri 2 – bersambung)
MAKNA "JATISABA" : Dua pemandangan kesenian Santiswaran "Ngesti Swara" pada zaman sebelum 1945 dengan generasi penerusnya di setelah tahun 2000-an, adalah satu di antara makna "Jatisaba" sebagai bagian dari perjalanan Kraton Mataram Surakarta. (foto : iMNews.id/dok)

Gusti Moeng : “Ganjaran dari Tuhan YME, Jangan Ditransaksikan…”

IMNEWS.ID – PERISTIWA penyerahan penghargaan berupa “ganjaran pangkat, gelar dan sesebutan” atau gelar kekerabatan kepada 160-an abdi-dalem dalam sebuah upacara wisuda yang digelar Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat di Bangsal Smarakata, Sabtu (6/5), adalah penghargaan atau “ganjaran” dari Allah SWT atau Tuhan YME yang diberikan kepada umatnya melalui Kraton Mataram Surakarta. Oleh sebab itu, siapa saja yang mendapatkan kepercayaan untuk menerimanya, jangan sekali-kali mengartikan sebagai perbuatan jual-beli gelar atau memaknai sebagai sebuah transaksi.

“Kita semua tadi baru saja mendengarkan tembang Macapat Dandanggula yang isinya adalah pesan moral dari sabda-dalem Sinuhun PB IX. Intinya adalah, bahwa upacara wisuda abdi-dalem dan sentana untuk menerima penghargaan gelar sesebutan atau kekarabatan itu, adalah bentuk kepercayaan kraton kepada panjenengan semua untuk menerimanya. Ganjaran tersebut sebenarnya dari Tuhan YME, Allah SWT, karena kita sudah mencoba berbuat baik dan atau menuntut kita untuk selalu berbuat baik dalam kehidupan ini. Jadi, kita yang membayar ganjaran itu dengan perbuatan baik.”

SAMBUTAN PENGANTAR : Gusti Moeng memberi sambutan pengantar upacara wisuda 160-an abdi-dalem yang digelar Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat di Bangsal Smarakata Kraton Mataram Surakarta, Sabtu siang (6/5). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Oleh sebab itu, sekali-sekali mengartikan pemberian ‘ganjaran’ dari Tuhan YME atau Allah SWT itu sebagai perbuatan jual-beli. Ganjaran jangan sampai ditransaksikan atau dianggap sebagai perbuatan transaksi. Karena ganjaran tidak boleh diperjualbelikan atau ditransaksikan. Kita wajib membayar atau mengganti ganjaran itu dengan hanetebi gawa-gawene dan memberikan labuh-labet kepada Ruhan YME atau Allah SWT melalui perbuatan baik kita di lingkungan kita masing-masing, dari yang terkecil yaitu keluarga kita sampi besar yaitu sebagai warga bangsa,” tandas Gusti Moeng.

Gusti Moeng selaku Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat, menandaskan hal itu dalam bahasa Jawa krama inggil, ketika memberi sambutan tunggal pengantar upacara wisuda abdi-dalem di Bangsal Smarakata, Sabtu siang itu. Pesan bijak Sinuhun PB IX yang disinggung dan dijelaskan maknanya itu, sebelumnya dinyanyikan dalam tembang Macapat oleh abdi-dalem lulusan Sanggar Pasinaon Pambiwara, yang bernama Nyi Mas Tumenggung (MT) Eka Suranti, seorang pesinden terkenal yang sering tampil mendukung pentas seni pakeliran dalang-dalang terkenal seperti Ki Purbo Asmoro.

SK PENGURUS PAKASA : SK pengurus Pakasa Cabang diberikan kepada salah seorang wakil dari Desa Jatisobo, Sukoharjo di antara Pakasa Cabang Magetan dan Kudus yang dilantik Pangarsa Pakasa Punjer di akhir upacara wisuda, di Bangsal Smarakata, Sabtu siang (6/5).(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Tembang Macapat Dandanggula yang dipetik dari karya sastra Sinuhun PB IX yang kemudian dijelaskan Gusti Moeng dalam sambutan pengantar upacara wisuda, menjadi penegasan yang sangat penting karena momentumnya terjadi di event atau peristiwa upacara wisuda abdi-dalem “perdana” yang digelar Kraton Mataram Surakarta setelah peristiwa 17 Desember 2022. Apalagi, setelah peristiwa “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” itu (iMNews.id, 18/12/2022), dilanjutkan lagi dengan peristiwa “perdamaian” antara Sinuhun PB XIII dengan Gusti Moeng (iMNews.id, 3/1/203).

