Wayang Gedhog Kiai Jayeng Katong, Baru Separo Selesai Dibuat Ditinggal Wafat (seri 3 -bersambung)

  • Post author:
  • Post published:March 4, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
You are currently viewing Wayang Gedhog Kiai Jayeng Katong, Baru Separo Selesai Dibuat Ditinggal Wafat (seri 3 -bersambung)
MENUNGGU UBA-RAMPE : Ritual "Ngesis Wayang" tiap weton Anggara Kasih menjadi sangat menari dari sisi apa saja, karena di antaranya ada komponen perlengkapan upacara yang disebut "uba-rampe", seperti yang sedang ditunggu Gusti Moeng saat ritual Selasa Kliwon (28/2). (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sinuhun PB IV Punya Reputasi, Sedikitnya 100 Kali Mendalang

IMNEWS.ID – CERITA menarik karya kriya tatah sungging yang disebut wayang kulit, sebagai materi utama dalam ritual “Ngesis Wayang Anggara Kasih” di Kraton Mataram Surakarta, sangat bisa mandiri sebagai karya bagian dari art performance yang kaya sekali data informasinya tentang berbagai hal, terutama tentang edukasi pengetahuan dan sejarah. Berdiri sendiri atau mandirinya karya kriya tatah sungging, memang bukan seperti gamelan sebagai elemen instrumen iringan art performance wayang atau seni pakeliran yang bisa disajikan dalam bentuk konser orkestra karawitan.

Tetapi kemandirian karya kriya tatah sungging yang menjadi satu-kesatuan karya seorang “Raja” Mataram terutama Surakarta (1745-1945) dan diberi nama Kanjeng Kiai (KK) Jimat, KK Jayeng Katong, KK Kadung, KK Pramukanya dan sebagainya yang jumlahnya 17 kotak itu, ketika menjadi objek utama upacara adat “Ngesis Wayang Anggara Kasih” (diyakini) sudah menjadi pusaka. Akan sangat lain ceritanya kalau anak wayang yang sudah punya nama dan tersimpan di dalam 17 kotak koleksi kraton itu, adalah pusaka, karena dengan begitu masing-masing kotak ketika dikeluarkan dalam ritual, akan menjadi cerita yang sangat menarik bagi publik secara luas.

BELUM SEMPAT : Ki Suluh Juniarsah dan Ki Rudy Wiratama saat “ngesis wayang” Gedhog Kiai Jimat yang “produksinya” diinisiasi Sinuhun PB IV, Anggara Kasih, 28/2 lalu. Tapi konon belum sempat mengawali menggunakan dalam pentas pertunjukan pakeliran, “raja” yang seniman dalang itu wafat di tahun 1820. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Sebagai contoh, sekotak Wayang Gedhog yang punya nama Kiai Jayeng Katong yang dikeluarkan kraton dalam ritual “ngesis” Anggara Kasih pada Selasa Kliwon, 28 Februari lalu (iMNews.id, 28/2/2023), ternyata mempunyai kisah sangat menarik untuk memperkaya wawasan dan pengetahuan warga peradaban secara luas. Karena ternyata, proses pembuatan anak wayang yang tokoh-tokohnya dari sejarah Kraton Kediri (abad 12), bisa selesai tuntas sekotak yang isinya sekitar 300 buah, dan Sinuhun PB IV (1788-1820) yang menginisiasi produksi jenis “wayang Madya” itu sudah sempat mengetahuinya.

“Tetapi sayang, sebelum beliau sempat mengawali memakainya dalam seni pakeliran, sudah wafat. Dari catatan dokumen manuskrip yang saya peroleh, memang tidak secara eksplisit menjelaskan beliau mendahului wafat sebelum sempat memainkannya. Yang jelas, dari data manuskrip itu disebutkan bahwa antara selesainya pembuatan Kiai Jayeng Katong dan wafatnya Sinuhun PB IV, termasuk sangat dekat. Tetapi yang menarik, bahwa Sinuhun PB IV adalah raja seorang seniman dalang. Setiap wayang yang diproduksinya selesai, lalu diawalinya untuk dipentaskan,” jelas Rudy Wiratama, abdidalem di bawah Kantor Pengageng Mandra Budaya, saat dihubungi iMNews.id, kemarin.

