Tiap Kotak Wayang Koleksi Kraton, Menunggu 2 Tahun untuk Bisa “Diangini” (seri 1 – bersambung)

  • Post author:
  • Post published:February 8, 2023
  • Post category:Budaya
  • Reading time:6 mins read
Gusti Moeng
PUNYA DATA : Gusti Moeng punya data tertulis dan audio-visual seisi kotak wayang KK Jimat dan 16 kotak wayang lainnya, karena sebelum tahun 2017 semua kotak dan isinya didata-ulang satu-persatu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Koleksinya 17 Kotak, Jadi “Babon” Wayang “Gagrag” Surakarta

IMNEWS.ID – UPACARA adat “ngesis wayang” atau ritual mengeluarkan wayang dari kotak penyimpanan dan diangin-anginkan atau “diangini” selama dua jam untuk kali pertama di Anggara Kasih perdana, Selasa Kliwon, 24 Januari 2023 lalu (iMNews.id, 24/1), banyak memberikan informasi bernilai edukasi kepada publik secara luas terutama bagi yang ingin mengetahui khasanah seni pedalangan. Karena, sekotak wayang yang dikeluarkan dari pukul 10.00 WIB hingga pukul 13.00 WIB itu, adalah termasuk wayang pusaka yang sudah ada pada zaman Kraton Mataram Surakarta berIbu-Kota di Kartasura, bernama Kanjeng Kiai (KK) Jimat.

Sangat bernilainya informasi tentang peristiwa itu, karena upacara “ngesis wayang” tiap 35 hari atau jatuh weton Anggara Kasih (Selasa Kliwon), mungkin hanya terjadi di Kraton Mataram Surakarta. Apalagi, kraton memiliki koleksi 17 kotak wayang yang semuanya mendapat giliran dikeluarkan satu persatu, dengan upacara adat tiap weton itu. “Kadipaten” Mangkunegaran tidak punya upacara adat khusus seperti itu, begitu pula dua lembaga adat di Jogja, yang walaupun ada (ritual) mungkin koleksinya tidak sebanyak yang dimiliki Kraton Mataram Surakarta.  

SUDAH DICONTOHKAN : Menjadi seorang putra/putridalem seorang “raja” di Kraton Mataram Surakarta, sudah dicontohkan Gusti Moeng yang luar biasa peduli terhadap semua peninggalan leluhurnya. Tujuannya, agar peninggalan sejarah milik seluruh dinasti ini berumur panjang dan bisa dinikmati publik secara luas sampai akhir zaman.(foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Ritual “ngesis wayang” yang perdana setelah kraton dibuka kembali oleh Gusti Moeng melalui “insiden Gusti Moeng kondur Ngedhaton” pada 17 Desember 2022 (iMNews.id, 18/12) dan peristiwa “perdamaian” antara dirinya dengan Sinuhun PB XIII pada 3 Januari 2023 (iMNews.id, 3/1), menjadi istimewa dan menarik karena 17 kotak koleksi wayang yang sudah masuk kategori “pusaka” itu dikhawatirkan rusak. Bersama barang-barang bersejarah lainnya yang tersimpan di dalam kraton, koleksi wayang tak ternilai harganya karena sudah dijadikan patron dan “babon” design anak wayang yang diakui sebagai “gaya” atau “gagrag” Surakarta.

Design anak wayang “gagrag” Surakarta, memang sudah dikenal dan diakui publik secara luas khususnya para praktisi seni pedalangan dan para pecinta seni kriya wayang kulit bahwa produk seni gaya Surakarta menjadi gaya tersendiri yang mungkin paling awal atau mendahului sebelum munculnya gaya atau “gagrag” lain. Karena, dalam produk budaya seni pedalangan berupa anak wayang sebagai alat seni pertunjukan wayang kulit, selain “gagrag” Surakarta, muncul “gagrag” Kedu, “gagrag” Jogja dan gaya pengembangan (inovasi) yang mulai abad 19 muncul dari berbagai daerah.

TUGAS TIAP INSAN : Merawat benda peninggalan sejarah milik seluruh dinasti, adalah tugas dan kewajiban seluruh insan masyarakat adat Kraton Mataram Surakarta. Walau bergelar pangeran tetapi tak pernah berbuat secara fisik di bidangnya, sepertinya tidak layak menjadi bagian masyarakat adat ini. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

Oleh sebab itu, ritual “ngesis wayang” weton Selasa Kliwon, 24 Januari lalu juga menarik dari unsur dilaksanakannya kemali ritual itu setelah kraton 5 tahun lebih ditutup dan sangat diyakini Gusti Moeng tidak pernah ada ritual yang berarti prosesi mengeluarkan kotak dan membuka serta mengangin-anginkan seluruh isinya. Karena, ritual ini sejatinya adalah pekerjaan teknis untuk menjaga anak wayang yang terbuat dari bahan kulit lembu atau kerbau itu bisa selalu terkontrol kondisinya dari pengaruh suhu udara, kelembaban udara, kelenturan “gapit”, kulit dan alat penyambung engsel tangan yang biasanya terbuat dari benang sintetis.

Dengan dikeluarkan dari kotak dan digantung berjejer-jejer selama dua jam lebih di seutas tali yang dibentangkan di empat tiang “Saka Guru” gedhong Sasana Handrawina, permukaan kulit dan “gapitnya” bisa terkena udara secara langsung dalam temperatur normal. Bahkan sebelum digantung, permukaan kulit dan “gapit” anak wayang diusap dengan kuas untuk menghilangkan debu dan dilap atau diseka dengan tisu satu persatu untuk menghilangkan lendir jamur, sekaligus untuk mengetahui apakah ada “gapit” yang patah atau benang “engsel” yang putus karena sudah kaku dan “getas”.

SUDAH TIADA : KRT Sihanti adalah tokoh yang sangat berperan dalam ritual “Ngesis Wayang tiap Anggara Kasih. Namun abdidalem yang bertugas di gedhong Lembisana dan teliti memperbaiki anak wayang ini sudah tiada, meninggal beberapa tahun lalu. (foto : iMNews.id/Won Poerwono)

KPP Bambang Kartiko Darmokusumo yang ikut melap anak wayang saat ritual “ngesis wayang” siang itu, kepada iMNews.id menyebut dari 17 kotak yang semua dilihat isinya, prioritas “ngesis” jatuh pada sekotak wayang KK Jimat yang dianggap paling tinggi nilainya dari segala ukuran, termasuk usianya dan paling banyak tanda-tanda jamur dan kotoran debunya. Maka, Selasa Kliwon siang itu, kotak wayang berisi 200 lebih anak wayang buatan di zaman Sinuhun PB II atau bahkan sebelumnya di zaman Kraton Kartasura (1645-1745), diprioritaskan untuk dikeluarkan dari tempat penyimpanan, Bangsal Lembisana ke gedhong Sasana Handrawina.

Menurut KRT Dr Bambang Suwarno SKar selaku pimpinan tim teknis “ngesis wayang”, anak wayang seisi kotak KK Jimat memang sudah mulai berjamur tetapi tidak parah, masih bisa diselamatkan. Gusti Moeng yang memimpin ritual itu, juga menyebut KK Jimat aman, bisa diselamatkan, dan bisa bertahan dua atau tiga tahun lagi setelah ditaburi biji kapur barus di dalam kotak. Karena ritual mengeluarkan sekotak wayang hanya tiap weton 35 hari sekali, maka 17 kotak itu baru bisa mendapat angin segar urut satu-persatu butuh waktu 17 weton atau hampir 2 tahun. (Won Poerwono-bersambung/i1)