Era baru yang ditandai dengan peristiwa “Gusti Moeng kondur Ngedhaton” dan “perdamaian” itu, apa saja yang bentuknya aktivitas adat di dalam Kraton Mataram Surakarta, sejak peristiwa itu hampir semuanya menjadi awal untuk perjalanan selanjutnya atau kali pertama atau perdana. Jadi, semua upacara adat di kraton yang katagorinya besar berjumlah 9 jenis itu, menjadi perdana atau kali pertama dilakukan dilakukan kraton di bawah otoritas Pengageng Sasana Wilapa/Ketua Lembaga Dewan Adat sebagai pimpinan “Bebadan Kabinet 2004”, termasuk upacara wisuda abdi-dalem itu.

DISUMPAH PRASETYA : Para wisudawan dari Pakasa Cabang Magetan yang hendak diwisuda menjadi abdi-dalem di Kraton Mataram Surakarta, diminta mengucapkan sumpah-prasetya oleh KPHA Sangkoyo Mangunkusumo di Bangsal Smarakata, Sabtu siang (6/5).(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Dengan momentum “perdana” untuk semua jenis upacara adat termasuk peristia upacara adat wisuda abdi-dalem itu, Gusti Moeng hendak menandaskan bahwa sejatinya “ganjaran pangkat, gelar dan sesebutan” datangnya dari Tuhan YME atau Allah SWT. Itu menjadi tugad dan kewajiban Kraton Surakarta Hadiningrat sebagai penerus Kraton Mataram Islam yang dideklarasikan Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, bahwa kraton harus mengayomi dan menerima siapa saja tanpa pandang latarbelakang suku, ras, agama dan golongan atau sesuai dengan semangat kraton Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”.

Penegasan soal itu dilakukan Gusti Moeng pada momentum yang sangat tepat, yaitu di saat kembali mengawali menjalankan tugas dan pekerjaan di Kraton Mataram Surakarta pada posisi awal “Bebadan Kabinet 2004” mulai 17 Desember 2022, yang dipertegas lagi mulai 3 Januari 2023. Penegasan seperti itu nyaris tak pernah terdengar di masa sebelum 2023, bahkan sejak Sinuhun PB XII jumeneng nata hingga 2004. Sebab, dinamika sosial, politik, ekonomi dan budaya pada waktu itu, tidak fluktuatif tajam seperti era demokrasi “liberal” dan era kebebasan yang sering “kebablasan” sekarang ini.  

BERFOTO BERSAMA : Para wisudawan warga Pakasa Cabang Magetan berfoto bersama Pangarsa Pakasa Punjer KPH Edy Wirabhumi seusai uapacara di depan Bangsal Smarakata, Sabtu siang (6/5). foto : iMNews.id/dok)

Penegasan itu pula yang bisa dimaknai berkait dengan sebuah proses yang sulit diterima dengan akal sehat, ketika Gusti Moeng dan semuanya pendukung setianya, bisa menemukan kembali sesuatu penting dan berharga dari Kraton Mataram Surakarta yang selama puluhan tahun putus dan seakan hilang. Yaitu “diketemukannya” kembali sebuah situs peninggalan sejarah Mataram Islam Surakarta di kawasan Desa Jatisobo, Kecamatan Polokarto, Kabupaten Sukoharjo. Tak hanya itu, Gusti Moeng seperti dituntun dan dipertemukan dengan masyarakat adat di berbagai daerah di eks wilayah Mataram Surakarta (1745-1945).