DALANG WAYANG GEDHOG : Ki KRT Dr Bambang Suwarno adalah dalang spesialisasi wayang Gedhog yang tersisa di saat sekarang ini, selalu menjadi koordinator tim teknis “ngesis wayang” dan pendataan ulang 17 kotak wayang koleksi kraton, sebelum 2017. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Rudy Wiratama adalah satu di antara beberapa abdidalem di Kantor Pengageng Mandra Budaya, yang sejak sebelum 2017 membantu dalang profesional pensiunan dosen ISI Surakarta, Ki KRT Dr Bambang Suwarno, “suwita” di kraton dalam perawatan semua koleksi wayang kraton terutama dalam tatacara ritual “ngesis wayang” tiap Anggara Kasih. Sebagai dalang yang kini sedang menggarap disertasi “Kajian Budaya” untuk program doktoralnya di UGM, Rudy mengaku ingin lebih banyak meneliti sejarah seni pedalangan dan wayang dibanding menjadi dalang profesional.

Dengan “suwita” di kraton bersama dalang profesional Ki Sigit Purnomo, dosen seni pedalangan Ki Suluh Juniarsah dan Ki KRT Dr Bambang Suwarno yang punya kapasitas hebat sebagai dalang profesional spesial wayang “Gedhog”, diakui banyak sekali materi data informasi sejarah wayang yang didapat dari kraton. Terlebih, banyak pula yang bisa dipahami tentang perawatan wayang melalui upacara adat “ngesis wayang”, tentang alasan Kraton Mataram Surakarta punya koleksi wayang Gedhog paling banyak di antara kraton-kraton lain, dan banyak lagi informasi kekayaan kraton “tentang wayang” yang bermanfaat bagi dunia pendidikan dan publik lebih luas lagi.

SAAT PENDATAAN : Ki Rudy Wiratama, kandidat doktor bidang “Kajian Sejarah” yang fokus pada penelitian sejarah wayang, mengikuti jejak Ki KRT Dr Bambang Suwarno, suwita di kraton dan banyak membantu dalam pendataan ulang 17 kotak wayang koleksi kraton, sebelum 2017. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

“Sinuhun PB IV adalah seorang seniman dalang. Dalam catatan saya, beliau sudah mendalang sedikitnya 100 kali. Maka, produksi wayang saat beliau jumeneng, paling banyak. Saat menjadi Pangeran Adipati (sebelum jumeneng PB IV) sudah ‘yasa’ (membuat) wayang Kiai Pramukanya Anom, Kiai Mangu dan Kiai Kanyut. Setelah jumeneng nata Sinuhun PB IV, ‘yasa’ Kiai Jimat, Kiai Kadung dan wayang Gedhog Kiai Jayeng Katong. Yang sekotak wayang Gedhog, banyak dikenal dengan nama Kiai Dewa Katong. Karena, karya wayang Kiai Jayeng Katong dijodohkan dengan gamelan (Pelog) Kiai Dewa Katong peninggalan dari Kraton Mataram Kartasura (1645-1745). Setelah itu, selalu disebut dengan nama wayang Kiai Dewa Katong,” jelas Rudy.

Dengan munculnya data-data informasi tentang sejarah yang melatarbelakangi lahirnya benda-benda budaya peninggalan sejarah yang sudah menjadi pusaka itu, tentu akan sangat menarik ketika bisa dijelaskan kemudian dengan menggali data-data manuskrip yang antara lain tersimpan di Sasana Pustaka Kraton Mataram Surakarta. Maka, sebagai karya kriya tatah sungging, wayang sudah sangat menarik untuk dicermati dan dipahami, baik sebagai sekadar informasi, tambahan wawasan maupun sebagai bahan penelitian untuk program pendidikan di segala tingkatan, seperti yang sedang dilakukan Rudy Wiratama. (Won Poerwono-bersambung/i1)