Penegasan itu juga dimaknai oleh Pangarsa Pakasa Punjer KPH Edy Wirabhumi saat memberi sambutan pengantar penetapan dan pelantikan pengurus inti Pakasa Cabang (Kabupaten) Sukoharjo, Pakasa Cabang Magetan dan Pakasa Cabang yang menjadi akhir rangkaian upacara wisuda abdi-dalem, siang itu. Masyarakat adat penjaga dan pemelihara situs Masjid Agung Jatisobo berikut kepengurusan inti Pakasa Cabang Sukoharjo yang terbentuk dan dilantik, disebut-sebut mendapat tempat terhormat dan pantas mendapat kemuliaan karena dianggap telah “menyelamatkan” situs Masjid Agung “Jatisaba”.

MOMENTUM BAIK : Upacara wisuda abdi-dalem “perdana” setelah “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton”, menjadi momentum yang baik bagi para wisudwan untuk berfoto di depan topengan Kori Sri Manganti Lor, seusai upacara di Bangsal Smarakata, Sabtu siang (6/5). (foto : iMNews.id/dok)

“Situs Masjid Agung Jatisobo layak untuk diselamatkan karena Sinuhun PB IV ketika menghadiahkan masjid itu, dengan semangat terbuka bagi siapa saja yang ingin beribadah dan memanfaatkan Masjid Agung untuk syi’ar agama. Tetapi tanpa membeda-bedakan yang datang. Maka dari itu, kalau di sana ada yang punya faham yang berbeda berarti musuh, itu jelas tidak sesuai dengan semangat Mataram Islam. Masjid Agung harus diselamatkan dari mereka itu,” tandas KPH Edy, baik saat memberi sambutan pengantar, maupun menjawab pertanyaan iMNews.id, Sabtu siang itu.

Dalam sambutan pengantar pelantikan, KPH Edy juga menegaskan bahwa Pakasa Cabang Sukoharjo diserahkan kepada masyarakat adat Desa Jatisobo yang dipimpin KRT Darmanto sebagai Kepala Desanya sekaligus sebagai Ketua Pakasa Cabang Sukoharjo. Dia juga berharap, pengembangan Pakasa cabang dimulai dari Desa Jatisobo dan bahkan ditegaskan agar desa itu menjadi pusat pengembangan Pakasa. Selain memiliki situs bersejarah yang berkait dengan Kraton Mataram Surakarta, bahkan sejak Sinuhun PB II, Desa Jatisobo punya grup Santiswaran “Ngesti Swara” yang pernah tampil di Hari jadi Pakasa.

PENUH SUKACITA : Para seniman reog Ponorogo dari Pakasa Cabang Magetan yang mendapat kesempatan beraksi di halaman Kamandungan saat berlangsung upacara wisuda abdi-dalem, juga bersukacita karena bisa berfoto dengan Pangarsa Pakasa Punjer KPH Edy Wirabhumi dan GKR Timoer Rumbai Kusumadewayani, Sabtu siang (6/5). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Kami selaku atas nama anggota Santiswaran ‘Ngesti Swara’ dan atas nama Pemdes Jatisobo, sangat bangga dan berterimakasih atas kekancingan (berisi ganjaran pankat, gelar, sesebutan-Red) yang diberikan Ketua Lembaga Dewan Adat (Gusti Moeng). Dengan senang hati, kami anggota Paguyuban Ngesti Swara dengan ikhlas hati menerima kekancingan (ganjaran) sebagai abdi-dalem Kraton Mataram Surakarta Hadiningrat. Dan penunjukan KPH Edy kepada kami untuk  menjaga situs budaya Masjid Agung, kami siap menjalankan tugas untuk menjaga dan melestarikannya,” tandas Kades Darmanto.

Seperti yang pernah diungkapkan abdi-dalem “Kanca kaji” KRT Ahmad Faruq Reksobudoyo dari hasil penelitiannya di bidang sejarah Islam dan referensi yang didapat KRT Bayuaji selaku Humas Pemdes Jatisobo, setelah Kraton Mataram yang berIbu Kota Kartasura ditinggal Sinuhun PB II yang menyusun kekuatan di Ponorogo, salah seorang tokoh ulamanya yang bernama Kiai Khotib terpisah dan perjalanan pengembaraannya terhenti di Desa Jatisobo. Di kawasan yang masih hutan itu, lalu dibangun menjadi kawasan pemukiman, yang oleh Sinuhun PB III, dijadikan kampung “perdikan” yang bebas pajak. (Won Poerwono-bersambung)